NovelToon NovelToon
Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Jejak Takdir Di Ujung Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Konflik etika / Pengantin Pengganti / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Musim_Salju

Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.

Yuk ikuti cerita selanjutnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9: Langkah di Atas Api

Ketenangan di pesantren hanya bertahan di permukaan. Seperti danau yang terlihat tenang, dasar airnya penuh pusaran yang nyaris tak terlihat. Zahra kini menjalani hari-harinya dengan perasaan yang tidak menentu. Tatapan santri lain kepadanya berubah. Ada yang penuh tanda tanya, ada pula yang mengandung rasa iri.

Setiap langkahnya terasa berat. Di pojok masjid, di taman, atau bahkan di ruang kelas, bisikan-bisikan tak pernah berhenti. Zahra tidak buta, dia tahu sebagian besar percakapan itu membicarakan dirinya.

Sore itu, Zahra duduk sendiri di bangku taman, mencoba menghafal ayat Al-Qur'an. Namun pikirannya terusik. Dalam keheningan, seseorang mendekat. Suara langkahnya terhenti di belakang Zahra.

“Zahra.”

Zahra menoleh. Ning Maya berdiri di sana. Sorot matanya tajam seperti pisau yang siap menusuk.

“Assalamu’alaikum, Ning Maya,” sapa Zahra, mencoba tenang.

“Wa’alaikumsalam.” Ning Maya tersenyum tipis, tetapi senyum itu penuh makna. Ia duduk di samping Zahra tanpa meminta izin.

“Kamu tahu, Zahra, tidak mudah bagiku menerima semua ini,” Ning Maya memulai. “Tapi aku bukan orang yang suka menyimpan dendam.”

Zahra menatap Ning Maya dengan hati-hati. “Saya tidak pernah berniat mengambil apa pun dari Ning Maya.”

Ning Maya tertawa kecil. “Mengambil? Tidak, Zahra. Kamu bahkan tidak punya kemampuan untuk itu.”

Kalimat itu membuat Zahra tercekat. Ia ingin menjawab, tetapi memilih diam.

“Aku hanya ingin mengatakan satu hal,” lanjut Ning Maya. “Zidan itu bukan sekadar seorang laki-laki. Dia adalah Gus, anak seorang kyai besar. Tanggung jawabnya bukan untuk mencintai, tapi untuk menjaga nama baik keluarganya. Apa kamu pikir kamu bisa mendampinginya?”

Zahra menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya. “Saya tidak pernah meminta apa pun dari Gus Zidan. Jika keberadaan saya membuat Ning Maya merasa tidak nyaman, saya siap pergi dari sini.”

Mata Ning Maya menyipit. “Pergi? Kamu pikir semudah itu? Apa kamu tahu apa yang sudah terjadi karena kamu?”

“Ning Maya,” Zahra akhirnya bersuara tegas, “Saya tidak pernah berniat masuk ke dalam kehidupan Ning Maya atau Gus Zidan. Saya hanya ingin belajar dan menjadi lebih baik di pesantren ini.”

“Kamu hanya seorang santriwati biasa, Zahra,” Ning Maya berkata dengan nada sinis. “Jangan bermimpi terlalu tinggi.”

Setelah itu, Ning Maya bangkit dan meninggalkan Zahra yang masih berusaha mencerna ucapan tersebut.

Di tempat lain, Zidan sedang berbincang dengan Abi Idris di ruang kerjanya. Suasana ruangan terasa berat. Abi Idris duduk di kursinya dengan raut wajah yang penuh dengan kekhawatiran, sementara Zidan berdiri di hadapannya.

“Zidan,” ujar Abi Idris pelan. “Aku tahu apa yang ada di hatimu, tapi apa kamu benar-benar siap menghadapi semua ini?”

Zidan mengangguk tegas. “Abi, saya tidak ingin menjadi orang yang hidup hanya untuk menyenangkan orang lain. Saya tahu ini sulit, tapi saya yakin Zahra adalah pilihan yang benar.”

Abi Idris menghela napas panjang. “Zidan, tanggung jawab seorang pemimpin bukan hanya soal perasaan. Keluarga kita punya nama baik yang harus dijaga. Keputusanmu ini bisa menghancurkan itu.”

“Abi,” Zidan berseru, “apa artinya menjaga nama baik jika itu berarti harus berbohong pada diri sendiri? Saya tidak ingin hidup seperti itu.”

Abi Idris terdiam sejenak, lalu menatap Zidan dengan sorot mata penuh keprihatinan. “Baiklah, Zidan. Tapi ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Kamu harus siap menanggung semuanya.”

Malam itu, Zahra kembali ke kamarnya dengan hati yang masih resah. Ia berusaha tidur, tetapi kata-kata Ning Maya terus terngiang di pikirannya.

