Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pulang
Setelah kepergian Samudera dan Ariana, Tatiana kembali meluahkan rasanya melalui tetesan air mata. Hidupnya kini benar-benar terasa hampa. Semangat juangnya pun telah habis tak bersisa. Apalagi setelah melihat sikap Ariana yang entah kenapa tiba-tiba berubah padanya.
Padahal biasanya Ariana tidak bisa berjauhan darinya, tapi kini ... Ariana-nya seakan telah pergi. Berganti dengan sosok yang lain. Sikapnya tak lagi hangat. Biasanya sikap hangat dan ceria Ariana bisa menjadi pelipur laranya. Tapi semua telah berbeda. Apakah ini isyarat agar Tatiana segera mengundurkan diri dari pernikahan yang tak sehat ini?
Sementara itu, di dalam perjalanan, Samudera tak henti-hentinya berpikir kenapa sikap Ariana tampak berbeda dari biasanya. Ia yang begitu dekat dengan Tatiana, mengapa tiba-tiba berubah.
"Ana kenapa tadi tidak mau tegur Bunda?" tanya Samudera penasaran. Padahal biasanya Ariana akan selalu menempel dengan Tatiana, tapi Ariana justru tampak seperti menghindar. Ia seakan tidak ingin berlama-lama berdekatan dengan Tatiana. Samudera jadi makin merasa bersalah dengan Tatiana.
"Nggak papa," jawab Ariana sambil mengalihkan tatapannya ke jendela kaca mobil.
"Tapi Ana nggak boleh begitu. Kan bunda lagi sedih. Nenek baru saja meninggal. Bunda pasti sedih banget," ujar Samudera membuat Ariana menunduk sedih.
"Apa orang meninggal itu nggak akan kembali lagi, Yah?" tanya Ariana sambil menoleh ke arah sang ayah.
Samudera menghela nafasnya kemudian mengangguk.
"Sama seperti ibu?" tanya Ariana dan Samudera kembali mengangguk.
"Tapi ibu Ana kok bisa kembali?" tanya Ariana bingung membuat Samudera terkesiap. Sepertinya Ariana benar-benar Triani adalah ibunya.
"Na, Tante Triani itu bukan ibu. Tapi dia saudara kembar ibu. Kalau ibu Ana sudah benar-benar pergi dan takkan kembali lagi. Kan ayah sering bawa Ana ke makam ibu," ujar Samudera menjelaskan. Ia benar-benar lupa untuk menjelaskan masalah ini pada Ariana.
"Jadi ibu itu bukan ibu Ana?" tanyanya dengan mata membulat.
"Bukan. Seharusnya Ana memanggilnya tante, bukan ibu. Namanya itu Tante Triani. Tante Triani memang sangat mirip dengan ibu karena Tante itu kembaran ibu. Ibu Ana sekarang itu Bunda. Tapi Ana tetap harus mengingat dan mendoakan ibu ya," ujar Samudera menjelaskan. Tak terasa mobil Samudera telah masuk ke pekarangan rumah Samudera. Tampak di sana sudah berdiri Triani yang segera mengembangkan senyumnya saat melihat Samudera dan Triani yang turun dari dalam mobil.
"Kalian dari mana? Kenapa tidak ada orang di rumah?" tanya Triani.
Mendengar pertanyaan itu, membuat Samudera menghela nafas panjang.
"Kami dari rumah Tiana. Kemarin ibunya meninggal dan langsung dimakamkan sore harinya," ujar Samudera lemah.
"Apa? Astaga, aku jadi tidak enak sama istrimu itu, Kak. Gara-gara aku, kau jadi tidak tahu kalau ibu mertuamu meninggal. Aku turut berdukacita, Kak. Semoga istrimu tidak marah padamu karena waktumu sudah tersita oleh keinginan kami," ujar Triani merasa bersalah.
"Itu bukan salahmu. Semua sudah takdir. Lagipula yang ingin pergi ke water park kan Ana. Kau hanya ingin mewujudkan keinginannya saja," ujar Samudera sambil membuka pintu.
"Ana, sini sama ibu. Ibu bantu kamu siap-siap sekolah, ya," ujar Triani.
"Tante. Aku sudah menceritakan pada Ana kalau kau adalah Tantenya, bukan ibunya," ucap Samudera membuat Triani cukup terkejut. Triani menyibak rambutnya ke belakang karena salah tingkah.
"Maaf. Mungkin karena aku memiliki ikatan batin dengan Ariana jadi membuatku menganggapnya sudah seperti putriku sendiri."
Samudera tidak begitu mengindahkan perkataan Triani. Ia sudah melesat ke dalam kamar untuk bersiap bekerja. Sedangkan Ariana sedang bersiap sekolah dibantu Triani.
Seminggu telah berlalu. Malam ini tahlilan yasinan 7 hari kepergian ibu Tatiana baru saja selesai digelar.
"Kamu istirahat saja di kamar, Nak. Biar Mama sama yang lainnya saja yang membereskan semuanya. Kamu pasti lelah," ujar mama mertua Tatiana. Seminggu telah berlalu, tapi mendung di wajah Tatiana tak kunjung menyingkir.
