NovelToon NovelToon
Pangeran Tampan Itu Dari Dunia Lain

Pangeran Tampan Itu Dari Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Beda Dunia / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:840
Nilai: 5
Nama Author: Worldnamic

Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24: Jalan yang Tak Terlihat

Pagi itu, udara dingin menyelimuti perkemahan kecil mereka. Sinar matahari yang mulai mengintip dari balik pepohonan memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mencairkan ketegangan yang masih tersisa dari malam sebelumnya.

Ayla bangun lebih awal dari yang lain. Dia duduk di atas batu besar dekat sungai, membiarkan kakinya menyentuh air dingin yang mengalir perlahan. Pikirannya melayang-layang, memikirkan perjalanannya sejauh ini—bagaimana ia terjebak dalam konflik antara dua dunia, dan bagaimana dua orang yang paling ia percaya kini terperangkap dalam perasaan yang rumit.

“Ayla.”

Suara Kael membuatnya menoleh. Ia berdiri di dekatnya, dengan mata yang terlihat lelah tetapi tetap penuh perhatian. “Kau tidak apa-apa?”

Ayla mengangguk kecil. “Aku hanya... memikirkan banyak hal.”

Kael mendekat dan duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam, mendengarkan gemericik air sungai.

“Kau tahu,” kata Kael akhirnya, suaranya lembut, “aku minta maaf jika aku membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin melindungimu.”

Ayla menoleh, menatap mata Kael yang jernih. “Aku tahu, Kael. Tapi aku butuh lebih dari itu. Aku butuh kepercayaan. Aku butuh kalian percaya bahwa aku bisa menghadapi semua ini.”

Kael mengangguk pelan, seolah memahami apa yang Ayla katakan. Tetapi sebelum ia bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari arah perkemahan.

“Ayla,” suara Arlen terdengar, tegas namun tidak kasar. “Kita harus bergerak sekarang. Aku melihat jejak-jejak yang mencurigakan tidak jauh dari sini.”

Kael berdiri, menatap Arlen dengan sorot mata waspada. “Apa kau yakin itu bukan binatang?”

Arlen menggeleng. “Terlalu teratur. Sepertinya Noir mengirimkan pengintai untuk menemukan kita.”

Ketegangan yang baru saja mereda kini kembali terasa. Ayla segera beranjak, merapikan barang-barangnya dengan cepat. Dalam beberapa menit, mereka sudah meninggalkan perkemahan, melanjutkan perjalanan ke arah utara, di mana mereka berharap dapat menemukan tempat yang aman.

Namun, perjalanan mereka tidak berjalan mulus.

Saat matahari mencapai puncaknya, mereka tiba di sebuah lembah yang dikelilingi oleh tebing-tebing curam. Di tengah lembah, terlihat reruntuhan bangunan tua yang ditumbuhi lumut dan tanaman merambat.

“Kita bisa berlindung di sana untuk sementara,” ujar Arlen, menunjuk ke arah reruntuhan.

Kael terlihat ragu. “Tempat itu terlalu terbuka. Jika Noir mengejar kita, kita akan terjebak.”

“Apa pilihan lain yang kita punya?” balas Arlen. “Kita tidak bisa terus berjalan tanpa istirahat.”

Akhirnya, mereka sepakat untuk memeriksa reruntuhan tersebut. Namun, saat mereka mendekati bangunan itu, Ayla merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitarnya terasa berat, dan bulu kuduknya berdiri.

“Tempat ini...” gumam Ayla, “terasa tidak benar.”

Kael menoleh dengan alis terangkat. “Apa maksudmu?”

“Saya tidak tahu,” jawab Ayla, suaranya bergetar. “Hanya saja, aku merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi kita.”

Arlen meraih pedangnya, matanya menyapu area sekitar dengan waspada. “Kita harus berhati-hati.”

Mereka melangkah masuk ke dalam reruntuhan dengan hati-hati, dan segera saja, mereka menyadari bahwa tempat itu bukan sekadar bangunan tua. Di dalamnya, terdapat simbol-simbol kuno yang terukir di dinding—simbol yang sepertinya berasal dari dunia lain.

“Apa ini?” tanya Kael, matanya memperhatikan sebuah ukiran besar di tengah ruangan.

Ayla mendekat, jarinya menyentuh simbol tersebut. Saat itu juga, sebuah kilatan cahaya muncul, membuat mereka bertiga mundur dengan terkejut.

“Jangan sentuh apa pun!” seru Arlen, menarik Ayla menjauh.

Namun, kilatan cahaya itu segera berubah menjadi bayangan besar yang membentuk sosok humanoid. Sosok itu memiliki mata merah menyala dan suara yang dalam serta menggema.

“Siapa yang berani memasuki wilayah ini?”

