Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 - Hudzai Yang Sebenarnya
"Hudzai tu cupu ... aku bahkan tidak yakin dia berani meminta istrinya buka cadar, apalagi minta yang Lebih dari itu."
Begitu kata Azkara tentang Hudzai. Hanya karena tidak pernah melihat dia mengenalkan wanita sebagai pasangan hingga dewasa, Hudzai dikira cupu bahkan sang papa juga membenarkan pada akhirnya.
Padahal, Hudzai bersikap demikian ada sebabnya. Terlahir dari orangtua yang tidak berawal dari pacaran dan kerap deep talk bersama sang mama ternyata membuat Hudzai hanya ingin merasakan satu cinta, yaitu cinta setelah menikah.
Sejak dahulu sudah dia tekadkan, tidak akan pernah menggunakan perasaan kecuali bersama wanita yang memang telah diridhai sebagai miliknya, dengan kata lain sudah terikat pernikahan.
Kandasnya asmara teman dekat serta kehancuran Azkara hanya karena wanita juga semakin membuat Hudzai yakin bahwa pacaran hanya buang-buang waktu, tidak lebih.
Bahkan, Flora yang dulu berusaha mengejarnya hanya berakhir menjadi sahabat, tidak lebih. Tidak sedikit yang menganggapnya aneh, julukan cupu masih belum seberapa karena selama ini masih ada yang lebih mengerikan lagi.
Kaum pelangi, disfungsi ereksi, banci, kelainan mental, tidak tertarik pada manusia, terlalu mencintai diri sendiri dan masih banyak lagi. Puas Hudzai terima dan baginya sudah menjadi makanan sehari-hari.
Apa Hudzai marah? Tidak, tidak sama sekali. Dia tetap menjalani hidupnya seperti biasa, Hudzai fokus dengan tujuan dan mencari berbagai kesibukan agar dunianya tidak melulu tentang pasangan sampai nanti waktunya tiba.
Waktu, hanya perkara waktu, jadi salah besar jika Azkara menganggapnya cupu. Jangankan meminta buka cadar, meminta agar Alisya memeluknya juga dia berani, bukan meminta, tepatnya memaksa.
"Alisya pegangan."
"Sudah, ini sudah pegangan, A'."
"Pegangan kemana?"
Hanya karena tidak merasakan pelukan di perutnya, Hudzai sampai berhenti sejenak dan menoleh demi memastikan dimana Alisya berpengangan.
"Ays ... masa di sana?"
Sebenarnya dia ingin tertawa tatkala sadar jika sang istri berpengangan di besi yang berada di bagian belakang. Akan tetapi, berhubung di tengah jalan dan khawatir dianggap orang gila, Hudzai berusaha menahannya.
"Terus dimana, A'?"
Bukan sok polos, dia tahu dimana jika pasangan berpegangan. Hanya saja, dia tidak ingin lancang dan nanti justru dianggap tak sopan karena belum tentu Hudzai bersedia dipeluk olehnya.
"Sini," ucap Hudzai menepuk perut bagian kirinya.
"Sini?"
"Hm," jawabnya singkat, padat dan ternyata berhasil membuat Alisya patuh.
Sesuai perintah, dia berpindah pegangan di titik yang Hudzai tentukan. Sekadar menyentuh, telapak tangannya hanya menempel dan hal itu membuat Hudzai terpaksa bertindak.
Dalam waktu sekejab, tangan sang istri sudah melingkar di perutnya dan Hudzai merasakan benturan sesuatu di belakang punggungnya.
"Begini yang benar."
Mana jarak satu meter yang Azkara katakan? Sungguh omong kosong. Jangankan satu meter, satu senti saja mungkin tidak sampai.
Bagaimana tidak? Hudzai memang sengaja sedikit mundur dengan alasan ada barang di depan. Sementara itu, motor yang mereka naiki adalah milik Iqlima, otomatis kecil tentu saja.
Sepanjang perjalanan memang tidak begitu banyak perbincangan. Alisya hanya menjawab jika Hudzai bertanya, sementara Hudzai juga tidak banyak tanya.
"Belok kiri atau kanan?"
"Kiri, Aa'."
"Kanan saja lah, kiri jalannya jelek."
"Heum?" Dahi Alisya berkerut, Hudzai yang tanya, tapi setelah dijawab masih tergantung keputusan sendiri.
Satu lagi yang membuat Alisya bingung, bukankah tadi Hudzai bilang kurang hapal jalan? Anehnya, pria itu tahu kondisi akses jalan yang dia tunjukkan menuju masjid tersebut agak jelek.
