Alya, seorang sekretaris dengan kepribadian "ngegas" dan penuh percaya diri, melamar pekerjaan sebagai sekretaris pribadi di "Albert & Co.", perusahaan permata terbesar di kota. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan David Albert, CEO tampan namun dingin yang menyimpan luka masa lalu. Kehadiran Alya yang ceria dan konyol secara tak terduga mencairkan hati David, yang akhirnya jatuh cinta pada sekretarisnya yang unik dan penuh semangat. Kisah mereka berlanjut dari kantor hingga ke pelaminan, diwarnai oleh momen-momen lucu, romantis, dan dramatis, termasuk masa kehamilan Alya yang penuh kejutan.
[REVISI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaraaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Tes Kepribadian yang Tak Biasa
David menguji kemampuan analisis Alya melalui kotak tes kepribadian dan teka-teki sulit yang menggambarkan karakteristik unik Alya.
David tersenyum tipis, matanya menatap Alya dengan rasa ingin tahu. “Alya,” ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. “Saya ingin melakukan sesuatu yang sedikit berbeda hari ini.”
Alya, yang masih berdiri di depan meja besar David dengan sikap tegas namun santai, mengangkat alisnya penuh tanya. “Berbeda bagaimana, Pak?”
David menyandarkan diri ke kursinya, jari-jarinya mengetuk permukaan meja. “Sebuah tes kepribadian. Anggap saja ini semacam... eksperimen kecil untuk memahami Anda lebih dalam.”
Alya terkekeh ringan, meski ada sedikit keraguan di hatinya. “Tes kepribadian? Wah, saya tidak tahu ini bagian dari job desk sekretaris, Pak,” ujarnya dengan senyum menggoda.
David balas tersenyum. “Bukan bagian dari job desk, tapi ini penting untuk saya. Sebagai sekretaris pribadi, Anda harus siap menghadapi hal-hal yang tak terduga.”
Ia menggeser kotak kecil ke depan Alya. Kotak itu terbuat dari kayu jati, berukir halus dengan desain tradisional. “Silakan buka, Alya.”
Dengan hati-hati, Alya membuka kotak tersebut. Di dalamnya ada lima benda: boneka beruang kecil yang tampak usang, sebuah batu akik hijau tua, buku komik superhero, sendok makan yang bengkok, dan foto keluarga pudar.
Alya memandangi benda-benda itu satu per satu, sebelum akhirnya memegang boneka beruang kecil. “Saya pilih ini, Pak,” katanya dengan yakin, mengangkat boneka itu.
David mengangguk pelan, terlihat puas dengan jawabannya. “Kenapa memilih boneka itu?”
Alya tersenyum kecil, memutar boneka itu di tangannya. “Boneka ini mengingatkan saya pada masa kecil. Di mana saya belajar tentang kasih sayang, persahabatan, dan ketulusan. Meski usang, boneka ini pasti punya banyak cerita.”
David menatapnya lekat. “Ceritakan salah satu cerita itu.”
Alya tertawa kecil. “Baiklah. Anggap saja boneka ini adalah seorang superhero yang membantu anak-anak melawan mimpi buruk mereka setiap malam. Boneka ini tak pernah menyerah meskipun terkadang ia merasa lelah atau kehilangan semangat. Tapi ia tahu, setiap senyum anak-anak yang tertidur nyenyak adalah misinya.”
David terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Itu cerita yang menarik, Alya. Saya tak menduga Anda memiliki imajinasi yang begitu luas.”
Alya membalas dengan senyum malu-malu. “Kadang imajinasi membantu saya melewati hari yang sulit, Pak.”
David mengangguk, lalu menggeser kotak itu menjauh. “Sekarang kita lanjut ke tahap kedua.”
Alya kembali mengerutkan kening. “Tahap kedua?” tanyanya.
David mengeluarkan selembar kertas dari laci mejanya. “Ini adalah sebuah teka-teki kasus pembunuhan. Anda punya waktu sepuluh menit untuk menyelesaikannya.”
Alya mengambil kertas itu dan mulai membaca dengan saksama. Di kertas tersebut tertulis skenario rumit tentang sebuah pembunuhan di pesta mewah. Ada lima saksi, dan masing-masing memberikan kesaksian yang saling bertentangan.
“Ini seperti novel detektif, Pak,” gumam Alya sambil tersenyum kecil.
David terkekeh. “Anggap saja seperti itu. Tapi saya ingin melihat seberapa baik Anda menganalisis situasi dan menemukan jawaban.”
Alya duduk di kursi, tangannya sibuk menulis dan menggambar sketsa hubungan antar tokoh. Beberapa kali ia bergumam pelan, mengulang beberapa detail untuk memastikan ia tak melewatkan apa pun.
David memperhatikan dari tempatnya, matanya memancarkan rasa kagum yang tak ia tunjukkan secara langsung. Alya terlihat begitu fokus, dan cara kerjanya yang terorganisir membuat David semakin yakin bahwa ia telah memilih kandidat yang tepat.
Sembilan menit kemudian, Alya meletakkan pulpen di atas meja. “Selesai,” katanya dengan nada penuh percaya diri.
David mengambil kertas itu dan membacanya dengan seksama. Jawaban Alya tepat. Ia tidak hanya menemukan pelaku, tetapi juga memberikan penjelasan logis yang mendalam tentang motif dan kronologinya.
“Bagus sekali,” ujar David. “Analisis Anda tajam dan efisien. Saya terkesan.”
Alya tersenyum, lega sekaligus bangga. “Terima kasih, Pak. Saya hanya mencoba memanfaatkan logika dan sedikit intuisi.”
David menutup kertas itu dan meletakkannya di meja. “Alya, Anda memiliki bakat yang luar biasa. Imajinasi Anda kreatif, kemampuan analisis Anda tajam, dan yang paling penting, Anda memiliki kepercayaan diri yang tepat.”
Alya menatap David dengan mata berbinar. “Itu pujian yang besar, Pak. Saya benar-benar menghargainya.”
David berdiri, menyilangkan tangannya di depan dada. “Dan dengan itu, saya putuskan Anda diterima sebagai sekretaris pribadi saya.”
Alya terkejut sejenak, lalu senyum lebarnya tak bisa ditahan. “Terima kasih, Pak David! Saya berjanji akan memberikan yang terbaik.”
“Saya yakin Anda akan melakukannya,” kata David sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Selamat datang di Albert Group.”
Alya menjabat tangan David dengan semangat. “Saya tidak akan mengecewakan Anda, Pak.”
Ketika Alya keluar dari ruangan David, ia merasa seperti telah menaklukkan gunung yang tinggi. Tes yang diberikan David tidak hanya menguji kemampuannya tetapi juga menunjukkan bahwa ia diterima apa adanya—dengan keunikannya, baik dalam berpikir maupun bekerja.
Di lorong, Ibu Ratna melintas, menatap Alya yang tampak sumringah. “Alya, kamu terlihat sangat bahagia. Ada apa?”
Alya tersenyum. “Saya baru saja resmi diterima sebagai sekretaris pribadi Bapak Albert.”
Ibu Ratna mendengus kecil, tetapi ia tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. “Selamat, Alya. Tapi ingat, profesionalisme tetap nomor satu.”
Alya mengangguk. “Tentu, Bu. Terima kasih atas nasihatnya.”
Saat Ibu Ratna berlalu, Alya menatap sepatu kets warna-warni yang masih setia melekat di kakinya. Ia tahu, perjalanan di Albert Group baru saja dimulai. Tapi satu hal yang ia yakini—dengan sepatu kets atau tidak, ia akan selalu melangkah dengan penuh semangat dan keyakinan.