abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Labirin yang Menelan
Fajar tidak kunjung datang. Gelap masih melingkupi kastil, seperti waktu telah berhenti untuk memenjarakan mereka di dimensi ini. Jonathan memandangi cermin besar yang kini kosong, namun tetap memancarkan aura menyeramkan. Wanita yang mereka dorong ke dalamnya seolah lenyap tanpa jejak, namun suaranya masih terngiang, bergema di benak mereka semua.
“Ini tidak akan pernah selesai,” gumam Maria dengan mata sembab. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, tubuhnya menggigil meskipun tidak ada angin dingin yang berhembus.
“Kita harus tetap bergerak,” ujar Viktor dengan nada tegas. “Ruang bawah tanah itu adalah satu-satunya harapan kita sekarang.”
“Tapi bagaimana kalau lorong bawah tanah itu juga jebakan?” Maria memotong, suaranya serak.
“Semua di sini terasa seperti jebakan,” jawab Isabella, matanya menatap jauh ke dalam kegelapan lorong di depan mereka. “Tapi aku lebih memilih mencoba daripada hanya duduk di sini dan menunggu ajal.”
Jonathan membuka peta yang terus ia bawa. Jari-jarinya menunjuk pada bagian yang mereka sepakati sebagai ruang penyimpanan. “Kita harus mengambil jalur ini. Kalau peta ini benar, kita hanya perlu melewati sayap timur kastil.”
Mereka setuju dengan rencana itu, meskipun rasa ragu dan takut tetap menggelayuti hati. Dengan membawa lilin dan lampu minyak seadanya, mereka melangkah ke lorong yang membawa mereka ke sayap timur.
---
Lorong itu semakin panjang dan gelap, meskipun lilin yang mereka bawa cukup terang untuk menerangi jalan. Setiap langkah mereka terasa seperti gema yang tidak hanya berasal dari kaki mereka sendiri.
“Tunggu,” bisik Isabella, menghentikan langkah. “Apa kalian mendengar itu?”
Mereka semua berhenti, menahan napas. Di kejauhan, terdengar suara samar—seperti seorang wanita menangis.
“Itu... bukan Elisa, kan?” tanya Maria dengan suara gemetar.
“Tidak mungkin,” jawab Viktor cepat. Namun nada suaranya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak yakin.
“Bukan berarti kita harus mencari tahu,” desis Jonathan. “Kita harus tetap pada rencana. Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatian kita.”
Namun suara tangisan itu semakin keras, seolah-olah mendekat. Isabella menoleh ke belakang dan melihat bayangan bergerak cepat di ujung lorong.
“Kita harus pergi sekarang!” serunya, menarik tangan Maria.
Mereka mempercepat langkah, hampir berlari, sementara suara tangisan itu berubah menjadi jeritan mengerikan. Suara itu seolah memenuhi lorong, memukul gendang telinga mereka dengan keras.
Ketika mereka sampai di persimpangan lorong, Jonathan menunjuk ke kiri. “Ke sana! Ruang penyimpanan ada di sana!”
Namun saat mereka berbelok, lorong yang mereka masuki tidak membawa mereka ke ruang penyimpanan. Sebaliknya, mereka menemukan diri mereka berada di sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi. Aula itu dipenuhi dengan cermin-cermin besar yang berdiri berjajar, masing-masing memantulkan bayangan mereka dengan cara yang tidak wajar.
“Ini bukan jalan yang benar!” seru Maria, hampir menangis lagi.
“Aku tidak mengerti,” gumam Jonathan, melihat peta di tangannya. “Ini seharusnya jalan yang benar!”
“Lupakan peta itu!” bentak Viktor. “Tempat ini berubah-ubah! Kita hanya bisa mengandalkan insting sekarang.”
Namun sebelum mereka bisa memutuskan langkah berikutnya, salah satu cermin di depan mereka bergetar, seperti permukaannya adalah air yang dilempar batu. Dari dalam cermin itu, sesosok bayangan muncul—tinggi, kurus, dan wajahnya tertutup oleh kain hitam.
Sosok itu mengulurkan tangan panjangnya, seolah-olah mencoba menarik mereka masuk.
