Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Jejak Penjelajah
Satrio terbangun dengan perlahan, membuka matanya yang sedikit berat. Di luar tenda, suasana pagi hutan terasa begitu menenangkan. Embusan angin dingin menerobos sela-sela tenda, memberikan kesegaran yang khas dari alam liar. Udara pagi di hutan terasa begitu sejuk, seolah membalut seluruh tubuhnya dengan ketenangan. Aroma tanah basah dan dedaunan yang lembap menyatu di udara, mengingatkannya pada petualangan yang baru dimulai.
Sambil duduk dan meregangkan otot-ototnya yang kaku, Satrio mendengar suara burung-burung yang mulai bersahutan di kejauhan. Suara gemericik air dari sungai kecil yang entah dari mana asalnya, menambah suasana damai pagi itu. Ia menarik napas dalam-dalam, meresapi udara segar yang masuk ke paru-parunya.
Setelah beberapa saat menikmati ketenangan itu, Satrio bangkit dan membuka tenda. Pemandangan hutan hijau yang mempesona terbentang di hadapannya. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, memberikan nuansa mistis yang membuat Satrio merasa semakin terhubung dengan alam di sekitarnya. Pagi ini, ia tahu bahwa perjalanan dan pencariannya di Gunung Niuts baru saja dimulai.
Merasa udara pagi yang semakin menusuk, Satrio merapatkan jaket tebalnya, menarik resleting hingga ke leher, mencoba menahan dingin yang merayap ke tubuhnya. Kakinya perlahan melangkah keluar dari tenda, dan begitu ia berdiri, pemandangan hutan yang rimbun langsung menyambutnya. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling, dengan dedaunan yang masih basah oleh embun malam.
Satrio berhenti sejenak, memandangi alam di sekitarnya. Udara pagi terasa begitu segar, dan setiap kali ia menarik napas, ia merasakan embusan dingin yang membawa aroma pepohonan dan tanah basah. Burung-burung yang mulai berkicau di kejauhan memberikan harmoni alami yang menyatu dengan suara aliran sungai kecil tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan langkah tenang, ia berjalan mendekati pinggir tebing kecil di dekat tendanya. Dari sana, ia bisa melihat hamparan hutan yang terbentang luas di bawahnya. Sinar matahari yang baru saja terbit mencoba menembus kabut, memberikan kilauan keemasan pada dedaunan. Satrio merasa terpesona, sekaligus penuh rasa hormat pada alam yang begitu agung.
"Ini akan jadi perjalanan yang panjang," gumamnya pelan, sambil memandangi cakrawala yang diselimuti hijau rimbun. Hatinya dipenuhi tekad dan rasa penasaran yang kian menguat.
Satrio terhentak dari lamunannya, teringat akan janji yang pernah ia ucapkan pada timnya. Ia berjanji untuk selalu memberi laporan perkembangan setiap kali ada kesempatan. Secepatnya, ia kembali ke dalam tenda, merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan ponsel. Dengan sedikit cemas, ia menyalakannya—namun yang muncul hanyalah ikon sinyal yang terus mencari tanpa hasil.
"Ayolah!" gumam Satrio, wajahnya tampak kesal. Ia tahu, berada di pedalaman seperti ini tentu tidak mudah mendapatkan sinyal, namun ia tidak menyangka akan sesulit ini.
Tidak ingin menyerah begitu saja, Satrio segera keluar lagi, berjalan berkeliling di sekitar tendanya. Setiap beberapa langkah, ia mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, berharap bar sinyal akan muncul. Setelah berputar beberapa kali, akhirnya ia menemukan satu titik yang cukup tinggi, di mana sinyal muncul meski hanya satu bar.
"Akhirnya!" ujarnya dengan napas lega.
Satrio segera memanggil Gilang, berharap panggilannya tersambung sebelum sinyal kembali hilang. Setelah beberapa detik menunggu, suara Gilang terdengar di ujung sana.
"Tri, kamu sekarang di mana?" suara Gilang terdengar jelas, sedikit terkejut.
Satrio tersenyum tipis. "Aku udah mulai mendaki. Udah buka tenda semalam, sekarang lagi siap-siap buat lanjutin perjalanan."