Kael dan Arlen segera mengangkat senjata mereka, bersiap untuk bertarung. Tetapi Ayla, meskipun ketakutan, melangkah maju.

“Kami hanya mencari perlindungan,” katanya dengan suara yang sedikit gemetar. “Kami tidak berniat mengganggu.”

Sosok itu tertawa pelan, suaranya seperti gemuruh guntur. “Perlindungan? Tidak ada perlindungan di sini, kecuali jika kalian bisa membuktikan diri.”

Sebelum mereka bisa bertanya apa maksudnya, lantai di bawah kaki mereka tiba-tiba retak, dan mereka jatuh ke dalam sebuah ruangan gelap yang lebih besar. Di sana, mereka disambut oleh puluhan bayangan kecil yang bergerak cepat, mengelilingi mereka dengan suara mendesis.

“Apa ini?” tanya Kael, mengayunkan pedangnya untuk menjauhkan bayangan-bayangan itu.

“Ujian,” jawab suara besar tadi, bergema di seluruh ruangan. “Hanya mereka yang layak yang bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.”

Ayla menatap Kael dan Arlen dengan wajah penuh ketegangan. Ia tahu, ini bukan hanya ujian kekuatan, tetapi juga ujian kepercayaan dan kerja sama di antara mereka.

Malam sebelumnya, ia merasa seperti terjebak di antara dua hati yang saling bersaing. Tetapi kini, ia menyadari bahwa untuk bisa keluar dari tempat ini, mereka harus bekerja sama—bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai sekutu yang benar-benar saling percaya.

Dan itulah yang membuat Ayla berkata, dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan, “Kita akan keluar dari sini bersama-sama.”

Kael dan Arlen saling pandang sejenak, kemudian mengangguk. Dalam hati mereka, mereka tahu bahwa meskipun ada banyak perbedaan di antara mereka, tujuan mereka tetap sama: melindungi Ayla.

Di ruangan gelap itu, di bawah ancaman bayangan-bayangan yang terus mendekat, mereka mulai bertarung. Tetapi lebih dari itu, mereka mulai belajar untuk mengandalkan satu sama lain.

Perjalanan mereka mungkin belum selesai, tetapi malam itu, untuk pertama kalinya, mereka benar-benar bertindak sebagai satu tim.

Bayangan-bayangan itu bergerak cepat, seperti kabut hitam yang hidup. Mereka melingkari Ayla, Kael, dan Arlen, memanfaatkan kegelapan untuk menyerang dari berbagai sudut.

Kael mengayunkan pedangnya dengan terampil, memotong bayangan-bayangan yang mencoba mendekatinya. Namun, pedangnya terasa aneh—seolah tidak mengenai sesuatu yang solid. “Mereka tidak nyata!” serunya. “Ini seperti melawan asap!”

Arlen, yang biasanya tenang, mulai menunjukkan kekesalan. Ia mencoba berbagai serangan dengan pedang dan sihir kecil yang ia kuasai, tetapi bayangan-bayangan itu selalu kembali menyatu.

“Kael benar,” ujar Arlen, mundur ke posisi Ayla. “Ini bukan pertempuran fisik. Mereka menguji sesuatu yang lain.”

Ayla mendengarkan dengan saksama sambil mencoba tetap fokus. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu—sebuah bisikan halus yang seolah berasal dari dalam pikirannya sendiri.

“Apa yang kau takutkan, Ayla?”

Ia tersentak. Bisikan itu begitu nyata, begitu personal. Di sekitarnya, bayangan-bayangan tampak melambat, tetapi justru semakin mendekat.

“Ayla!” panggil Kael, menangkis serangan bayangan yang hampir menyentuhnya.

Ayla memejamkan mata, mencoba melawan bisikan itu. Namun, suara itu terus berlanjut.

“Kau tidak cukup kuat. Kau hanyalah beban. Tanpa mereka, kau tidak akan bertahan.”

“Ayla!” Kali ini suara Arlen. Ia menarik Ayla dari serangan yang hampir mengenainya. “Apa yang kau lakukan? Jangan melamun!”

Ayla membuka matanya, menatap mereka berdua dengan napas terengah. “Bayangan ini... mereka bukan hanya menyerang tubuh kita. Mereka menyerang pikiran kita.”

Kael menatap Ayla, lalu Arlen, dengan raut serius. “Kalau begitu, kita harus fokus. Jangan biarkan mereka menguasai pikiran kita.”

Namun, sebelum mereka sempat menyusun strategi, bayangan-bayangan itu tiba-tiba berubah. Mereka tidak lagi berbentuk kabut hitam, melainkan mengambil wujud yang lebih nyata—wujud orang-orang yang mereka kenal.

Di depan Kael, muncul sosok seorang pria berambut panjang dengan jubah biru tua. Matanya dingin, memandang Kael dengan sorot yang tajam.

