Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Kisah Masa Lalu
Rumah Rangga, dengan segala kemegahannya, kini terasa lebih sunyi daripada biasanya. Rangga duduk di balik meja kerjanya yang besar, matanya tertuju pada tumpukan dokumen yang belum terselesaikan. Namun, pikirannya melayang, tertuju pada sosok Lusi.
Beberapa hari terakhir, ia tanpa sadar memperhatikan Lusi. Kegigihan Lusi dalam mempelajari bisnisnya sungguh mengagumkan. Ia melihat Lusi begadang di ruang belajar, mata sembab karena kurang tidur, namun tetap tekun membaca dan menganalisis data. Rangga, yang selama ini dikenal dingin dan tak kenal ampun, mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Bukan hanya kegigihannya, tetapi juga kesedihan yang terpancar dari mata Lusi. Kesedihan itu tersembunyi di balik senyum tipisnya, tersembunyi di balik sikapnya yang selalu berusaha tegar. Rangga melihatnya saat Lusi makan roti kering seadanya di meja kerjanya, saat Lusi diam-diam menyeka air mata di sudut ruangan. Rangga, untuk pertama kalinya, merasakan simpati yang begitu kuat.
Ia teringat percakapannya dengan Lusi beberapa hari yang lalu. Lusi telah menunjukkan ketajamannya dalam menganalisis bisnisnya, menemukan beberapa kejanggalan yang bahkan ia sendiri hampir melewatkannya. Rangga menyadari bahwa Lusi bukanlah gadis biasa. Ia memiliki kecerdasan, kegigihan, dan juga ketulusan.
Suatu sore, Rangga melihat Lusi sedang membaca dokumen di ruang belajar. Ia masuk ke ruangan, menemukan Lusi sedang fokus membaca. Ia terdiam sejenak, memperhatikan Lusi. Ia melihat kesedihan yang terpancar di mata Lusi, kesedihan yang begitu dalam. Rangga menghela napas, lalu berkata, "Kau lelah, ya?"
Lusi terkejut, menoleh ke arah Rangga. Ia tidak menyangka Rangga akan memperhatikannya. "Sedikit," jawab Lusi, suaranya lirih.
"Istirahatlah," kata Rangga, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Jangan terlalu memaksakan diri."
Lusi terdiam, memandang Rangga dengan tak percaya. Ia tidak menyangka Rangga akan menunjukkan rasa simpati kepadanya. Ia merasa sedikit lega, sedikit terharu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia merasa ada secercah harapan yang mulai tumbuh dalam hatinya. Perhatian Rangga, sekalipun tersembunyi di balik sikap dinginnya, memberikannya kekuatan untuk terus berjuang. Ia tahu bahwa jalan masih panjang, namun ia tidak lagi merasa sendirian.
Lusi duduk di sebuah kafe sederhana, menunggu kedatangan seseorang yang sangat penting. Ia gugup, jari-jarinya memainkan sedotan minumannya.
Hari ini, ia akan bertemu dengan Mbak Rani, mantan sekretaris Rangga yang telah lama pensiun. Dari beberapa sumber, Lusi mengetahui bahwa Mbak Rani adalah satu-satunya orang yang bisa menceritakan masa lalu Rangga. Ia berharap bisa mendapatkan informasi yang bisa menjelaskan sikap dingin dan misterius Rangga.
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih datang menghampiri Lusi. Wanita itu terlihat ramah dan lembut, seolah-olah jauh berbeda dengan bayangan sosok Rangga yang dingin dan tak kenal ampun yang selama ini terpatri di benak Lusi.
"Mbak Rani?" tanya Lusi, tersenyum.
"Iya, saya Rani," jawab wanita itu, tersenyum balik. "Silakan duduk."
Mereka berbincang-bincang ringan, mengenai cuaca, mengenai kafe, dan berbagai hal lainnya. Lusi merasa nyaman berbincang dengan Mbak Rani, perasaan gugupnya mulai mereda. Setelah merasa suasana sudah lebih rileks, Lusi mulai menanyakan tentang Rangga.
"Mbak Rani, saya ingin tahu tentang masa lalu Pak Rangga," kata Lusi, suaranya sedikit gemetar.
Mbak Rani mengangguk, tersenyum sedikit getir. "Masa lalu Pak Rangga memang cukup berat," katanya, suaranya terdengar lirih.
Mbak Rani bercerita tentang masa muda Rangga, tentang keluarganya, tentang kegagalan bisnis ayahnya, dan tentang tragedi yang merenggut orang-orang yang ia sayangi. Ia menceritakan tentang bagaimana Rangga kehilangan orang tuanya di usia muda, bagaimana ia harus berjuang sendirian untuk bertahan hidup, dan bagaimana ia harus menghadapi berbagai tekanan dan kesulitan.
Ia menceritakan tentang bagaimana Rangga harus menanggung hutang yang besar setelah bisnis ayahnya bangkrut, bagaimana ia harus bekerja keras siang dan malam untuk melunasi hutang tersebut, dan bagaimana ia harus menghadapi berbagai tekanan dari para kreditor.
Lusi mendengarkan dengan seksama, perlahan mulai memahami sikap dingin dan misterius Rangga. Ia menyadari bahwa sikap dingin Rangga bukanlah karena ia jahat, melainkan karena ia sedang melindungi dirinya sendiri dari luka-luka masa lalu. Ia membangun tembok yang tinggi untuk melindungi hatinya yang rapuh.
"Pak Rangga selalu terlihat dingin dan tak peduli," kata Lusi, suaranya lirih.
"Itu hanya topeng, Lusi," jawab Mbak Rani, tersenyum sedih. "Di balik topeng itu, ia menyimpan banyak luka dan kesedihan."
Mbak Rani menceritakan bagaimana Rangga selalu bekerja keras, bagaimana ia selalu berusaha untuk mencapai kesuksesan, bagaimana ia selalu berusaha untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.
Ia menceritakan bagaimana Rangga selalu menyumbangkan sebagian hartanya untuk amal, bagaimana ia selalu berusaha untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, meskipun ia tak pernah menunjukkannya secara terang-terangan.
Lusi terdiam, merasakan simpati yang begitu kuat terhadap Rangga. Ia menyadari bahwa ia telah salah menilai Rangga. Rangga bukanlah orang yang jahat, melainkan orang yang menyimpan banyak luka dan kesedihan di dalam hatinya. Ia berharap bisa membantu Rangga untuk menyembuhkan luka-lukanya, untuk menemukan kedamaian dalam hidupnya.
Pertemuan dengan Mbak Rani telah membuka mata Lusi, memberinya pemahaman yang lebih dalam tentang Rangga, dan juga tentang kehidupan. Ia keluar dari kafe, membawa beban yang lebih ringan, dan tekad yang lebih kuat.