Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehadiran Refal
Suasana kantor Veltika tampak tenang dan lengah setelah rapat selesai. Lampu-lampu di ruang rapat yang besar itu meredup, sementara sebagian staf melanjutkan pekerjaan mereka di meja masing-masing. Veltika duduk di mejanya, menatap komputer dengan fokus, tetapi pikirannya melayang jauh. Rapat hari itu dengan perusahaan Jatmiko—yang dipimpin oleh Denis—telah selesai dengan lancar, namun ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.
Meskipun pekerjaan berjalan baik, perasaan tidak tenang masih menghinggapi dirinya. Veltika tahu bahwa kerjasama ini sangat penting bagi perusahaan desain interior keluarganya, tetapi hubungan personal yang rumit dengan Denis terus menghantui setiap langkah yang diambilnya. Dia berusaha untuk tetap profesional, mengendalikan diri agar tidak terbawa perasaan, tapi kadang-kadang hatinya tak bisa dipungkiri, masih terpengaruh oleh kehadiran Denis.
Dari jendela kantornya, Veltika melihat ke luar, menikmati pemandangan kota yang sibuk di bawah sana. Namun, pikirannya kembali terfokus pada sosok Denis. "Aku tidak bisa membiarkan perasaan menguasai aku," pikirnya. "Harus tetap profesional."
Meski begitu, ada rasa tidak nyaman setiap kali harus berurusan dengan Denis. Keberadaan Denis di proyek ini sangat signifikan, tapi bagi Veltika, kedekatan mereka justru semakin memperumit segalanya. Hubungan mereka bukan hanya sekedar bisnis, ada sesuatu yang lebih dalam, yang meskipun ia coba untuk tidak peduli, tetap membekas.
Veltika menghela napas panjang, berusaha mengalihkan pikirannya. Dia membuka file desain terbaru di komputernya, mencoba berkonsentrasi kembali pada pekerjaannya. Sebagai seorang profesional, dia harus bisa memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Bahkan saat ia berusaha untuk melupakan Denis, pikirannya selalu kembali pada lelaki itu.
Siang itu, suasana kantor Veltika sedikit berbeda dari biasanya. Pintu utama terbuka, dan seseorang yang tidak dikenalnya datang dengan penuh percaya diri. Refal Samudera, seorang arsitek terkenal yang pernah menjadi teman masa kuliah Veltika, kini berdiri di lobi kantor. Wajahnya yang tampan dan aura karismatiknya seolah mengisi seluruh ruangan. Refal tersenyum lebar saat melihat Veltika, membawa sebuah buket bunga mawar putih, bunga kesukaan Veltika sejak lama.
"Veltika!" Refal menyapa dengan suara hangat. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Aku rasa kamu sudah tidak ingat lagi padaku," katanya sambil tertawa kecil, meskipun jelas ada kesan serius dalam setiap kata-katanya.
Veltika sedikit terkejut. Dia memandangnya beberapa saat, seolah tidak percaya bahwa pria yang dulu sempat dekat dengannya di kampus kini kembali hadir di hadapannya. Refal bukan hanya seorang teman kuliah biasa; dia adalah salah satu arsitek muda paling berbakat yang namanya kini dikenal luas, bahkan di luar negeri. Meskipun begitu, Veltika selalu mengingatnya sebagai sosok yang lebih pendiam dan terkadang terlihat serius.
"Refal, ini... lama sekali," Veltika akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata setelah beberapa detik terdiam. Senyumannya perlahan mengembang, meskipun ada sedikit kecanggungan. "Apa kabar? Aku tidak menyangka kamu akan datang ke sini."
Refal meletakkan buket bunga itu di meja Veltika dan menyapanya dengan senyuman hangat. "Aku mendengar banyak hal tentang perkembangan perusahaanmu, Veltika. Aku datang untuk melihatnya secara langsung. Selain itu, aku bawa bunga ini untukmu. Sebagai tanda penghargaan untuk teman lama yang selalu aku hormati."
Veltika merasa sedikit tersentuh dengan gestur itu, meskipun masih ada perasaan campur aduk di hatinya. Ia ingat masa-masa kuliah yang penuh dengan kebersamaan, meskipun pada akhirnya mereka memilih jalannya masing-masing. Refal yang kini sukses di dunia arsitektur, sementara dia sendiri terfokus pada desain interior.
"Terima kasih, Refal. Bunga ini indah sekali," kata Veltika dengan tulus, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang muncul begitu saja. "Kenapa kamu datang ke kantor ini? Ada yang bisa aku bantu?"
Refal mengambil kursi di hadapan Veltika dan duduk dengan santai. "Sebenarnya aku sedang mencari beberapa proyek baru, dan aku mendengar bahwa kantor desain interior keluargamu sedang mengerjakan beberapa proyek besar. Aku berpikir, mungkin kita bisa bekerja sama dalam beberapa hal."
Veltika mengangkat alis, merasa terkejut. "Kita? Bekerja sama?"