“Kael,” katanya, suaranya berat, “kau pengecut. Kau melarikan diri dari tanggung jawabmu, meninggalkan takhta demi sesuatu yang tidak pasti.”

Kael membeku. “Itu... bukan kau...” gumamnya, tetapi tangan yang memegang pedang bergetar.

Di depan Arlen, muncul sosok wanita dengan mata perak yang mirip dengannya. Wanita itu memandangnya dengan penuh penghinaan.

“Arlen,” katanya sinis, “kau tidak pernah cukup baik. Kau mengira bisa menyaingi Kael? Kau bahkan tidak bisa melindungi keluargamu.”

Arlen menggertakkan giginya, tetapi kata-kata itu jelas memengaruhinya.

Di depan Ayla, muncul sosok dirinya sendiri, tetapi dengan wajah yang penuh kesedihan. Sosok itu menatap Ayla dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kau tidak akan pernah memilih, Ayla,” katanya, suaranya bergetar. “Karena kau tahu, pada akhirnya, pilihanmu akan menghancurkan salah satu dari mereka.”

Ayla merasakan dadanya sesak. Ia menatap sosok itu, ingin menyangkalnya, tetapi kata-kata itu terlalu menusuk.

Bayangan-bayangan itu tahu kelemahan mereka.

Namun, di tengah kekacauan itu, Ayla mengingat sesuatu. Ia teringat kata-kata Kael dan Arlen sebelumnya—bagaimana mereka ingin melindunginya, bagaimana mereka percaya pada kekuatannya.

“Aku tidak akan membiarkan kalian menghancurkan kami,” katanya dengan suara yang mulai mantap.

Ia menatap Kael dan Arlen, yang masih terpaku oleh bayangan masing-masing. “Kael! Arlen! Jangan dengarkan mereka! Ini hanya ilusi! Mereka tidak nyata!”

Kael mengalihkan pandangannya dari bayangan pria berambut panjang itu, melihat Ayla yang berdiri teguh. Perlahan, getaran di tangannya mereda. Ia menggenggam pedangnya lebih erat, mengangkatnya tinggi, dan menyerang bayangan di depannya.

“Aku tidak melarikan diri!” teriaknya, dan dengan satu tebasan, bayangan itu lenyap.

Di sisi lain, Arlen memejamkan matanya, menarik napas dalam. “Aku tidak perlu membuktikan apa pun pada kalian,” gumamnya, sebelum melangkah maju dan menembus bayangan wanita bermata perak itu, yang langsung menghilang menjadi debu.

Ketika keduanya berhasil mengatasi ilusi mereka, mereka mendekati Ayla. Bayangan di depannya, yang masih menyerupai dirinya sendiri, tersenyum tipis.

“Dan kau, Ayla? Apa kau bisa memilih?”

Ayla menatap sosok itu, matanya kini penuh keyakinan. “Aku mungkin belum tahu apa yang akan kupilih. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan membiarkan keraguan menghentikanku.”

Dengan kata-kata itu, sosok itu memudar, menghilang seperti kabut yang tertiup angin.

Ruangan itu mendadak terang. Bayangan-bayangan kecil yang sebelumnya mengelilingi mereka kini lenyap sepenuhnya. Dari kegelapan, muncul sosok humanoid besar yang sebelumnya mereka lihat.

“Kalian telah lulus,” katanya, suaranya terdengar lebih lembut daripada sebelumnya. “Ujian ini bukan tentang kekuatan, tetapi tentang hati kalian.”

Sosok itu mengulurkan tangannya, dan dari telapak tangannya, muncul sebuah bola cahaya kecil. Ia mendekatkan bola cahaya itu kepada Ayla.

“Ini adalah kunci,” katanya. “Kunci untuk melanjutkan perjalanan kalian. Gunakanlah dengan bijak.”

Ayla menerima bola cahaya itu dengan hati-hati. Saat ia menyentuhnya, bola itu menyatu ke dalam tubuhnya, memberikan sensasi hangat yang menyebar ke seluruh tubuhnya.

Kael dan Arlen mendekat, masing-masing memasang ekspresi penuh tanda tanya.

“Apa yang terjadi sekarang?” tanya Kael.

Sosok itu menghilang perlahan, tetapi sebelum benar-benar lenyap, ia berkata, “Jalan kalian masih panjang. Tetapi ingatlah, kunci sejati bukanlah kekuatan, melainkan kebersamaan.”

Ketiganya saling pandang, menyadari bahwa mereka telah melewati sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pertempuran.

Dan untuk pertama kalinya, meskipun hanya sesaat, mereka merasa bahwa mereka bisa menghadapi apa pun—selama mereka bersama.

1
Faaabb
Update dong thor, jangan bikin kita mati gaya.
Worldnamic: di tunggu ya, mikirin idenya lama
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!