“Kamu hanya seorang santriwati biasa.”

Zahra bangkit dari tempat tidurnya. Ia membuka Al-Qur'an di meja belajarnya dan mulai membaca, mencari ketenangan. Di saat seperti ini, hanya Allah yang menjadi sandaran hatinya.

Tiba-tiba, ada ketukan di pintu. Zahra membuka pintu dan melihat Aisyah berdiri di sana.

“Ada apa, Aisyah?” tanya Zahra.

“Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu di halaman,” bisik Aisyah.

“Siapa?”

“Gus Zidan,” jawab Aisyah, membuat Zahra tertegun.

Zahra ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mengikuti Aisyah ke halaman pesantren. Di sana, di bawah cahaya bulan, Zidan berdiri dengan wajah yang tampak serius.

“Zahra,” Zidan memulai ketika Zahra mendekat. “Maafkan aku jika keputusanku membuat hidupmu sulit.”

Zahra menunduk. “Gus, saya tidak tahu harus berkata apa. Saya hanya ingin hidup tenang di pesantren ini.”

“Aku tahu,” kata Zidan. “Tapi aku tidak bisa membiarkanmu menghadapi ini sendirian. Aku yang membuat keputusan, jadi aku yang harus bertanggung jawab.”

Zahra menggeleng. “Gus, ini bukan tentang tanggung jawab. Ini tentang apa yang benar dan apa yang salah. Jika keberadaan saya hanya membuat Gus dan pesantren ini dalam masalah, saya rela pergi.”

“Tidak!” seru Zidan, suaranya terdengar penuh emosi. “Kamu tidak akan pergi, Zahra. Aku tidak peduli apa yang orang lain katakan. Aku akan melindungimu.”

Kata-kata Zidan membuat hati Zahra bergetar. Ia tidak tahu harus berkata apa.

“Zahra,” Zidan melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah menyesali pilihanku. Jika ini jalan yang harus aku tempuh, aku akan menjalaninya, apapun risikonya.”

Zahra tidak menjawab. Ia hanya menatap Zidan dengan mata berkaca-kaca. Dalam hatinya, ia merasa takut, tetapi juga ada rasa hangat yang mulai tumbuh.

Di tengah malam itu, dua hati yang dipenuhi kegundahan saling bertemu, mencari kekuatan untuk menghadapi badai yang sedang menunggu.

Di sisi lain, Ning Maya berdiri di balik jendela kamarnya, melihat bayangan Zidan dan Zahra di halaman. Wajahnya memerah oleh rasa marah dan sakit hati. Ia mengepalkan tangan, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan Zahra merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.

“Ning Maya,” suara Bu Nyai Siti terdengar dari belakang, “kamu harus tetap tenang. Jangan bertindak gegabah.”

“Tenang, Ummi?” Ning Maya berbalik dengan mata berkobar. “Bagaimana aku bisa tenang melihat ini? Aku tidak akan tinggal diam!”

Bu Nyai Siti menepuk bahu Ning Maya. “Jika kamu ingin memenangkan ini, kamu harus cerdas. Jangan biarkan emosi menguasaimu.”

Ning Maya mengangguk perlahan. Ia tahu ibunya benar. Jika ia ingin merebut kembali Zidan, ia harus bermain dengan strategi.

Malam itu, Ning Maya menyusun rencana. Ia tidak akan membiarkan Zahra menjadi penghalang bagi masa depannya bersama Zidan.

To Be Continued...

1
Jumi Saddah
👍👍👍👍👍👍👍👍👍
Berlian Bakkarang
nyai siti istri seorang kiyai tp bermulut pedas krn menghina zahra katax orang muskin segala
Nanik Arifin
waoow, dalam pesantren ternyata seperti dunia bisnis. ada lobi", ada persekongkolan, ada perebutan kedudukan, intimidasi/tekanan dll
Nanik Arifin
kog jadi ada nama Kyai Ridwan sebagai ortu Ning Maya ? Kyai Mahfud apanya Ning Maya ?
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
Nanik Arifin
seorang Ning ( putri kyai ) melakukan intimidasi demi seorang lali" atau bahkan demi sebuah keangkuhan, bahwa dirinya putri seorang kyai. waoow....
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??
Musim_Salju: benar banget kak, adab lebih tinggi dari pada ilmu, dan minusnya sekarang banyak yang tidak memperhatikan adab itu sendiri
Musim_Salju: Dunia sekarang banyak yang seperti itu kak, hanya saja tertutup dengan kebaikan yang dilakukan di depan banyak orang. Pengalaman pribadi saya sebagai seorang pendidik, sikit menyikut dan menjatuhkan saja ada
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!