Refal mengangguk, senyumannya semakin lebar. "Aku selalu menghargai bagaimana kamu mengembangkan desain interior dengan sentuhan yang sangat pribadi. Dan sekarang, aku merasa bahwa ada banyak peluang untuk kita berkolaborasi. Dunia arsitektur dan interior bisa saling melengkapi, bukan?"
Veltika terdiam, memikirkan tawaran itu. Di satu sisi, bekerja dengan Refal bisa menjadi kesempatan emas untuk mengembangkan karirnya lebih jauh. Namun, di sisi lain, perasaan yang masih ada di hatinya mengenai hubungan pribadi dan bisnis yang pernah ada dengan Denis membuat Veltika merasa ragu. Bagaimanapun, keputusan ini tidak bisa diambil sembarangan.
"Mungkin ada kesempatan untuk itu, Refal. Tapi aku perlu waktu untuk mempertimbangkannya," jawab Veltika dengan hati-hati.
Refal tersenyum, paham betul bahwa dia tidak bisa memaksakan keinginannya. "Aku paham, Veltika. Tapi aku sangat berharap kita bisa bekerja sama lagi. Kita bisa berbicara lebih lanjut setelah kamu memikirkan semuanya."
Veltika mengangguk, dan keduanya melanjutkan percakapan mereka, meskipun ada rasa yang tidak bisa diabaikan, perasaan yang begitu rumit dan penuh pertimbangan.
Setelah hari yang panjang di kantor, Veltika memutuskan untuk melanjutkan pertemuannya dengan Refal di rumah. Meskipun sukses di dunia desain, Veltika lebih menyukai suasana rumah yang nyaman daripada restoran mewah. Dia merasa lebih tenang di lingkungan yang familiar, jauh dari hiruk-pikuk dan sorotan publik. Bu Sri, sang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja lama bersamanya, dengan cekatan menyiapkan menu makan malam sederhana yang istimewa: semur ayam, sayur asem, dan nasi putih hangat.
Veltika mengatur meja makan di ruang makan yang terletak dekat jendela besar yang menghadap ke taman rumahnya. Dia menyukai momen-momen seperti ini, ketika ruang yang tadinya hanya sebuah tempat makan berubah menjadi tempat untuk bercakap-cakap dengan orang yang pernah dekat dengannya. Refal, yang selama ini sibuk dengan proyek-proyek besar, sepertinya juga sangat menikmati suasana santai ini.
"Sejujurnya, aku jarang makan makanan rumah seperti ini. Rasanya seperti masa-masa kuliah dulu," kata Refal sambil mencicipi semur ayam yang telah disiapkan Bu Sri. Wajahnya yang serius selama ini terlihat lebih rileks, dan senyumannya terasa lebih hangat.
Veltika tersenyum, sambil memandang hidangan yang ada di meja. "Aku juga lebih suka masakan rumahan. Kadang, makanan sederhana justru bisa lebih bermakna daripada yang mewah. Dan Bu Sri memang ahli dalam membuat hidangan enak," katanya, mengalihkan pandangannya pada Bu Sri yang sedang berdiri di sisi lain ruangan, menunggu perintah.
"Bu Sri, terima kasih untuk makan malamnya, seperti biasa luar biasa," tambah Veltika dengan tulus.
Bu Sri membungkuk hormat, "Terima kasih, Nona Veltika. Senang Nona menyukai masakan saya."
Veltika dan Refal terus menikmati hidangan tersebut, berbicara ringan tentang masa lalu mereka, mengenang berbagai kenangan indah saat masih kuliah bersama. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja, tanpa ada ketegangan. Namun, meski suasana santai dan nyaman, Veltika tak bisa menghilangkan sedikit rasa cemas yang menghantuinya. Bagaimana jika Refal terlalu berharap banyak pada kerja sama yang diusulkan? Atau bahkan, apa yang akan terjadi jika hubungan mereka berkembang lebih dari sekadar kolaborasi profesional?
"Veltika, aku benar-benar merasa ini bisa jadi kesempatan baik untuk kita. Aku tahu kamu punya visi besar, dan aku ingin menjadi bagian dari itu," kata Refal, tiba-tiba kembali ke topik kerja sama yang tadi sempat mereka bicarakan. Wajahnya terlihat serius, namun ada ketulusan yang jelas di matanya.
Veltika menatapnya sejenak, merenungkan kata-kata itu. "Aku tahu, Refal. Dan aku menghargai tawaranmu. Mungkin memang ada sesuatu yang bisa kita kerjakan bersama. Tapi, aku perlu waktu untuk memikirkannya."
Refal mengangguk dengan pengertian. "Aku mengerti. Kita bisa bicara lagi nanti. Tapi, jangan biarkan dirimu terjebak dalam keraguan. Aku tahu betapa besar potensi yang kamu punya."
Veltika merasa dihargai, meskipun ada perasaan ragu yang masih mengendap di hatinya. Dia tahu, keputusan ini bukan hanya soal pekerjaan, tetapi juga soal perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan. Namun, untuk malam ini, dia memilih untuk menikmati kebersamaan yang ada, sambil memikirkan langkah selanjutnya yang terbaik untuk dirinya.