Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Tidak ada percakapan sampai kami tiba di parkiran dan masuk ke dalam mobil. Dari raut wajahnya tampak sekali ayah lelah, setelah pulang dari rumah Mbok Wati.
"Ayah gimana kemarin?" tanyaku memecah keheningan.
"Gimana apanya?" balas Ayah sambil menyalakan mobil.
"Mbok Wati meninggal kenapa?"
"Kata dokter, kemungkinan kena serangan jantung."
"Dokter tau gak, kapan Mbok Wati meninggal?"
"Kurang lebih 12 jam sebelum diperiksa di rumah sakit."
Dua belas jam, sebuah fakta mengejutkan bagiku. Aku kembali mengingat-ingat kejadian semalam sebelum Mbok Wati ditemukan meninggal dunia.
Saat itu aku yakin sekali menjelang tengah malam, sekitar pukul 11. Sedangkan jenazah Mbok Wati dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 9 pagi. Berarti jika perkiraan dokter benar, maka Mbok Wati sudah meninggal sebelum datang ke kamarku.
Lalu, siapa yang mengetuk pintu kamarku?
Apa si Wanita Ular itu? Namun seingatku suaranya seperti laki-laki.
Berkat informasi itu, kecurigaanku terhadap Lastri alias si Wanita Rambut Panjang agak berkurang. Sepertinya dia memiliki maksud baik, agar aku tidak menjadi korban berikutnya. Dia juga sepertinya tau kalau kamarku merupakan tempat yang paling aman. Jika sudah begini, rasanya ingin sekali bertemu dengannya, agar misteri ini segera terkuak.
"Kenapa ngelamun?" tanya Ayah, membuyarkan lamunanku.
"Eh, enggak, Yah."
"Tadi kata kamu, bunda sudah sadar."
"Iya, tadi Novita sempet ngobrol sama bunda."
"Ngobrolin apa?"
"Bunda nanya leon, Kevin dan Mbok Wati." Aku belum mau menceritakan semuanya.
"Terus kamu jawab apa?"
"Novita jawab ada di rumah. Abis itu ayah datang dan bunda udah gak sadar lagi."
"Ya, kalau bunda bangun, jangan sampe dia tau semua kejadian di rumah."
"Iya, Yah."
"Semoga aja bunda cepet sadar lagi. Apalagi bentar lagi kamu mau balik Jerman, Kan?"
"Yap, enam hari lagi."
Mobil melaju memasuki daerah perkotaan. Tiba-tiba ayah menghentikan mobil tepat di sebuah restoran.
"Kamu belum makan siang, Kan?" tanya Ayah.
Aku menggelengkan kepala.
"Kita makan siang dulu, baru pulang ke rumah."
"Oke."
Ayah memarkirkan mobil di depan restoran. Lalu, kami pun turun dan masuk ke dalam.
*
"Ayah, apa ayah tau tentang ilmu hitam?" tanyaku saat menunggu makanan datang.
"Kenapa kamu tanya begituan?"
"Novita cuman penasaran, apakah kejadian akhir-akhir ini ada hubungannya dengan ilmu hitam?"
"Jangan ngaco, Ah."
"Tapi, Mbok Wati pernah bilang begitu."
"Kapan? Kok kamu baru cerita?"
"Pas terakhir kali Novita ngobrol sama Mbok Wati."
"Udah ayah bilang jangan ngobrol sama Mbok Wati. Dia itu hampir buat kamu meninggal."
"Novita tau, Kok. Katanya itu sengaja."
"Dan kamu percaya begitu aja?" tanya Ayah kesal.
"Mbok Wati udah tinggal di rumah kita puluhan tahun. Dari Novita kecil sampe sekarang ini. Jadi Novita percaya omongannya."
Makanan pun datang.
"Udah, nanti aja kita obrolin lagi di rumah, sekarang makan dulu."
Kutatap wajah ayah yang masih terlihat cemberut. Entah apa yang membuatnya kesal.
Selesai makan, kami langsung pulang. Perjalanan menuju rumah terasa canggung. Sejak tadi ayah tidak berbicara sepatah kata pun.
Sesampainya di rumah, Pak Ahmad langsung membukakan pagar. Kami pun turun bersamaan. Lalu, ayah meminta Pak Ahmad untuk memasukan mobil ke garasi.
"Ayah," panggilku saat kami baru saja masuk rumah.
"Apa, Sayang?" balasnya.
"Ayah marah sama Novita?" tanyaku.
"Enggak, Sayang. Ayah cuman capek aja, mau istirahat," balasnya sambil memegang kepalaku.
"Ya udah, ayah istirahat dulu." Aku sangat paham, dari kemarin ayah yang paling sibuk mengurus jenazah Mbok Wati.
Ayah berjalan ke kamarnya. Begitu pula aku yang kembali ke kamar.
*
Menjelang malam, aku masih tidur-tiduran di atas tempat tidur. Ke luar kamar pun paling hanya ingin mengambil air. Ayah masih belum bangun dari tidurnya.
Beberapa kali kulihat, Pak Ahmad masih ada di sekitar rumah. Tumben sekali, dia belum pulang ke rumah.
Krek!
