Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarapan Pagi
***
Selesai membantu Mbok Ru menyiapkan sarapan, aku kembali ke lantai atas untuk memeriksa apakah Alin sudah bangun tidur atau belum, yang ternyata dia masih terlelap di box bayinya.
Cklek!
Aku kemudian menoleh dan menemukan Mas Yaksa yang baru selesai mandi. Rambutnya basah, wangi aroma sabun seketika langsung memenuhi kamar kami. Aku reflek meneguk salivaku saat menyadari Mas Yaksa hanya mengenakan handuk yang dililit pada pinggangnya yang ramping. Pemandangan yang harusnya sudah menjadi makanan sehari-hari tapi tetap saja membuatku reflek menahan napas saat melihatnya.
Mau bagaimanapun aku tetap perempuan normal.
Mas Yaksa memang tidak memiliki perut kotak-kotak seperti gambaran pria mapan dan tampan yang digambarkan pada novel bacaanku. Nilai plusnya ia tidak memiliki perut buncit.
Beberapa bulan menikah dengannya pun, dia tidak sesering atau serajin itu untuk berolahraga. Selama menikah aku hanya pernah melihatnya berolahraga selama dua atau tiga kali saja, hanya saja untuk makan dia lumayan sedikit pemilih. Mungkin ini salah satu usahanya agar tidak memiliki perut buncit di usia yang matang.
"Kerjaan gimana? Kamu senang kembali bekerja?"
Seketika lamunanku buyar. Cepat-cepat aku menguasai diri lalu mengangguk cepat.
"Iya, aku seneng, Mas."
Mas Yaksa ikut mengangguk. "Bagus lah, Mas seneng dengarnya. Kalau ada kendala jangan sungkan bilang."
"Contohnya?"
"Apapun. Kalau ada yang dirasa mengganggu kamu bilang sama Mas, urusan pekerjaan atau di rumah."
Aku tersenyum dan menggeleng. "Enggak ada, Mas." Kemudian aku memilih duduk di tepi ranjang sambil menunggu Alin bangun.
"Kamu bisa pasang dasi nggak?" tanya Mas Yaksa tiba-tiba.
Aku menatapnya tidak paham. "Kalau pertanyaannya bisa atau enggak, maka jawabannya bisa, Mas. Tapi untuk hasil aku jelas nggak bisa bikin dasi yang rapi," ucapku jujur.
"Jadi sebenernya bisa cuma hasilnya nggak rapi?"
Aku mengangguk cepat saat merespon pertanyaan Mas Yaksa. Dia ikut mengangguk paham lalu melepas dasi yang tadinya sudah melingkar pada kerah leher dan tinggal disimpulkan tapi tiba-tiba ia menyerahkannya padaku.
"Coba Mas mau liat," ucapnya membuatku menatapnya ragu-ragu.
"Aku beneran sepayah itu loh, Mas."
"Biar Mas yang menilai, Geya."
Aku masih enggan memasangkan dasi untuknya, selain karena memang kemampuanku dalam memasang dasi payah, aku malas kalau berada di dekatnya. Bukan tanpa alasan, hormon pms-ku benar-benar semenyebalkan itu.
"Nggak papa, nanti kalau separah itu Mas pasang sendiri. Mas pengen tahu kemampuan kamu."
"Memang dulu Mas sering dipasangin dasi Kak Runa?"
"Kok jadi kamu yang mau membandingkan diri kamu sama Aruna?"
Aku berdecak lalu mulai memasangkan dasi pada Mas Yaksa dengan ogah-ogahan. Jelas saja aku ogah-ogahan, orang jaman sekolah saja aku memilih dasi yang siap pakai daripada ribet membuat simpul dasi setiap pagi.
"Sejujurnya enggak, Mas biasa pasang dasi sendiri."
Gerakan tanganku yang kagok menyimpulkan dasi spontan terhenti. Aku mendongak dan menatap Mas Yaksa sebentar, mencoba mencari tahu pria ini sedang bercanda atau tidak. Saat menemukan wajah seriusnya, aku kembali menunduk dan melanjutkan kegiatanku untuk menyimpulkan dasi.
"Kenapa?" tanyaku kemudian.
"Biar deket sama kamu."
"Modus?"
Mas Yaksa langsung tertawa renyah. "Step by step, Geya. Remember?"
Pandangan kami segera bertemu. Suasana mendadak canggung. Aku mulai salah tingkah dan buru-buru menarik simpul dengan asal-asalan.
