Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Tidur Ternyaman
Malam ini Rain benar-benar tidur di ruang rawat Ghio. Ia merebahkan dirinya di sofa dengan Ghio yang duduk di sofa di atas kepalanya. Pria itu terlihat memejamkan mata. Ia tidur dengan posisi duduk.
Saat makan malam tadi, Rain sengaja harus bersembunyi dari orang-orang. Mereka bisa saja ketakutan atau langsung pingsan saat melihat sendok dan makanan terbang lalu hilang. Bagaimana pun juga, Rain harus memberi Ghio makan.
Rain menatap ke atas, dimana Ghio sedang memejamkan matanya. Pria itu bisa tidur tenang sekalipun harus duduk.
Rain terus menatap pria itu, hingga pikirannya mulai berkelana. Apa lagi yang harus ia lakukan untuk membantu Ghio? Tidak semudah itu bagi Ghio untuk memasuki tubuhnya. Bahkan tubuhnya seperti menolak jiwa Ghio. Tadi saja, saat Ghio mencoba menyentuh tubuhnya, tangannya seolah terbakar.
Apa yang harus mereka lakukan? Ghio sudah sangat berharap ketika Rain memberikan usul itu. Tapi, ternyata itu sama sekali tidak berhasil. Rain tidak bisa melihat Ghio begini. Bagimana kalau pria itu berpikir untuk meninggalkannya lagi? Seperti awal-awal, Ghio merasa tak pantas karena bukan manusia utuh.
Beradu dengan segala pemikirannya, perlahan mata Rain mulai terpejam. Ia tertidur dan mulai memasuki dunia mimpi.
Beralih dari Rain dan Ghio yang tertidur, seorang pria paru baya nampak mengusap wajahnya yang kusam. Jas-nya tersampir di lengan. Kini tinggal kemeja biru muda yang menutupi tubuhnya dengan lengan baju yang terlipat sampai ke siku.
Pria yang tak lagi muda itu berjalan ke sebuah ruang rawat. Badannya yang tegap seolah mengeluarkan aura bos. Penampilannya memang sedikit berantakan: Rambut acak, kemeja keluar, dan dasi yang sudah longgar. Namun tidak menghilangkan kharismanya.
Pria itu memasuki ruang rawat. Pandangannya jatuh kepada putra semata wayangnya yang tidur tak berdaya di atas brankar. Selalu seperti itu. Kapan putranya akan bangun?
Pria itu menghela napas sesak. Saat berniat untuk duduk, tatapan pria itu dialihkan oleh sesuatu. Matanya melebar. Ia baru sadar jika ada orang lain di ruangan ini. Ia sedikit mendekat.
Siapa gadis ini? batinnya.
Ia tidak tahu kalau putranya punya teman perempuan. Melihat pakaiannya, sepertinya gadis itu seorang pasien. Tapi, kenapa bisa tidur disini? Apakah tersesat?
Pria itu mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi seseorang.
"Mah. Datang lah ke sini... " Ia melirik putranya sebentar, lalu gadis yang terbaring itu. "Tidak... Ada gadis yang tertidur di sini," katanya. Ia mendengar sebentar, hingga tatapannya terlihat seolah paham. "Rain?" ulangnya dengan bertanya, lalu ia mengangguk. "Baiklah. Aku menunggu."
Pria itu menatap Rain sebentar. Entahlah, perasaannya sedikit senang dan tenang. Seolah dia merasakan kehadiran Ghio. Ghio Memang tertidur pulas di brankar, bahkan terlalu pulas hingga tak bangun-bangun. Tapi walaupun begitu, ia selalu merasakan bahwa Ghio begitu jauh darinya. Tapi sekarang, ia seolah merasa kalau putranya berada di dekatnya.
Merasakan itu, matanya terasa panas. air mata berkumpul di pelupuk matanya. Pria itu segera mengalihkan tatapannya kepada Ghio yang terbaring. Ia membersikan mata dari air mata, lalu duduk di samping brankar.
Pintu terbuka membuat pria itu menoleh ke belakang. Gelora datang dengan tetoskop di lehernya.
"Aku belum memberitahu kamu, pa," kata Lora seraya mendekati pria itu. Ia mencium tangan pria itu sebentar.
"Kenapa dia tidur di sini?" tanya Segion, suami Gelora.
Lora melirik Rain yang tertidur tenang dan tidak terganggu. "Dia menjenguk Ghio. Dia tidak pulang karena dia sendirian di rumahnya. Jadi dia meminta untuk menginap di sini."