Pintu kamar terbuka. Dengan wajah kusut dan setengah mengantuk, ayah masuk ke dalam kamar.
"Sayang, mau makan apa?" tanyanya.
"Bebas, Yah," balasku tersenyum karena melihatnya beberapa kali menguap.
"Ya udah, nanti ayah suruh Ahmad beli makanan deket-deket sini." Ayah berjalan ke luar kamar.
"Ayah," panggilku, membuatnya menghentikan langkah.
"Apa, Sayang?" balasnya menengok padaku.
"Sini, deh!" Aku memintanya duduk di dekatku.
"Ada apa, Sayang?" Ayah masih berdiri di dekat pintu.
"Sini dulu! Novita mau ngomong sesuatu." Mungkin sekarang saatnya menceritakan semuanya.
Ayah berjalan mendekat, lalu duduk di sampingku.
"Ayah, ingat cerita novita di restoran tadi siang?" tanyaku.
"Masalah ilmu hitam itu?"
"Yap."
"Mau bahas apa lagi?"
"Nih, baca!" Aku mengambil surat dari Mbok Wati di laci nakas, lalu memberikannya pada ayah.
"Apa ini?" tanya Ayah bingung.
"Baca aja dulu."
Ayah mulai membaca surat itu. Wajahnya nampak serius.
"Pesugihan," gumamnya.
"Ahmad?" tanyanya sambil menatap wajahku.
Aku menganggukan kepala.
"Ayah gak percaya kalau Ahmad bisa ngelakuin itu."
"Mbok Wati diminta bunda buat cari tau masalah ini. Dan Pak Ahmad yang paling dia curigai."
"Jadi mau kamu gimana? Apa ayah perlu tanya langsung ke dia? Soalnya ini tuduhan serius loh, Sayang. Bukan main-main."
"Novita gak tenang selama Pak Ahmad ada di rumah ini."
"Ayah gak mungkin memecatnya tanpa alasan kuat, Sayang."
"Terserah ayah deh, yang penting Novita udah ngasih tau ini," balasku cemberut.
Ayah mengernyitkan dahi, sedang berpikir solusi terbaik tentang masalah ini.
"Jadi keputusan ayah gimana?" tanyaku.
"Ayah paling minta dia untuk gak kerja dulu seminggu, sambil nanti cari tau kebenerannya. Soalnya ayah harus konsultasi juga ke orang yang ngerti masalah beginian," jelas Ayah.
"Oke, Yah."
Ayah ke luar kamar. Tak lama kemudian, terdengar suara sepeda motor meninggalkan rumah. Artinya Pak Ahmad sudah pergi meninggalkan rumah. Setidaknya aku bisa merasa agak lega.
*
Setelah Pak Ahmad pergi, ayah mengajakku makan di luar.
"Ayah marah?" tanyaku karena melihat wajahnya yang terus cemberut.
"Enggak, Sayang. Ayah cuman bingung. Kalau bener Ahmad pelakunya, untuk apa dia ngelakuin ini?"
"Novita juga gak tau, Yah."
Ayah mengajakku ke Warung Pecel Lele langganan keluarga. Selesai makan, kami pun langsung pulang.
Di rumah, ayah memintaku menemaninya menonton televisi. Sudah lama sekali aku tidak menonton televisi bersamanya.
Namun, kali ini rasanya hambar sekali. Tidak ada gelak tawa Leon dan Kevin. Tidak ada bunda yang selalu duduk di sampingku. Tidak ada Mbok Wati yang siap sedia mengantarkan kami cemilan dan minuman. Yang tersisa hanya aku dan ayah, duduk di depan televisi tanpa berbicara sedikit pun.
Bosan, aku pun kembali ke kamar. Sementara itu ayah masih betah duduk di ruang tengah, sambil menonton acara televisi favoritnya.
Di kamar, aku langsung merebahkan tubuh. Rasa kantuk mulai menyerang. Tak lama aku pun tertidur.
Tuk!
Tuk!
Samar-samar terdengar bunyi dari arah jendela. Seperti ada seseorang yang sedang melemparkan kerikil.
Dengan mata setengah terbuka, kutatap jendela. Ternyata aku lupa menutupnya gordinnya. Aku bangkit, berjalan perlahan ke arah jendela.
Deg!
Tiba-tiba si Wanita Berkebaya Hitam muncul di balik jendela. Dia menatapku tajam, dengan bibir tersenyum. Lalu, mulai mengoyangkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Menari.
Aku tak bisa menggerakan tubuhku. Seperti dipaksa untuk menontonnya menari. Ingin berteriak memanggil ayah, tapi tidak bisa. Lirikan matanya yang tajam dan melotot, membuat irama jantungku semakin cepat.
"Hihihihi." Dia tertawa melengking. Cukup untuk membuat seluruh bulu kudukku meremang. Tak lama, dia pun menghilang. Saat tubuhku bisa digerakan, aku langsung berlari menuju kamar ayah.
Deg!
Lagi-lagi langkahku terhenti. Si Wanita Berkebaya Hitam itu sudah ada di hadapanku. Menggunakan wujud setengah ular dan melayang tepat di depan kamar ayah.
Dia tersenyum lebar. Kemudian masuk ke dalam kamar ayah.
"AYAH!" teriakku panik.