"Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota" peribahasa ini tidak tepat bagi seorang Arini, karena baginya yang benar adalah "kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu mertua" kalimat inilah yang cocok untuk menggambarkan kehidupan rumah tangga Arini, yang harus hancur akibat keegoisan mertuanya.
Tidak semua mertua itu jahat, hanya saja mungkin Arini kurang beruntung, karena mendapatkan mertua yang kurang baik.
*Note: Cerita ini tidak bermaksud menyudutkan atau menjelekan siapapun. Tidak semua ibu mertua itu jahat, dan tidak semua menantu itu baik. Harap bijak menanggapi ataupun mengomentari cerita ini ya guys☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom's chaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH TIGA
Alfian kembali menemui Arini untuk meminta mengurungkan keinginannnya untuk bercerai. Tapi Arini tidak mau. Sekuat apapun Alfian membujuknya, Arini tetap pada pendiriannya.
"Baiklah Arini. Jika kamu ingin bercerai, aku akan segera menceraikan mu. Tapi ingatlah satu hal, setelah perceraian ini, aku tidak akan pernah lagi menafkahi kamu dan Razka." Ancam Alfian.
"Aku nggak peduli." Jawab Arini cepat. "Kamu urus saja secepatnya perceraian kita. Kamu memang tidak perlu lagi menafkahi ku jika kita bercerai, tapi kamu masih berkewajiban menafkahi Razka. Tapi kalau kamu tidak mau menafkahinya, terserah, aku nggak peduli. Itu urusan kamu." Balas Arini.
Alfian beranjak berniat meninggalkan rumah Arini, dan saat ini dia sudah berada di ambang pintu. Dia memutarkan badan, sambil berkata" Jangan sampai kamu menyesal karena perceraian ini Arini." Kata Alfian.
"Sudah aku katakan aku tidak akan pernah menyesal. Yang aku sesalkan hanyalah rasa cintaku padamu, yang membuat aku menjadi wanita bodoh. Aku menyesal mencintai laki-laki seperti kamu mas Alfian." Balas Arini sambil menatap tajam dan penuh benci.
Alfian tercekat. Dia menatap mata dan wajah Arini yang merah padam, penuh emosi, marah dan benci. Alfian bisa melihatnya, tidak ada lagi cinta di wajah polos Arini yang kini terlihat lebih tirus, tapi entah kenapa saat itu dia terlihat cantik di mata Alfian. Berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya.
"Berdoalah semoga suatu hari kamu tidak menyesal, mas Alfian." Ucap Arini membuat Alfian yang baru saja melangkah, kembali menghentikan langkahnya.
"Apa maksud kamu?." Tanya Alfian
"Baik buruknya perbuatan seseorang, akan kembali pada yang melakukannya. Ingat itu." Jawab Arini.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
*Tiga bulan Kemudian*
Arini dan Alfian akhirnya resmi bercerai. Walau merasakan sakit yang amat dalam, tapi Arini tidak menyesal dengan perceraiannya. Dia tidak ingin menangis, karena rasanya air matanya sudah kering, karena terlalu sering menangis.
Rasa sakit karena perceraian jauh lebih baik, daripada ia harus menanggung rasa sakit setiap hari saat dia menjadi istri Alfian.
"Aku seneng banget deh sayang. Akhirnya kamu resmi bercerai dengan perempuan itu. Sekarang kamu hanya milikku seutuhnya." Ucap Sandra seraya memeluk Alfian.
Tentu saja dia sangat senang, karena itu yang dia inginkan selama ini. Sandra merasa bangga karena dirinya berhasil merebut Alfian dari Arini.
Kamu atau wanita mana pun tidak akan pernah menang bersaing denganku. Apalagi hanya perempuan kampung seperti kamu Arini. Lihat saja, dalam sekejap aku bisa merebut Alfian dari sisi kamu. Gumam Sandra dalam hati.
Kerabat Alfian sangat menyayangkan perceraiannya dengan Arini. Mereka merasa sangat iba dan tak menyangka Alfian bisa setega itu. Dan yang membuat mereka tak habis pikir adalah sikap bu Ratih yang selalu menjelek-jelekan Arini, padahal mereka tahu Arini adalah menantu yang baik, dan dia sudah rela berkorban untuk kebebasan pak Hardiman.
"Bukan Alfian yang tega, tapi dia sendiri yang meminta cerai." Kata bu Ratih, saat bi Maryam menyinggung masalah Arini.
"Ya pasti lah dia minta cerai, kalau sikap suami dan ibu mertuanya sudah keterlaluan. Lagi pula, wanita mana sih yang bakal kuat dimadu?. Wajar kalau Arini minta cerai." Balas bi Maryam.
"Siapa yang keterlaluan?." Sergah bu Ratih.
Bi Maryam tidak menjawab, dan memilih pergi.
...
Setelah bercerai, Arini jarang sekali keluar rumah. Dia merasa malu bertemu dengan orang-orang disekitarnya, karena statusnya sekarang. Dan jujur saja yang membuatnya malu adalah karena semua orang tahu tentang nasib pernikahannya yang berakhir karena orang ketiga.
Seharusnya Arini tidak perlu merasa malu, tapi dia sudah terlanjur kehilangan kepercayaan diri dan rasa percaya pada orang lain. Dia seolah menutup diri dari siapapun, kecuali ibunya. Arini benar-benar jarang keluar rumah. Dia keluar hanya saat menjemur pakaian, selebihnya dia tidak pernah keluar rumah. Ke warung pun dia sangat jarang melakukannya.
Arini tidak pernah berbaur dengan warga lainnya, jika ada acara apapun di kampung itu. Menurut Arini, orang-orang diluar sana pasti selalu membicarakannya, dan merendahkannya sama seperti bu Ratih, jadi dia tidak mau bertemu dengan siapapun.
Bahkan Arini tidak pernah mengijinkan Razka keluar atau bermain dengan siapapun, kecuali dengan bu Dasima. Arini melakukan itu untuk melindungi anaknya. Dia tak ingin Razka jadi bahan olokan teman-temannya. Itulah yang Arini pikirkan.
Ya, memang benar di awal-awal banyak warga yang membicarakan Arini dan Alfian. Tapi mereka bukan menjelek-jelekkan Arini justru sebaliknya mereka merasa kasihan padanya Tidak sedikit yang mengutuk kelakuan Alfian dan bu Ratih yang sudah tega pada Arini.
"Kasihan Arini ya. Tapi kalau aku jadi dia, udah dari dulu aku minta cerai ."
"Iya bener. Aku denger, dari dulu kan mertuanya itu sering banget bikin Arini sakit hati, tapi kok dia kuat ya."
"Kalau kuat, dia nggak mungkin minta cerai kan."
"Apa jangan-jangan ibu mertuanya ya, yang membuat mereka bercerai?. Bisa saja kan dia yang meminta Alfian menceraikan Arini, karena sekarang dia punya menantu kaya."
"Mungkin saja begitu."
Itulah sebagian suara bisik-bisik tetangga yang membicarakan Arini.
...----------------...
.
.
.
Bersambung 🌿
follow me ya thx all