"Dia teman Ghio? Aku tidak tahu kalau Ghio bergaul sedekat itu dengan perempuan."
Gelora mengangguk setuju. "Tapi, melihat dia memperlakukan Ghio, sepertinya mereka sangat dekat. Aku pernah bilang tentang gadis yang menyampaikan pesan rindu Ghio, kan?"
Segion menunjuk Rain. "Dia?"
"Hm." Lora mengangguk.
"Lalu, kenapa aku baru melihatnya kalau mereka dekat?" tanya Segion. Baginya, tak masuk akal. Rain tiba-tiba datang dan menyampaikan rindu Ghio. Lalu dimana dia selama ini? Kenapa baru datang?
Lora seolah paham isi pikiran suaminya, segera memberi penjelasan. "Dia bukan dari kota ini. Dia tidak tahu Ghio dirawat di sini. Rain bahkan baru tahu beberapa bulan yang lalu kalau Ghio mengalami kecelakaan. Kamu tahu, pa? Dia bahkan datang jauh-jauh ke sini untuk mencari mama hanya untuk menyampaikan pesan itu. Dan buktinya juga ada. Gadis itu membawa foto ku bersama Ghio. Dari mana lagi ia mendapatkan foto itu kalau bukan dari Ghio."
Lora berjalan ke arah Rain dan menarik selimutnya yang melorot. Ia kembali kembali ke arah Segion. "Tadi, Ghio sempat kejang-kejang sama seperti bulan lalu. Gadis itu menangis lama. Dia seolah takut kehilangan Ghio. Dia terlihat sangat menyayangi putra kita, pa."
Segion diam mendengar penuturan Lora. Ia melirik Rain yang tertidur nyenyak.
"Aku menyuruhnya melupakan Ghio."
Segion menoleh cepat ke arah Lora. Tatapannya bertanya.
"Dia masih muda. Kau tahu, hanya mujizat yang bisa membuat Ghio bangun kembali."
"Lalu?"
"Aku tak ingin gadis itu menghabiskan waktunya dalam kesedihan seperti ini. Dia bisa mencari pria lain yang bisa ia andalkan. Dia hanya menyiksa diri berada di sini."
Segion menunduk. Menunggu putranya selama berbulan-bulan sepertinya membuat Gelora seolah putus asa.
"Tapi dia tidak mau," lanjut Gelora.
Segion mengangkat kepalanya lagi, menatap Lora dengan serius.
Lora menatap putranya. "Rain seyakin itu kalau Ghio akan bangun. Bahkan dia meyakinkan aku kalau Ghio benar-benar akan bangun."
"Kita harus yakin," kata Segion setelah lama terdiam.
Lora mengangguk. "Benar. Orang lain saja seyakin itu. Kita sebagai orang tuanya seharusnya lebih yakin, bukan?"
***
Hujan deras mengguyur tubuhnya. Rasa sakit memenuhi seluruh tubuhnya, terlebih kepala. Kelapa Rain terasa pecah.
Dingin malam ini yang bersatu dengan hujan membuat Rain seolah membeku. Namun, hal itu tidak ada apanya dibanding rasa sakit yang menyerang kepalanya.
Rain merintih kesakitan. Sekujur tubuhnya lemas.
Dari arah samping, Rain mendengar rintihan kesakitan. Mata Rain mencoba melirik, berusaha melihat orang yang merintih kesakitan itu. Tapi, pandangan Rain kabur, tertutupi oleh hujan. Rasa hangat terasa mengalir dari kepalanya. Sangat sakit. Itu adalah darah yang terus-menerus keluar tanpa henti.
"Tolong!" Hanya rintihan kecil yang keluar dari mulut Rain.
Hingga, tiba-tiba sesuatu mendarat di keningnya. Terasa seperti sebuah tangan. Panas yang tadi mengalir di wajah Rain seolah berhenti. Keningnya terasa lebih dingin. Rasa sakit itu sedikit berkurang.
Walaupun sangat susah menggerakkan tubuhnya, Rain berusaha melihat ke samping. Hanya sebuah tangan yang dapat ia lihat dengan jelas. Tangan itu menutupi keningnya.
Rain tahu ada seseorang yang tergeletak di sampingnya, tapi ia tidak tahu siapa dia. Rain tidak mampu melihatnya dengan jelas. Pandangannya buram dan seperti berputar.
Hingga Rain mendengar rintihannya kembali, lalu disusul dengan suara serak, pelan, dan berat. "Rain. Bertahanlah."
