Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24. Sidang yang Mengakhiri Segalanya
Hari itu Dante datang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia duduk di ruang kerjanya, sebuah meja besar dipenuhi dengan tumpukan dokumen bisnis yang kini terasa tak berarti. Di atas meja, sebuah amplop berisi surat cerai sebelumnya, tergeletak seperti bom waktu yang siap meledak.
Dante memandangi kertas itu untuk waktu yang lama, seperti berharap kalau keajaiban bisa terjadi. Pikirannya penuh dengan kenangan tentang Amara; senyumnya, tatapannya yang penuh kasih, hingga momen-momen kecil yang pernah mereka bagikan.
Pintu ruang kerja terbuka. Ben masuk dengan ekspresi ragu. “Boss, ini sudah waktunya untuk...”
Dante mengangkat tangan, menghentikan Ben dari menyelesaikan kalimatnya. “Aku tahu,” katanya lirih.
Ben tetap berdiri di tempatnya, menunggu perintah lebih lanjut. Dante mendesah dalam-dalam, lalu mengambil pena di depannya. Ia merasa seperti menandatangani akhir hidupnya sendiri.
“Jika ini yang Amara inginkan,” gumam Dante, lebih kepada dirinya sendiri, “Aku akan melakukannya. Tapi, Ben, aku tidak akan pernah berhenti mencintainya.”
Ben menatap bosnya dengan penuh simpati. “Bos, aku yakin Kakak Ipar juga tidak menginginkan ini, tapi... terkadang cinta harus menghadapi pengorbanan.”
Dante tertawa hambar. “Pengorbanan? Ini lebih seperti hukuman.”
Ia mengambil dokumen itu dan mulai menandatangani setiap halaman. Tangan Dante gemetar, tetapi ia terus melanjutkan, meskipun setiap coretan pena terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.
Sementara di tempatnya, Amara menunggu di sebuah ruangan kecil di kantor pengacara. Pikirannya kacau, dadanya terasa sesak. Ia tahu apa yang akan terjadi hari ini, tapi tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk rasa sakit ini.
Pintu terbuka, dan Dante masuk dengan langkah berat. Ia mengenakan setelan rapi seperti biasa, tetapi wajahnya tampak lebih lelah daripada sebelumnya. Ia membawa dokumen yang sudah ditandatangani dan menyerahkannya kepada pengacara.
“Semua sudah selesai,” kata Dante dengan suara datar, matanya menatap lurus ke arah Amara. “Seperti yang kau inginkan.”
Amara mencoba berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya bisa menatap Dante dengan mata yang sayu namun berpura tegar.
“Dante...” bisiknya, akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu.
“Apa?” tanya Dante tajam. “Kau ingin mengatakan bahwa kau menyesal? Atau kau ingin berterima kasih karena aku menuruti keinginanmu?”
Amara menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang semakin memuncak. “Aku hanya ingin kau bahagia.”
“Bahagia?” Dante tertawa kecil, suaranya penuh kepedihan. “Kau tahu apa yang membuatku bahagia, Amara? Kau. Tapi sekarang, kau mengambil itu dariku. kau kejam,” katanya.
Amara tidak bisa menahan lagi. Ia segera keluar dari ruangan itu, meninggalkan Dante yang berdiri terpaku.
Beberapa hari kemudian,sidang perceraian pun tiba.
Hari itu, langit mendung seolah memahami beratnya langkah Amara yang memasuki ruang sidang. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi. Gaun hitam sederhana yang ia kenakan menegaskan keseriusannya, sementara tangannya yang gemetar menggenggam berkas-berkas perceraian.
Dante sudah ada di sana, duduk di sisi meja pengacara dengan jas hitam yang membuatnya tampak lebih dingin dari biasanya. Tatapannya lurus ke depan, namun sesekali ia melirik ke arah Amara. Tak ada senyum, hanya kesedihan yang terselip di balik matanya.
Amara menghindari tatapannya. Ia tak sanggup menatap Dante terlalu lama, takut keputusannya goyah. Ia harus melakukannya, meski hatinya menjerit.
---
Sidang Dimulai
Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. Ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar suara napas tertahan dari para hadirin.