"Pelan-pelan, Geya!" tegur Mas Yaksa sambil menepuk lenganku pelan, "udah nggak sabar jadi janda atau bagaimana?" sambungnya kemudian.
Aku meringis malu. "Maaf, Mas, nggak sengaja sumpah. Udah selesai, kemampuanku cuma sebatas ini."
"Lumayan," ucap Mas Yaksa sambil memandang hasil karyaku, yang sebenadnya bisa dibilang jauh dari kata lumayan.
"Enggak rapi, Mas, jelek, aku bongkar aja deh terus kamu pasang sendiri."
Aku jadi tidak enak. Saat memperhatikan tampilan Mas Yaksa sekarang, dia tetap terlihat tampan dan menawan memang, tapi dasinya sedikit membuatku tidak nyaman. Image Mas Yaksa bisa buruk di mata bawahannya karena dasinya yang tidak rapi.
"Nggak papa, masih bisa diterima kok yang ini. Tapi besok harus lebih rapi ya," ucapnya sambil memakai jasnya.
Aku mengerutkan dahi bingung. Apa tadi katanya? Kenapa ada besok ?
"Besok?" beoku dengan wajah bingung, "aku hari ini shift malam loh, Mas, itu artinya aku pulang jam tujuh pagi di mana harusnya Mas Yaksa udah siap-siap berangkat ngantor."
"Ya kalau begitu pas bukan shift malam. Mas nggak akan setega itu buat minta kamu pasangin dasi pas pulang shift, kamu tenang saja."
"Tapi, Mas..." Aku tetap ingin memprotes.
Bukan apa-apa, masalahnya kemampuanku memasang dasi tidak begitu bisa diandalkan. Kecuali kalau aku jago memasang dasi tidak masalah, aku akan melakukannya dengan senang hati. Tapi ini?
"Mau lanjut ke step berikutnya."
Keningku semakin mengerut dalam. Kok kalimatnya sedikit ambigu, mau dibawa ke arah mana nih pembicaraan ini?
"Maksudnya?"
"Obrolan pas kita nonton waktu itu."
Itu kapan ya? Aku bahkan sudah lupa kapan itu terjadi... Tunggu dulu, ini maksudnya?
"Mas?"
"Ya."
Aku tidak mengerti yang sedang terjadi. Tapi tatapan mata Mas Yaksa tidak dapat kuartikan, ia berusaha semakin mempersempit jarak di antara kami tapi aku pun tak mau kalah begitu saja. Pelan tapi pasti aku berjalan mundur.
"Kenapa?"
"Mas, kamu udah rapi loh, kalau macem-macem kamu bisa telat ngantornya."
"Nggak masalah, nggak akan ada yang bakalan ngomel atau berani potong gaji, so, transferan kamu masih aman."
Memang benar sih apa yang dikatakan Mas Yaksa, dia kan bos sudah jelas bisa datang sesuka hatinya.
Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tahu-tahu badanku sudah menempel di tembok dan terhimpit badan Mas Yaksa. Sebelah tangannya kini sudah berada di leherku, memberikan usapan pelan yang menghadirkan getaran aneh dalam diriku.
"Rilex saja, Geya!" bisiknya mampu membuat bulu kudukku meremang.
Astaga ya ampun, bukankah ini masih terlalu pagi untuk melakukan hal seintim ini?
Aku yang masih belum mampu berpikir jernih tiba-tiba dikejutkan dengan bibir Mas Yaksa yang kini sudah menempel pada bibirku. Ia tidak langsung melumatnya, seolah sedang memberiku waktu. Merasa tidak mendapatkan penolakan barulah dia bergerak perlahan hingga berubah menjadi lumatan lembut dan tanpa terkesan buru-buru karena nafsu. Secara naluriah aku pun membalas meski sedikit kewalahan. Mau bagaimanapun juga ini adalah pengalaman pertamaku.
Benar, aku memang masih sepolos itu makanya tidak mudah bagiku menyerahkan diri begitu saja.
"Not bad," komentarnya begitu ia melepas ciumannya. Mas Yaksa tersenyum tipis sambil mengusap bibirku dengan ibu jarinya, "terima kasih untuk sarapannya, Geya. Mas suka. Next kita coba yang lebih seru ya," sambungnya sambil mengedip genit.
Sementara aku langsung lemas seketika. Good bye my first kiss!
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