"sudah aku katakan sedari dulu, saat aku dewasa nanti, aku akan menjadikan kakak sebagai pacar, lupa?" gadis cantik itu bersedekap dada, bibirnya tak hentinya bercerocos, dia dengan berani masuk ke ruang pribadi pria di depannya.
tidak menjawab, Vallerio membiarkannya bicara seorang diri sementara dia sibuk periksa tugas para muridnya.
"kakak.."
"aku gurumu Au, bisa nggak panggil sesuai profesi gitu?"
"iya tahu, tapi kalau berdua begini nggak perlu!"
"sekarang kamu keluar!" ujar Vallerio masih dengan suara lembutnya.
tidak mengindahkan perintah pria tampan itu, Aurora malah mengikis jarak, dengan gerakan cepat dia mengecup bibir pria itu, baru berlari keluar.
Vallerio-Aurora, here!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
uring uringan
Aurora kembali ke dalam kamar. Hal pertama yang dia tuju adalah ponsel. Mengambil ponsel lalu menghubungi Vallerio segera untuk memberi tahu pria itu terkait perintah Wiliam barusan.
Sampai sekarang jantung Aurora berdetak cepat. Perasaan gelisah terus menghantuinya. Dia tidak bisa tenang, apalagi Wiliam yang secara tiba tiba meminta Vallerio menemuinya membuat Aurora semakin kalut setengah mati.
“Iya sayang, selamat malam” suara berat Vallerio terdengar dari seberang sana.
Aurora menghela nafas berat, “selamat malam kak” balasnya sangat pelan seolah takut di dengar oleh orang lain padahal di kamar itu hanya ada dirinya.
“kenapa suaramu sangat kecil, masih capek ya?” tanya Vallerio dari seberang sana. Di tatapnya wajah cantik Aurora lewat layar ponsel, dia tersenyum lembut.
“is, Aurora mau ngomong sesuatu kak” menggigit bibir bawahnya.
“Iya sayang, mau ngomong apa, hm?”
“Besok kakak datang jemput Aurora kan?” Vallerio mengangguk cepat.
“Nah, sebelum itu kak Wiliam meminta kakak untuk menemuinya, aku takut tau kak” terpampang jelas raut cemas itu.
“Wiliam memintaku menemuinya? Jadi kamu sudah cerita dengan sendirinya? Apa reaksinya? Harusnya kamu tunggu aku bercerita sayang” lain yang di pikir Vallerio. Dia kira Aurora seberani itu bercerita mengenai hal di luar nalar, Yang ada nanti dia di kubur hidup hidup oleh kakaknya.
“Mana ada aku cerita, kak Wiliam tahu sendiri kalau tadi siang aku datang ke kantor kakak, apa dia juga tahu tentang___”
“tentang apa?” tanya Vallerio sambil tersenyum tipis di seberang.
“ishhh pura pura bego, aku matiin ya!” ancamnya dengan wajah cemberut serta bibir yang di majukan beberapa centi. Seketika Vallerio tertawa lebar, sungguh melihat Aurora seperti itu makin gemas saja.
“Hahahah, aku becanda sayang, jangan di matiin dulu!”
“Tapi aku mau nonton!”
“hais kebiasaan, kamu mau aku kesana sekarang!” mulai dengan ancaman, Aurora kicep dan setelahnya dia lanjut menanggapi pria itu hingga perlahan mata Aurora terpejam sendiri.
Di pastikan Aurora memang sudah tertidur, Vallerio mematikan sambungan teleponnya.
...----------------...
“apa iya Wiliam tahu?” jika di telepon tadi Vallerio tenang tenang saja kelihatannya, lain halnya saat ini. Pria tampan itu tengah uring uringan memikirkan nasib yang akan menimpanya. Baik kalau hanya sekedar memukul, yang Vallerio takutkan adalah bagaimana kalau Wiliam ataupun keluarganya melarang dia untuk kembali berhubungan dengan Aurora ke depannya.
“Tidak, kenapa aku harus berpikir ke arah sana. Kalau memang mereka menentang maka kami akan kawin lari!” gumannya seorang diri sambil sesekali berjalan kesana kemari tak jelas.
Dia meraup kepalanya frustasi, tidak bisa di pungkiri bahwa Vallerio masih ada takut takutnya sama Wiliam sama seperti dulu.
Aura pria itu tidak berubah, dia masih seperti malaikat pencabut nyawa menurutnya.
“Dia saja mengetahui dengan cepat tentang Alena dan Nadira dulu, kecil kemungkinan kalau Wiliam___ ah kan tidak mungkin” sama halnya seperti orang gila yang bicara sendiri, begitulah Vallerio sekarang hingga ketukan di pintu membuatnya beralih.