"Saudari Amara Laurent dan Saudara Dante Laurent, apakah Anda berdua memahami bahwa perceraian ini adalah keputusan final yang tidak dapat diubah tanpa pengajuan ulang?" tanya hakim dengan nada tegas.
Amara mengangguk pelan, sementara Dante mengucapkan, "Ya," dengan suara rendah.
Hakim memandang mereka bergantian, lalu melanjutkan, "Sidang ini akan membahas penyelesaian perceraian saudara berdua, jika ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang."
Dante tiba-tiba angkat bicara. “Yang Mulia, saya hanya ingin memastikan satu hal. Apakah ini benar-benar keputusan istri saya?”
Amara tertegun. Ia tahu Dante mencoba mencari alasan untuk menghentikan ini, namun ia tetap diam.
Hakim mengarahkan pandangan pada Amara. “Saudari Amara, apakah benar ini adalah keputusan Anda?”
Amara menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. “Ya, Yang Mulia. Ini keputusan saya.”
Dante mengatupkan rahangnya, tampak menahan emosi. “Kalau begitu, saya tidak akan menghalangi. Tapi saya ingin mencatat bahwa ini bukan keinginan saya.”
Amara menutup matanya sejenak, menahan air mata. Kata-kata Dante terasa seperti pukulan telak, namun ia harus bertahan.
Ketika hakim menyampaikan putusan perceraian, ruang sidang terasa semakin dingin. Palu diketuk, menandakan akhir dari ikatan yang pernah mereka jaga bersama.
Amara tidak melihat ke arah Dante ketika ia berdiri untuk meninggalkan ruangan. Luca menunggunya di luar, wajahnya penuh simpati.
"Sudah selesai?" tanya Luca pelan.
Amara mengangguk tanpa bicara. Air matanya mulai mengalir ketika mereka berjalan keluar gedung.
Sementara itu, Dante tetap duduk di kursinya, memandang kosong ke arah meja hakim yang kini kosong.
Ben, asistennya, menghampirinya. “Bos, kita harus pergi.”
Namun Dante tidak bergerak. “Aku tidak bisa percaya ini sudah berakhir,” gumamnya.
Ben menepuk pundaknya dengan lembut. “Terkadang, cinta tidak cukup. Mungkin waktu akan menyembuhkan segalanya,” kata Ben mencoba menenangkan.
Dante menoleh, matanya dipenuhi amarah dan kesedihan. “Aku tidak butuh waktu. Aku butuh dia," katanya.
Namun meski Dante ingin melawan, ia tahu bahwa Amara telah mengambil keputusan yang tak dapat ia ubah. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, Amara akan mengerti bahwa ia tidak pernah berhenti mencintainya.
---
Di malam itu, Amara duduk sendirian di kamarnya. Dokumen perceraian yang baru ia terima tergeletak di meja. Ia menatap surat itu dengan hati yang hancur.
“Apa ini benar-benar jalan yang terbaik?” bisiknya pada diri sendiri.
Di sisi lain, Dante berdiri di balkon kamarnya, memandangi bintang-bintang. Hatinya penuh penyesalan, namun ia tahu ia tidak bisa memaksakan perasaan seseorang yang memilih menjauh darinya.
malam semakin larut, Hujan mulai mengguyur di luar rumah keluarga Laurent. Amara yang baru saja selesai menenangkan Nico di kamarnya, berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ia terkejut mendapati Dante sudah ada di sana, bersandar di meja dapur dengan secangkir kopi di tangannya.
Mereka saling menatap sejenak, dan Amara segera memalingkan wajahnya. Ia membuka kulkas dengan tangan gemetar, berusaha mengabaikan kehadiran Dante.
“Kau tidak bisa tidur juga?” tanya Dante tiba-tiba, suaranya serak tetapi tidak terdengar marah.
Amara diam sejenak, sebelum menjawab dengan pelan, “Tidak.”
Dante menatap punggung Amara yang terlihat lebih kecil dari biasanya. Ingin ia mendekap tubuh lelah itu, menenangkannya, membiarkannya menangis di dadanya, namun ia tak bisa, Amara tidak membiarkan itu terjadi, ia menutup segalanya, “Apa ini benar-benar yang kau inginkan?” katanya lagi.
Amara menggenggam gelas di tangannya erat-erat. “Aku pikir kita sudah membahasnya di pengadilan,” jawabnya tanpa menoleh.