“Jangan diam saja! Lari!” teriak Isabella, menarik mereka keluar dari aula itu.
Namun setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti membawa mereka kembali ke tempat yang sama. Lorong-lorongnya tidak berujung, dan suara langkah kaki mereka sendiri bercampur dengan suara langkah kaki lain yang entah datang dari mana.
“Kita terjebak!” seru Maria, panik.
“Diam!” Viktor membentaknya, mencoba menenangkan kelompok itu. “Kita harus berpikir jernih!”
“Berpikir jernih?!” Maria membalas dengan histeris. “Kita dikejar oleh makhluk yang entah apa, dan kita bahkan tidak tahu jalan keluarnya! Bagaimana mungkin kita berpikir jernih?!”
Namun sebelum Viktor bisa membalas, sebuah suara berat menggema di lorong:
"Kalian tidak akan pernah keluar."
Semua berhenti seketika. Suara itu datang dari semua arah, membuat mereka bingung.
Isabella memejamkan matanya sejenak, mencoba meredam ketakutannya. Ia mengingat kata-kata di buku yang mereka temukan sebelumnya: “Untuk membuka lorong, darah harus mengalir.”
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Jonathan, melihat Isabella yang tiba-tiba terdiam.
“Darah,” jawab Isabella dengan suara serak. “Kita perlu... mengorbankan sesuatu.”
“Apa maksudmu?” Viktor bertanya, wajahnya penuh kebingungan.
“Kalian ingat buku itu? Kata-katanya jelas. Untuk membuka lorong, darah harus mengalir. Kastil ini tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja. Kita harus memberikan sesuatu sebagai gantinya.”
“Jangan bodoh!” Viktor membalas. “Itu hanya tulisan! Kita tidak bisa mengambil risiko sebesar itu!”
“Lalu apa pilihan kita?” Isabella menatap mereka satu per satu, matanya penuh dengan kesungguhan. “Kita akan mati kalau terus begini. Kalau kita ingin keluar, kita harus mencoba.”
Sebuah ketegangan membeku di antara mereka. Tidak ada yang ingin menjadi orang pertama yang mengambil risiko.
Namun sebelum ada yang bisa berkata apa-apa, Maria tiba-tiba melangkah maju, menarik belati kecil dari sakunya. Ia memandang mereka dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau memang ini yang dibutuhkan,” katanya pelan, “aku bersedia.”
“Maria, jangan!” teriak Viktor, mencoba menghentikannya.
Namun sebelum ia sempat bergerak, Maria menggoreskan belati itu di telapak tangannya. Darah menetes ke lantai, membentuk pola kecil yang segera meresap ke celah di lantai batu.
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergetar, dan sebuah suara keras terdengar, seperti batu besar yang bergerak. Sebuah pintu rahasia muncul di salah satu dinding lorong.
“Ini berhasil,” bisik Isabella, hampir tidak percaya.
Namun saat mereka mendekati pintu itu, suara jeritan yang familiar terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Wanita yang mereka dorong ke dalam cermin kini muncul kembali, berdiri di ujung lorong dengan mata merah yang menyala.
“Cepat!” teriak Jonathan, mendorong mereka menuju pintu rahasia.
Mereka masuk ke dalam lorong sempit di balik pintu itu, menutupnya tepat sebelum wanita itu berhasil mencapai mereka. Dari balik pintu, mereka masih bisa mendengar suaranya, merintih dengan nada yang memilukan.
Mereka berdiri di sana, terengah-engah, di dalam kegelapan yang baru. Namun meskipun mereka telah lolos dari wanita itu, mereka tahu perjuangan mereka baru saja dimulai.
“Ke mana kita sekarang?” tanya Viktor, memecah keheningan.
“Ke bawah,” jawab Isabella sambil menyalakan lampu minyak. “Kita harus menemukan ujung lorong ini. Dan aku harap... itu membawa kita keluar.”
Namun jauh di dalam hatinya, Isabella tahu bahwa harapan itu mungkin hanya mimpi kosong. Kastil ini memiliki rencana sendiri untuk mereka, dan ia takut bahwa rencana itu tidak melibatkan kebebasan.