Gilang tertawa kecil. "Gila, kamu bener .... an ..nai."
Satrio mengecek layar ponselnya dengan kesal, ia melihat jika jaringannya kembali terganggu. "Aduh! Ayolah! Ini belum terlalu jauh ke dalam hutan!" Satro mengacungkan tinggi-tinggi ponselnya.
Satrio menghela napas panjang, merasa frustrasi saat panggilannya dengan Gilang terus-menerus terputus-putus. Kata-kata Gilang yang sempat terdengar jelas lalu terpotong oleh gangguan sinyal, membuat percakapan menjadi kacau.
Tak lama setelah panggilan terputus sepenuhnya, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Ia membuka pesan dari Gilang, membaca dengan cermat.
**"Tri, cek ranselmu. Di kotak Bayu aku udah nitipin ponsel satelit di sana. Kamu bakal butuh itu kalau sinyalnya nggak stabil."**
Satrio mengernyit, tidak menduga jika akan ada ponsel di kota P3K yang diberikan Bayu padanya. Dengan cepat, Satrio membuka kotak itu, dan benar saja di dalamnya terdapat kota putih yang masih tersegel. Ia menemukan ponsel satelit X6 yang disebut Gilang. Seketika rasa lega menjalar dalam dirinya.
"Oh! Ini-kah yang dia maksud alat canggih waktu itu," ujar Satrio sambil mengutak-atik ponsel satelit itu, mencoba memahami cara kerjanya.
Setelah menyalakannya, Satrio melihat bar sinyal penuh di layar. Sekarang ia bisa merasa sedikit lebih tenang, lalu mencoba menghubungi Gilang kembali, kali ini terdengar sangat jelas.
"Gi, makasih banget! Sempet panik juga waktu baru sadar kalau di hutan akan susah sinyal. Pokoknya ini benar-benar luar biasa," ujar Satrio dengan nada penuh syukur.
Gilang terkekeh pelan. "Nggak masalah, Tri. Aku juga baru sadar waktu kamu mintan aku bersiaga. Aku pikir-pikir lagi, kalau Satrio masuk hutan apa iya akan ada sinyal? Dari situ, lah aku mengajukan ke lembaga, dan syukurnya mereka mau kasih."
Satrio mengangguk, meski Gilang tidak bisa melihatnya. "Lebih syukur lagi, aku punya tim yang benar-benar solid dan pengertian."
"Ah! Sudahlah! Oya, Tri. Tapi lo harus tahu," Gilang menjawab dengan nada serius, "Aku cuma di kasih satu unit aja. Makanya, aku sengaja sembunyiin dari Rio. Kalau Rio tahu, bisa ribet deh, pasti dia minta pakai juga. Jadi ini antara kita aja, ya!"
Satrio tertawa, membayangkan Rio yang biasanya sangat detail soal perlengkapan. "Pasti Rio bakal ngomel kalau tahu soal ini. Tapi tenang aja, ini rahasia kita."
Gilang ikut tertawa, "Nah, jaga baik-baik tuh ponsel. Jangan sampai hilang. Paling nggak, kamu jadi bisa tetap mengirim data laporan sama kita di sini."
Satrio tersenyum tipis. "Siap, Gi," Satrio menghela nafas dalam-dalam, "Buat saat ini belum ada temuan, tapi aku yakin ngga lama lagi akan ada sesuatu yang bisa aku temukan di sini."
"Oke, Tri. Stay safe di sana, ya. Jangan ragu buat kontak kita kapan aja," balas Gilang dengan nada tulus sebelum mereka mengakhiri percakapan.
Satrio menatap ponsel satelitnya sebentar, lalu memasukkannya ke saku jaket dengan perasaan lebih tenang. Meskipun ia sendirian di tengah hutan, rasanya timnya tetap ada di sampingnya.
Disela suasana senang atas pemberian Gilang padanya, indra pendengaran Satrio menangkap suara gemericik air sungai. Suara itu terdengar samar dari kejauhan, menyatu dengan keheningan hutan pagi yang sejuk. Rasanya segar membayangkan air dingin membasahi wajahnya setelah tidur semalaman di dalam tenda.