“iya mam” jawabnya melihat mama Nisa berdiri di balik pintu.
“mama boleh masuk?” tanya wanita tua itu. Vallerio mengangguk, mempersilahkan mamanya untuk masuk ke dalam kamar.
Setiap kali masuk ke kamar putranya, Mama Nisa selalu mengangguk lantaran kamar pria itu sangat tertata rapi. Ya, Vallerio memang tipe orang yang tidak suka dengan hal yang berantakan, bahkan meja di kamar itu begitu tertata.
“Mama mau apa?” tidak kunjung mendapati maksud mamanya datang, Vallerio bertanya. Mendengar pertanyaan itu, mama Nisa hanya tersenyum tipis.
“mama hanya mau melihat lihat, emang tidak boleh?”
“udah deh tidak usah pura pura, Valle tahu mama kesini pasti ada yang mau di sampaiin kan?” tebakannya memang benar, Mama Nisa ingin bicara berdua dengannya.
“kamu memang paling tahu tentang mama” kekeh wanita itu. Dia duduk di tepi ranjang Vallerio.
“Sayang, kamu kenapa terlihat sangat tidak suka dengan Riska? Begi___”
“stop ma, kalau mama hanya mau bercerita tentang wanita itu maka tidak ada gunanya, mending mama keluar saja! Satu lagi, Vallerio tidak suka dia kerja di perusahaan, walau skillnya baik atau bagaimana pun yang jelas Valle tidak ingin dia bekerja disana!” jawab Vallerio memotong pembicaraan mama Nisa.
Wanita itu mengeryit kening. Dia menatap vallerio begitu lekat, seolah mencari tahu kenapa putranya seperti itu.
“kamu bisa memberikan alasan yang masuk akal sampai melarang Riska bekerja disana?” tanya Mama Nisa yang masih tak habis pikir.
“mam, gara gara tadi mama mengajaknya ikut serta makan siang, hampir saja aku di putusin__”
“di putusin? Kamu sudah punya pacar?” wajah wanita itu berbinar. Lupakan tentang Riska, sekarang dia meneror Vallerio yang enggan memberi tahu lebih lanjut maksudnya.
...****************...
Ke esokan harinya, pagi ini Vallerio sudah bersiap padahal jam masih terbilang pagi, setengah enam.
Selain memikirkan pertemuan dengan Wiliam, dia juga memikirkan Waktu Aurora yang mungkin saja terlambat ke sekolah jika dia telat datang.
Mama Nisa yang sedang masak di dapur sampai heran sendiri melihat putra bungsunya yang sudah siap berangkat.
“loh, nggak sarapan dulu?” Tanya wanita paruh baya itu.
“Valle sarapan di luar saja ma, pamit ya” gegas dia berlalu sembari membawa kunci mobil di tangannya.
Tiga puluh menit perjalanan, Vallerio sampai di depan rumah Manggala. Gegas dia turun, masuk ke dalam rumah.
“Valle..” sapa Alena yang sudah duduk di meja makan dengan suaminya. Masih belum lengkap, Aurora tidak terlihat disana.
Pria itu tersenyum lembut, kemudian menghampiri mereka. Dia mencium tangan kedua calon mertuanya, lalu duduk di salah satu kursi untuk ikut sarapan bersama mereka.
Tak lama setelahnya, Aurora yang sudah berpakaian lengkap datang ke meja makan.
“Kakak sudah datang?” tanyanya pada Vallerio. Dia mendudukkan bokongnya di kursi samping pria itu.
"pertanyaanmu, sudah jelas jelas dia terlihat disini!" bukan Vallerio tapi Wiliam yang menimpali pertanyaan basinya.
"uncle, ada uang ndak?" lama tak berulah, kali ini Aira menghampiri Vallerio, berdiri di samping kursinya sambil berbisik kecil tapi masih bisa di dengar oleh mereka.
"heh, deddymu sangat kaya cil, minta saja sama dia!" ujar Aurora cepat.
"Uty apacih, Aya ndak minta Uty loh!!!"
"Aira makan!" perintah Wiliam, gadis kecil itu perlahan berbalik ke pangkuannya. diam dan menuruti perintah Wiliam untuk makan.
Hingga selesai makan, Wiliam mengajak Vallerio ke ruang kerjanya lebih dulu. Aurora menunggunya di sofa ruang tamu dengan rasa cemas yang menjalar sejak tadi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
lagian knpa emgga bilng kalo udah punya pacar .. 🗿🔪