"Kok tahu kalau jelek, A'?"
"Feeling saja, lihat dari sini saja sudah beda," jawab Hudzai lanjut mengikuti kata hatinya.
"Tapi Aa' tahu dari mana kalau bisa lewat kanan?" Alisya kembali bertanya.
Jiwa extrovert-nya terpanggil dan tak kuasa terus menahan. Menurutnya hal semacam ini perlu dipastikan, karena memang cukup bertentangan.
Hudzai terdiam, sejenak menggigit bibir demi mempertimbangkan jawaban yang pas. Sembari memerhatikan wajah polos Alisya yang tampak menunggu jawaban di kaca spion, Hudzai kemudian menjawab.
"Dulu pernah lewat jalan sama Habil, kalau tidak salah keluarnya ke jalan besar ... dan tinggal belok kiri, ada Masjidnya."
"Hah?!" timpal Alisya sebagaimana wanita jika diajak bicara di motor.
Bukan hanya karena helm yang dia gunakan, tapi suara Hudzai terlalu kecil hingga tidak bisa terdengar dengan jelas.
"Tidak-tidak, nanti saja."
"Apa, Aa'? Kurang jelas."
Hudzai menghela napas panjang. Andai saja yang di belakang adalah Haura, mungkin sudah turunkan di kotak sampah. "Kamu mau sarapan?"
"Mau deh," sahut Alisya cepat dan sukses membuat mata Hudzai membulat sempurna.
Sejak tadi kebanyakan Hah Hoh Hah Hoh, begitu diganti topik pembicaraan nyambung. Hudzai lagi-lagi tidak marah ataupun kesal, positif thinking mungkin saja sang istri lapar. Alhasil, tujuan ke Masjid At-Taqwa sejenak tertunda lantaran Hudzai singgah lebih dahulu ke salah-satu warung yang sekiranya nyaman dan tertutup.
Sengaja dia memilih tempat itu, jika hanya sendiri mungkin di pinggiran dan tempat terbuka saja tidak masalah. Hanya saja, karena dia bersama Alisya maka lain cerita.
.
.
"Susah?"
Alisya menggeleng, sejak tadi dia sadari Hudzai terus menatapnya. Cara makannya yang memang sedikit lambat dan agak sedikit ribet mungkin jadi alasannya.
Padahal, dia jadi lambat juga karena malu diperhatikan. Terlebih lagi, Hudzai ternyata hanya minum susu sementara Alisya harus menghadapi satu porsi lontong sayur yang Hudzai pesan untuknya.
Entah harus berterima kasih atau mengumpat sebenarnya. Agak menyesal Alisya menjawab mau ketika Hudzai bertanya.
Memang benar dia lapar, tapi tidak mungkin juga habis jika sudah sebanyak ini. Susah payah Alisya menghabiskannya, tapi mulut dan petut sudah terasa penuh sampai akhirnya menyerah.
"Kenapa?"
"Kenyang, A'," jawabnya pelan, seperti takut sang suami akan marah atau melontarkan kata-kata kasar padanya.
"Ya sudah, sini kalau kenyang."
"Heuh?"
Jauh berbeda dengan dugaannya, Alisya tidak mendapati Hudzai marah. Alih-alih marah atau melontarkan kata kasar, pria itu justru menghabiskan makanan yang tak mampu Alisya habiskan tanpa keraguan.
"Kenapa dimakan? Yang baru saja A'."
"Ini saja, mubazir nanti."
"Tapi itu sisa, Aa'." Selembut itu Alisya bicara, karena dia merasa kurang ajar jujur saja.
"Biar saja, Alisya," jawabnya sampai membelakangi Alisya agak tidak mengusik ketenangannya.
Alisya tak semudah itu menyerah, dia meraih sendok baru karena sebenarnya agak sedikit takut Hudzai jijik karena menggunakan bekasnya.
"Sendoknya ganti kalau gitu."
"Kenapa harus?"
"Bekasku, Aa'."
"Memang kenapa kalau bekasmu?"
"Apa tidak jijik?" tanya Alisya sampai berdiri sembari memegang pundak Hudzai yang membelakanginya.
Tak segera menjawab, pria itu tersenyum begitu tipis seraya melayangkan tatapan tak terbaca pada Alisya. "Tidak, kenapa harus jijik?"
"Kan ada bakteri dari ludahnya."
"Hanya bakteri sekecil itu tidak masalah ... bahkan nanti kita akan bertukar ludahnya kalau kamu belum tahu, Sya."
Gleg
.
.
- To Be Continued -