"Sungai? Sepertinya tidak terlalu jauh," gumamnya, setelah memasang pisau pada pinggangnya.
Satrio berdiri sejenak di depan tendanya, mengamati arah suara gemericik air yang menggema samar di antara pepohonan. Sungai itu sepertinya tak jauh, hanya tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan dan semak-semak hutan Gunung Niuts. Ia meraih botol air yang kosong dari ranselnya dan menyelipkannya di sabuknya. Langkahnya perlahan tapi mantap, menyusuri tanah yang masih basah oleh embun malam.
Setiap langkah menimbulkan suara gemerisik dedaunan kering yang diinjak, dan sesekali kaki Satrio menyentuh akar pohon besar yang menonjol, memaksanya berhati-hati. Cahaya matahari yang menembus kanopi hutan membuat bayangan pepohonan memanjang di tanah, menambah kesan misterius pada pagi yang masih dingin itu. Di sepanjang jalan, suara serangga yang bersembunyi di bawah semak mulai terdengar, seolah mengiringi perjalanannya menuju sumber air.
Setelah berjalan beberapa menit, suara sungai semakin jelas. Satrio berhenti sejenak, memejamkan mata untuk lebih merasakan arah datangnya suara itu. Ia mendengar air mengalir dengan tenang, seakan memanggilnya. "Tidak jauh lagi," gumamnya pelan, melanjutkan langkah dengan keyakinan.
Ia mendorong dahan-dahan kecil yang menghadang jalannya, dan tak lama kemudian, di balik semak-semak yang rapat, terbentanglah sungai kecil yang berkelok. Airnya jernih, memantulkan cahaya matahari pagi, mengalir di antara batu-batu besar yang licin. Satrio berdiri di tepi sungai, mengagumi keindahannya. Suara gemericik air yang semula samar kini memenuhi pendengarannya, membawa ketenangan yang tak bisa dijelaskan.
Ia berjongkok di tepian, merasakan udara dingin yang lembut menyentuh kulitnya. Tanpa ragu, Satrio merendamkan tangannya ke dalam air. Segera, rasa dingin yang menyegarkan menjalari kulitnya, seolah membangunkan seluruh tubuhnya yang masih tersisa lelah dari perjalanan hari sebelumnya. Wajahnya sedikit tersenyum. "Ini sungai yang sempurna," pikirnya, sambil mengambil botol air dari pinggangnya dan mengisinya dengan air jernih yang mengalir.
Ketika air memenuhi botol, pikirannya kembali melayang ke tujuannya. Ada sesuatu di hutan ini yang harus ia temukan. Sesuatu yang bisa membawanya pada sebuah jawaban teka-teki hilangnya sang Ayah.
Satrio menatap aliran air yang mengalir tenang, tapi dalam dirinya, kegelisahan mulai tumbuh kembali. "Rahasia apa yang kau simpan, Gunung Niuts?" Ia bergumam perlahan, sebelum akhirnya bangkit dan bersiap untuk kembali ke tendanya.
Sebelum berbalik, matanya menangkap sesuatu yang aneh pada bebatuan yang tersebar hampir diseluruh badan sungai.
Sebuah batu besar dengan bentuk tak biasa—pipih di salah satu bagiannya—menonjol dari sungai, dikelilingi oleh batu-batu lainnya yang lebih kecil.
Satrio yakin jika ada sesuatu yang ganjil tentang batu itu. "Kenapa bentuknya seperti itu?" pikir Satrio, rasa penasaran mulai tumbuh. Ia tak bisa mengabaikan dorongan untuk mendekatinya. Suara gemericik air dan nyanyian burung yang tenang di latar belakang hampir seolah mendorongnya untuk melangkah lebih jauh.
Dengan hati-hati, Satrio mulai melompat dari satu batu ke batu lain. Beberapa batu licin, memaksanya bergerak pelan untuk menjaga keseimbangan. Kakinya menyentuh permukaan yang basah dan dingin, sesekali membuatnya tergelincir sedikit, tapi insting petualangannya menuntunnya terus maju. Sungai kecil itu tak begitu dalam, namun alirannya cukup kuat untuk membuatnya tetap waspada.
