novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: kebenaran yang menghancurkan
Langit memerah seolah terbakar, warna-warna menyala dari api dan petir yang menghujani tanah. Di tengah medan perang, Aric, Lyria, dan Kael berdiri dalam posisi bertahan, dikelilingi oleh pasukan cahaya yang berbaris rapi. Pedang dan tombak prajurit itu berkilauan, menciptakan dinding baja yang tampak tak tertembus. Namun, ketegangan yang sesungguhnya terjadi di antara tiga sahabat, terutama saat Aric masih berjuang mengendalikan energi naga yang bergejolak di dalam tubuhnya.
"Aric, tolong, kau harus mengendalikan ini," desak Lyria, suaranya bergetar. Matanya yang biru bersinar dipenuhi rasa cemas. "Aku tahu kau lebih kuat dari ini. Kau adalah Aric, sahabat kami, bukan Dewa Naga!"
Aric memejamkan matanya, mencoba meredam ledakan energi di dalam dirinya. Tapi setiap kali ia berusaha menenangkan pikirannya, bayangan perang masa lalu menyeruak, penuh dengan pengkhianatan dan kemarahan. "Aku... aku tidak tahu bagaimana melawannya," katanya, tubuhnya gemetar. "Semua ini terasa begitu nyata... begitu... penuh kebencian."
Kael, yang selama ini diam sambil memegang pedangnya, maju dengan wajah tegang. "Aric, kita bisa mengatasi ini bersama. Kita adalah sahabat! Kita sudah melewati begitu banyak hal, dan kita tidak akan meninggalkanmu sekarang." la menatap Aric dengan tekad, meskipun jelas terlihat betapa takutnya ia sebenarnya.
Sebelum Aric sempat menjawab, suara gemuruh dari kejauhan menginterupsi mereka. Pria berarmor emas, pemimpin pasukan cahaya, melangkah maju. Wajahnya yang penuh kebencian tampak dingin, tetapi bibirnya melengkung ke dalam senyum yang menakutkan. "Dewa Naga Kehancuran," suaranya menggelegar seperti guntur, "Kami telah menunggu kembalimu selama berabad-abad. Kali ini, kami tidak akan gagal membinasakanmu."
Aric menelan ludah. Kekuatan naga di dalam dirinya meronta-ronta ingin keluar, ingin menghancurkan musuh yang berdiri di depannya. Tapi di antara semua ketegangan dan kebencian itu, suara Lyria terus menggema di pikirannya, mengingatkannya bahwa ia bukanlah monster yang mereka pikirkan. "Aku harus... aku harus tetap sadar," pikirnya, meski kegelapan di dalam hatinya terus mendesak.
"Jika kau ingin bertarung," Kael memprotes, mengangkat pedangnya ke arah pria berarmor emas, "Kau harus melewati kami dulu!" Suara Kael terdengar tegas, meskipun di dalam dirinya, ia tahu bahwa melawan pasukan cahaya itu seperti mencoba menghentikan badai dengan tangan kosong.
Pemimpin pasukan cahaya menatap Kael, matanya berkilau dengan ejekan. "Kalian manusia kecil ini," katanya, penuh cemoohan. "Tidak tahu apa-apa tentang kekuatan sejati. Dewa Naga akan menghapus kalian semua, seperti yang selalu dilakukan oleh kekacauan."
Lyria maju selangkah, mengangkat tongkatnya. "Kami tidak akan membiarkanmu menyakiti Aric atau siapa pun lagi. Jika kau ingin perang, kami akan melawan, meski itu berarti mempertaruhkan nyawa kami." Keteguhan hatinya terasa hingga ke dalam tulang, meskipun ia tahu mereka mungkin tidak akan selamat.
Aric memandang kedua sahabatnya, perasaan bersalah melanda dirinya. Mereka seharusnya tidak perlu menghadapi ini; semua ini adalah warisannya, beban dari masa lalu yang gelap. "Kael, Lyria," katanya lirih, "Ini bukan pertempuran kalian. Aku tidak ingin kalian terluka... semua ini salahku."
Lyria menoleh, matanya penuh dengan ketegasan. "Kita adalah sahabat, Aric. Kita tidak akan meninggalkanmu, apa pun yang terjadi." Kael mengangguk, setuju tanpa ragu. "Bersama-sama, kita lebih kuat," tambahnya, meskipun tubuhnya gemetar.
Sebelum Aric bisa berkata lebih banyak, gemuruh di tanah semakin keras, dan pasukan cahaya mulai bergerak maju, menyerang dengan kecepatan mengerikan. Mereka adalah pejuang yang terlatih, penuh dengan kekuatan ilahi. Aric tahu mereka tidak akan bertahan lama melawan kekuatan semacam itu, tetapi sesuatu di dalam dirinya bangkit.
"Mereka ingin aku berubah," pikir Aric, merasakan api biru yang membakar di dalam dirinya. "Mereka ingin aku menjadi monster... tapi aku bisa memilih." Kekuatan yang mengalir di dalam tubuhnya bertransformasi, bukan menjadi kehancuran, tetapi menjadi perlindungan.
"Tidak!" teriak Aric, dan api biru di sekelilingnya membentuk perisai besar yang melindungi dia dan kedua sahabatnya. Para prajurit cahaya menyerang, tetapi serangan mereka memantul dari energi naga yang kini digunakan untuk melindungi, bukan menghancurkan.
Pemimpin pasukan itu menyipitkan matanya, tampak terkejut. "Kau melawan sifat aslimu? Lucu. Tapi itu tidak akan bertahan lama." la mengangkat tangannya, dan tombak cahaya muncul di genggamannya. Dengan satu gerakan cepat, ia melempar tombak itu ke arah Aric, bertekad untuk menghancurkan perisai.
Lyria mengangkat tongkatnya, memanggil mantra perlindungan untuk memperkuat perisai Aric. Kael mengayunkan pedangnya, mencoba menangkis serangan prajurit yang mendekat. "Kita tidak bisa bertahan seperti ini selamanya!" teriak Kael, wajahnya penuh ketegangan.
Aric tahu mereka berada di ambang kekalahan. Tapi saat itu, suara lembut dan tenang bergema di dalam dirinya. "Aric," suara itu terdengar seperti bisikan angin, "Kekuatanmu bukan hanya kehancuran. Kau adalah warisan dari kedamaian dan perlindungan juga.
Gunakan itu."
Dengan napas yang terengah-engah, Aric fokus, mengubah energi naga di dalam dirinya. Api biru berubah menjadi cahaya lembut, menyelimuti dirinya dan kedua sahabatnya. Perisai yang tadinya rapuh menjadi kokoh, seolah terbuat dari bintang yang tak tergoyahkan.
Pemimpin pasukan cahaya tampak marah. "Tidak mungkin! Dewa Naga seharusnya tidak bisa menggunakan kekuatan seperti itu!" la menyerang sekali lagi, tetapi kali ini serangannya tidak menembus cahaya yang Aric ciptakan.
Aric menatap pria berarmor emas itu, napasnya stabil. "Aku bukan hanya Dewa Kehancuran," katanya, suara gemanya terdengar di seluruh medan perang. "Aku adalah Aric. Aku adalah teman, pelindung, dan aku tidak akan membiarkanmu melukai siapa pun lagi."
Pertempuran berhenti sejenak, semua mata tertuju pada Aric. Bahkan naga hitam yang sebelumnya mendukung kehancurannya kini memperhatikan dengan rasa ingin tahu. Keputusan Aric mengubah jalannya pertempuran, dan mungkin, nasib dari warisan kelamnya.