Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 22
Kunci sudah ada di tangan Angga. Dia pun langsung beranjak menuju kamar yang karyawannya itu maksudkan. Sementara Adya, terus mengikuti Angga ke mana pun tuan mudanya itu melangkah.
Di kamar 2904, Zura sedang sibuk ngobrol dengan Lula tentang pameran yang akan mereka ikuti. Dengan cemilan di atas meja, plus laptop di atas pangkuan, keduanya terlihat fokus dengan apa yang sedang mereka bicarakan.
Sementara itu, di depan tersebut, Angga sedang bersiap-siap untuk membuka pintu kamar itu. Namun, hatinya masih ragu harus membuka kamar yang mana terlebih dahulu di antara kedua kamar yang saat ini dua kunci ada di tangannya.
"Tuan muda. Apa tidak sebaiknya, kita ketuk dulu pintu kamar ini? Mungkin, nona Zura sedang-- "
"Jangan bercanda, Adya. Jika aku mengetuk pintu kamar ini, orang yang kita cari tidak akan kita temui. Kamu paham bukan apa yang aku maksudkan?"
"Tuan muda, itu -- "
Angga malah langsung melakukan apa yang ingin hatinya perbuat. Dia buka kamar itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Menerobos masuk tanpa permisi seolah tidak tahu aturan saja.
Sontak, si penghuni kamar langsung dibuat terkejut dengan ulah Angga yang sangat tidak tahu tata krama. Mereka menatap tajam Angga yang saat ini sedang berdiri di hadapan mereka.
"Siapa kamu! Mengapa bisa masuk kamar kami tanpa permisi."
"Iya. Apa-apaan ini?"
"Tuan muda."
"Katakan, di mana Zura sekarang! Aku ingin bertemu dengannya sekarang juga."
"Zura? Siapa dia? Apa hubungannya dia dengan kami."
Ternyata, yang Angga masuki pertama kali adalah kamar yang pengawal Zura tinggali. Tentu saja dua pria itu langsung di buat marah dengan ulah Angga sekarang. Hampir saja Angga kena pukulan jika tidak ada Adya yang menjadi penenang masalah.
Sayangnya, masalah tidak semudah yang mereka pikirkan. Dua pengawal itu merasa sangat tidak senang dengan ulah Angga. Petugas keamanan pun mereka panggil.
Tidak hanya itu saja, karena Angga telah menerobos masuk tanpa permisi, Angga malah dituntut oleh kedua pengawal itu atas tuduhan melanggar hal privasi pelanggan. Sungguh kasihan, Angga sekarang. Meski dia yang punya hotel tersebut, alasan yang ia berikan tentu saja tidak bisa diterima begitu saja. Urusan dengan pihak berwajib pun tidak bisa ia hindarkan lagi.
Bukannya bisa bertemu dengan Zura, ia malah mendapatkan masalah. Untuk saja dia pria yang punya kuasa dan pengaruh sangat besar. Masalah yang sedang ia hadapi tidak terlalu memberatkan dirinya. Jadinya, dengan mudah ia berdamai setelah melewati beberapa prosedur dan membayar ganti rugi dengan sejumlah uang.
"Tuan muda."
"Aku yakin Zura ada di kamar sebelahnya, Adya. Sekarang, aku semakin merasa penasaran dengan apa yang dia lakukan di hotel terbesar di kota ini. Sungguh, rasa penasaran ini semakin membuat aku ingin bertemu dengannya."
"Tuan muda, tolong. Jangan lagi untuk malam ini. Sekarang sudah sangat larut. Jika kita datang, maka tidak menutup kemungkinan kalau masalah akan terjadi lagi."
"Tapi, Adya. Aku sangat penasaran," ucap Angga tidak lagi bisa menahan diri.
"Besok saja, tuan muda. Ini demi kebaikan tuan muda sendiri. Lagian, kata resepsionis, nona Zura itu menyewa kamar untuk tiga hari, bukan? Jadinya, masih punya banyak waktu untuk tuan muda bertemu."
Saat itulah Angga baru ingat dengan data yang karyawannya perlihatkan. Zura membayar kamar untuk tiga hari ke depan. Rasa ingin tahu dalam hati Angga pun semakin membesar saja.
Namun, karena hari yang sudah sangat larut, dia pun memilih untuk mendengarkan apa yang Adya katakan. Menunda rasa penasarannya hingga besok hari.