Akhirnya, setelah beberapa lompatan hati-hati, Satrio sampai di dekat batu besar itu. Matanya menyipit, memperhatikan lebih seksama. Benar saja, ada sesuatu yang tak biasa di sana. Salah satu sisi batu itu terlihat pipih, bukan karena pengaruh alam, tetapi seperti hasil buatan tangan manusia—atau sesuatu yang lebih misterius.
Dia berjongkok, menyentuh permukaan pipih itu. Jari-jarinya dengan lembut menyapu ukiran yang tertoreh di sana. Teks kuno. Pola-pola yang hampir menyerupai tulisan yang pernah dilihatnya dalam buku-buku penelitian ayahnya. "Ini bukan batu biasa," gumamnya dengan napas tertahan, sementara pikirannya langsung membayangkan berbagai teori.
Ukiran itu terlihat tua, terkikis waktu dan air yang mengalir terus-menerus di sekitarnya, namun masih cukup jelas untuk dikenali sebagai simbol kuno. Satrio merasa jantungnya berdebar cepat. Ia tak bisa memastikan artinya, tapi yang jelas, batu ini merupakan peninggalan kuno—bukti kuat jika parnah ada sebuah peradaban di tempat ini.
Pandangan Satrio teralihkan sejenak ketika ia melihat sesuatu di samping batu itu—sebuah batu lainnya, lebih kecil namun memiliki keanehan tersendiri. Di permukaannya yang datar, terlihat jejak kaki manusia. Namun jejak ini bukanlah jejak biasa. Ukurannya terlalu besar, jauh lebih besar dari kaki manusia normal. Ukuran tapaknya membuat bulu kuduk Satrio meremang.
Satrio berdiri perlahan, pandangannya bergantian antara jejak kaki dan ukiran di batu besar. Hawa dingin yang tadi terasa segar kini berubah menegangkan. Ada sesuatu di hutan ini, sesuatu yang sudah lama terlupakan atau sengaja disembunyikan. Ia mundur selangkah, perasaan di dalam dirinya campur aduk antara penasaran dan waspada.
"Siapa—atau apa—yang meninggalkan jejak ini?" bisiknya pada dirinya sendiri. Matahari yang mulai meninggi tak mampu sepenuhnya mengusir perasaan mencekam yang merambat di punggungnya.
Satrio berdiri tegak, menatap batu-batu itu dengan sorot mata yang lebih yakin. Ukiran di batu besar, bentuk yang tak wajar, dan jejak kaki raksasa di batu lainnya—semua ini bukan sekadar anomali alam. Semakin lama ia mengamati, semakin kuat keyakinannya bahwa tempat ini pernah menjadi bagian dari peradaban kuno yang terlupakan. Seperti potongan teka-teki yang mulai menyatu, bukti-bukti ini mengarah pada sesuatu yang lebih besar.
“Ada sesuatu yang terkubur di sini,” pikirnya. Rasanya aneh, tapi juga menggetarkan. Hingga ia teringat perkataan sang Ayah. Jika sebuah suku dari beradaban kuno, pasti akan meninggalkan jejak, menanti untuk diungkap.
Sebelum kembali, Satrio merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel. "Meraka harus membantuku, menjawab ini semua."
kemudian Ia mengambil gambar dari berbagai sudut—ukiran teks kuno, batu dengan jejak kaki besar, bahkan aliran sungai di sekitarnya—berharap setiap detail tertangkap dengan jelas. Gambarnya akan ia tunjukkan kepada Gilang dan tim lainnya nanti. Ini bisa jadi kunci untuk memecahkan misteri yang mereka cari.
Selesai memotret, Satrio menyimpan ponselnya kembali, lalu menghela napas panjang. Hutan ini telah menunjukkan sebagian dari rahasianya, tapi ia tahu masih banyak yang belum terungkap. Dengan langkah hati-hati, ia mulai bergerak kembali ke arah tendanya, bayangan batu-batu misterius itu masih terekam jelas dalam ingatannya, membawa rasa penasaran yang semakin memuncak.
lanjut nanti yah