Lalu Rain seolah ditarik dari sana. Ia terbangun dengan napas ngos-ngosan. Rain duduk cepat. Keringat membanjiri tubuhnya. Rain memegang dadanya yang terasa sakit. Jantungnya berpacu dengan cepat.
Lagi-lagi, Rain memimpikan mimpi aneh itu. Sebenarnya, kenapa ia selalu memimpikan itu?
"Ahh..." Rain meremas dadanya yang terasa sakit.
"Rain!"
Ghio yang awalnya tidur, langsung terbangun saat mendengar suara erangan Rain. Ia menatap khawatir ke arah Rain.
"Kamu kenapa?" tanya Ghio mendekati Rain.
Rain terus memegangi dadanya. "Sa-sakit?" runtuh Rain pelan.
Mata Ghio melebar. Dengan cepat ia menarik Rain ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung gadis itu terus-menerus. "Kenapa bisa seperti ini?" tanya Ghio sambil memeluk Rain.
Rain memejamkan matanya, merasakan sakit bersama hangatnya pelukan Ghio. Perlahan ia mulai tenang. Jantungnya mulai berdetak normal. Keringat yang tadinya terus meluncur mulai berkurang.
Tubuh Rain melemas seketika. Ia bertopang pada pelukan Ghio.
"Rain!" panggil Ghio. Namun tak ada sahutan dari gadis itu.
"Rain!" panggilnya lagi. Ghio mulai panik. Ia melepas pelukannya dan melihat keadaan Rain.
"Rain! Bangunlah. Kamu kenapa? Rain!" panggilnya berkali-kali.
Ghio panik. mengguncang bahu Rain, tapi tak ada reaksi dari gadis itu. Ghio benar-benar panik. Ia takut terjadi sesuatu kepada Rain. Gadis itu terlihat pucat.
Ghio lagi-lagi membawa Rain ke dalam pelukannya. Apa yang harus ia lakukan?
"Rain. Jangan meninggalkanku," lirih Ghio dengan mata berkaca-kaca.
Ia melepas pelukannya dan beralih menggenggam pipi gadis itu dengan kedua tangan. Ia mengecek napasnya Rain, dan untuknya gadis itu masih bernapas.
"Rain! Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" tanya Ghio panik. Ia benar-benar tidak bisa melakukan apa pun.
Air mata membendung di pelupuk matanya. Ia masih menggenggam wajah gadis itu. Ia bahkan menguyel pipi gadis itu, berharap gadis itu bangun. "Rain!" panggilnya.
Mata Rain tiba-tiba terbuka. "Jangan menggangguku seperti itu. Aku ingin istirahat."
Mata Ghio melebar. "Rain! Kamu tidak apa-apa? Astaga! Aku pikir kamu pingsan," katanya dengan wajah panik.
Rain yang melihat wajah khawatir itu merasa lucu. Ia tersenyum kecil. Lalu menyandarkan kepalanya di dada Ghio. "Aku merasa lelah, Ghio. Aku ingin istirahat."
Mendengar itu. Ghio segera melingkarkan tangannya memeluk Rain. "Tidurlah," katanya.
Jantung Ghio hampir meledak tadi. Ia pikir terjadi sesuatu dengan Rain.
"Kamu membuatku takut, Rain."
"Hm." Rain hanya bergumam kecil. Ia benar-benar lelah menahan sakit tadi.
"Jangan seperti itu lagi." kata Ghio, tapi ia tidak mendapat jawaban. "Kamu sudah tidur?"
"Hm." lagi-lagi, Rain hanya bergumam.
"Baiklah. Tidur saja dengan tenang. Aku akan menjaga kamu malam ini," kata Ghio. Ia mengelus punggung gadis itu.
"Apa dadamu masih sakit?"
"Jantungku. Tapi, sudah tak sakit lagi," gumam Rain kecil.
"Kenapa kamu bisa merasakan seperti itu? Kamu punya riwayat penyakit jantung? Sepertinya kamu harus memeriksanya."
"Ghio. Aku ingin istirahat," kesal Rain sambil mendongak menatap Ghio.
Ghio menyengir kuda. Kemudian mendorong kepala Rain untuk bersandar kembali di dadanya. "Baiklah. Tidur saja. Aku tidak akan bertanya lagi."
"Terima kasih," gumam Rain tersenyum kecil. Lalu, kesadarannya mulai hilang. Ia benar-benar tertidur dalam pelukan Ghio dengan posisi duduk. Rasanya sangat nyaman dan aman.
Sementara Ghio, ia terus mengusap rambut gadis itu dengan penuh sayang.
"Aku mencintaimu, Rain."
Sayangnya, Rain tidak mendengar itu.