...
Keesokan harinya, Zura dan Lula malah keluar hotel pagi-pagi sekali. Setelah sarapan bersama, tujuan mereka adalah kantor polisi.
Sedangkan untuk urusan yang terjadi tadi malam, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Kedua pengawal itu tidak menceritakan apapun yang mereka alami pada atasan mereka.
Sampai di kantor polisi, Zura langsung minta izin buat bertemu Mirna dan tantenya. Tentu saja kedua ibu dan anak langsung menyambut kedatangan Zura dengan riuh.
"Zura-Zura. Tolong lepaskan kami. Kami tahu kami salah, Ra. Kami tidak akan berbuat salah lagi. Tolong, minta polisi melepaskan kami."
Mohon Mirna dengan wajah yang sangat mengiba.
"Iya, Ra. Kami tidak akan berbuat salah lagi. Bagaimanapun caranya, kami akan mengembalikan rumah itu padamu, Nak. Kami janji, kami tidak akan berulah lagi. Tolonglah, Ra. Keluarkan kami dari sini." Si tante juga ikut mengharap belas kasih dari wanita yang dulunya sudah ia sakiti tanpa belas kasih.
Melihat kata-kata yang penuh sesal juga sangat mengiba, Zura malah memberikan senyum kecil pada ibu dan anak tersebut. Napas ia tarik, dalam ia lepaskan secara perlahan.
"Kenapa sekarang baru sadarnya, Tante? Mirna? Kemarin, kalian ke mana saja? Saat aku sangat berbaik hati dengan sabarnya memberikan kalian waktu untuk berubah. Saat itu, aku masih berharap, kalian berubah setelah lama aku tinggalkan. Tapi ternyata, kalian malah tidak mengindahkan peringatan ku sedikitpun."
Zura kembali tersenyum kecil.
"Sekarang, aku sudah tidak punya urusan lagi dengan kalian. Karena polisi sudah mengambil alih urusan itu. Nikmatilah masa-masa buruk kalian di sini. Karena aku yakin, kalian akan menginap lama di tempat ini."
"Kamu sangat kejam, Zura! Aku sangat benci padamu!" Mirna berteriak dengan suara nyaring.
Tatapan tajam Zura berikan.
"Aku kejam? Lalu kalian tidak, begitu?"
"Lupa? Aku tidak pernah mengambil hak kalian. Tapi kalian malah mengambil hak istimewa satu-satunya yang paling berharga dalam hidupku. Rumah peninggalan orang tuaku yang di mana di dalamnya terdapat kenangan indah kami sekeluarga."
"Tidak hanya itu saja. Kalian juga sudah menyia-yiakan pamanku. Bahkan, kalian menyakiti pamanku tanpa belas kasih. Kalian pantas menerima hukuman yang berat," ucap Zura penuh dengan penekanan.
Setelah berucap, Zura langsung beranjak meninggalkan sel tempat di mana ibu dan anak itu dikurung. Tidak pula Zura hiraukan panggilan dari kedua ibu dan anak yang terus memanggil namanya berharap belas kasihan darinya. Hati Zura sudah terlalu sakit. Rasa kasihan nya pun sudah dia tutup rapat-rapat sekarang.
Sementara Zura sudah keluar dari kantor polisi bersama Lula, Angga dan Adya sedang berada di hotel sekarang. Rasa kecewa menyusup ke dalam hati Adya saat tahu bahwa Zura sudah keluar dari hotel tersebut.
"Aku akan menunggu di dalam kamarnya kalau gitu."
"Jangan, tuan muda." Adya berucap cepat. "Jangan lakukan itu, tuan muda. Nanti -- "
"Tahu apa kamu, Adya?"
"Tunggu! Aku rasa, akhir-akhir ini kamu tidak mirip seperti asisten pribadiku. Melainkan, kamu seperti orang tuaku yang terlalu banyak bicara. Apa kamu sudah bosan bekerja denganku, Adya?"
"Aduh, tuan muda. Bukan begitu. Saya hanya khawatir dengan langkah yang tuan muda ambil. Contohnya saja ... tadi malam."
"Jangan cerewet. Aku tahu apa yang sedang aku lakukan. Jangan ikuti aku jika kamu bosan dengan pekerjaan mu. Mengerti?"
"Ya Tuhan .... "