"Apa kata Tante Sakinah benar, Dek. Biar mbak dan yang lainnya saja yang membereskan semuanya," Triani yang ikut hadir malam itu ikut menimpali. Sementara Samudera sedang menyalami para tamu di teras seraya mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka.
Dengan wajah datar, Tatiana mengangguk. Ia benar-benar malas berbicara saat ini. Lagipula jiwa dan raganya memang sedang benar-benar kelelahan.
Setelah semua tamu pulang, Samudera pun segera mencari Tatiana. Masuk ke kamar, Samudera langsung menyambangi Tatiana yang sedang berdiri menghadap jendela kaca.
Samudera pun langsung melingkarkan tangannya di perut Tatiana membuat perempuan itu tersentak.
"Mau makan?" tawar Samudera.
Tatiana menggeleng tanpa mengeluarkan suaranya.
"Tapi kamu belum makan malam. Seminggu inipun kata mama kamu tidak makan teratur. Kita makan ya? Atau mau Mas suapi?" tawar Samudera sambil memandangi wajah cantik sang istri yang tampak pucat. Bahkan bibirnya pun tampak kering dan pecah-pecah. Samudera tak kuasa melihat istrinya keadaan seperti ini.
Bukannya menanggapi, Tatiana justru melepaskan pelukan Samudera dan berjalan menuju kamar mandi.
"Na, kamu masih marah sama, Mas? Mas benar-benar minta maaf. Mas nggak tau kalau kamu telepon sebab hp Mas ketinggalan di mobil," ucap Samudera yang benar-benar menyesal karena tidak bisa hadir di saat ia sedang membutuhkannya.
"Aku tidak marah, Mas. Toh percuma marah. Memangnya aku siapa sih? Hanya orang tak penting yang memaksa masuk kehidupan kalian. Kalau sudah tak ada kepentingan, lebih baik Mas pergi. "
"Na, tidak seperti itu," sergah Samudera, tapi Tatiana keburu masuk ke dalam kamar mandi.
Saat Tatiana keluar, ia pikir Samudera telah pergi, tapi nyatanya ia masih duduk di atas ranjang. Memang seminggu ini Samudera sengaja tidur di rumah itu. Sedangkan Ariana terpaksa ikut sang ibu karena ia tak ingin menyusahkan Tatiana yang sedang berduka.
"Na, kita pulang ke rumah ya?" bujuk Samudera.
"Kalian pulanglah. Aku masih mau di sini," ujar Tatiana yang memang masih berat meninggalkan rumah itu. Ingatan demi ingatan tentang kebersamaannya dengan sang ibu berkelebat. Ada rasa rasa rindu yang menyusup. Andai ia tidak menikah, pasti ia akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan sang ibu.
Tapi Tatiana tahu, tak ada gunanya menyesal. Bukankah ini keinginannya sendiri kala itu.
Tatiana memang sudah mengikhlaskan kepergian sang ibu, tapi tetap saja, rasa sesak itu masih ada. Rasanya baru kemarin ia bermanja-manja dengan sang ibu, tapi hari ini ia sudah kehilangan semua.
"Apa kau tidak merindukan rumah kita?"
'Rumah kita? Rumah yang mana yang Mas maksud? Bukankah itu rumah Mas dan mendiang mbak Triana.'
Namun kalimat itu hanya Tatiana suarakan dalam hati. Lidahnya terlalu kelu untuk menyuarakannya.
"Na, besok Mas akan pergi ke Bali untuk mengikuti dan mengisi seminar selama 5 hari dan paling lama seminggu. Minggu depannya lagi Mas akan mengisi workshop di Surabaya. Waktunya juga kurang lebih sama, 5 sampai 7 hari. Mas akan tenang bila kau berada di rumah. Mas juga akan minta tolong bi Una menemanimu selama Mas pergi jadi kau tidak akan sendiri. Kau juga pasti merindukan Ariana kan? Mau ya kamu ikut Mas pulang?" bujuk Samudera lagi.
Sebenarnya Tatiana merasa enggan. Tapi ia merasa masih memiliki tanggung jawab baik sebagai istri maupun sebagai seorang ibu. Tatiana yang juga ingin memastikan sesuatu pun terpaksa mengiyakan.
Untuk sementara ia masih akan berpegang pada permintaan ibunya sebelum ia meninggal, yaitu mencoba mempertahankan rumah tangganya. Namun bila dirasa ia sudah tak sanggup lagi, ia pun sudah bertekad akan benar-benar pergi.
Melihat Tatiana mengangguk, Samudera pun mengembangkan senyumnya. Ia lantas memeluk Tatiana dengan erat.
"Terima kasih, Na. Maaf karena Mas sudah mengecewakanmu," ucapnya. Samudera merasa senang. Meskipun Tatiana masih bersikap dingin, ia tak masalah sebab ia sadar, ia benar-benar bersalah.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
menyiksa diri sendiri.