Apa hal tergila yang terjadi di hidup Jessica kecuali saat suaminya berselingkuh selama tiga tahun dengan istri Noel, sahabatnya sendiri. Sementara itu di saat dia menyandang status janda cantik berkarir cemerlang, ada beberapa kandidat yang bersedia menggantikan posisi mantan suaminya:
1. Liam, sahabat sekaligus pernah menjadi pacarnya saat kuliah selama dua tahun. Greenflag parah! Jessica belum ngomong aja dia udah paham saking pekanya!
2. Noel, sahabat yang jadi korban sama seperti Jessica. Istrinya diembat suami Jessica loh!! plusnya dia punya anak cantik dan menggemaskan bernama Olivia. Jessica ngefans berat sama nih bocil~♡
3. Ferro, pengusaha kaya raya, tajir melintir, suka sama Jessica dari pandangan pertama. Rela apa aja demi membuat senang Jessica, tentunya dengan uang, uang dan uaaaang ^^
4. Delon, cinta pertama Jessica di saat SMP. Dulu Jessica saat masih aura gerhana diputusin saat lagi bucin-bucinnya. Sekarang tuh cowok balik lagi setelah Jessica punya aura subuh!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Siapa Ayahnya?
Jessica menahan diri saat bertemu Alesha di parkiran mobil. Meskipun hatinya terbakar amarah, ia berusaha untuk tetap tenang. Jessica tahu bahwa Alesha telah menghancurkan rumah tangganya, tetapi ia tidak ingin membiarkan emosinya meledak di depan umum. Napasnya berat dan dadanya terasa sesak, namun ia memilih untuk tersenyum anggun. Semua ia lakukan demi menjaga harga dirinya agar tetap utuh.
“Apa kabar, Jess? Lama tidak bertemu,” sapa Alesha tanpa dosa sama sekali. Seolah tak pernah terjadi apapun antara dia dan mantan suaminya.
“Sangat baik,” jawab Jessica mengulas senyum.
“Kata Noel kamu sangat sibuk bekerja sekarang, ya,” ujarnya berbasa basi.
Jessica merasakan darahnya mendidih, tapi ia tetap mencoba bersikap sopan. "Ya, aku sibuk. Sangat sibuk. Ada yang bisa aku bantu, Alesha?"
Alesha tertawa kecil, seolah tidak menyadari ketegangan di antara mereka. "Oh, aku cuma kebetulan lewat dan melihatmu di sini. Aku pikir tidak ada salahnya menyapa."
"Kalau begitu, kamu sudah menyapa," jawab Jessica tajam. "Ada lagi?"
Alesha mengangkat alis, terkejut dengan nada dingin Jessica. "Jessica, kenapa kamu begitu dingin? Kita kan teman."
Jessica tak bisa lagi menahan diri. Matanya menatap tajam ke arah Alesha, penuh dengan rasa sakit dan kemarahan yang ia coba pendam selama ini.
Teman? Kamu menghancurkan rumah tangga saya, Alesha. Kamu merusak semua yang saya bangun. Jadi jangan datang dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Jessica terus berkata dalam hati.
Wajah Alesha sedikit berubah, tapi ia masih mencoba mempertahankan senyumannya. "Jessica?” panggilnya bingung.
“Ya?” jawab Jessica dingin. Ingin sekali semua kalimat dalam hatinya dikeluarkan. Tapi, mengingat saat ini Alesha benar-benar tidak tahu kalau Jessica sudah tahu kebusukannya. Jessica membiarkan Noel yang mengungkap semua.
“Kenapa melamun?” tanya Alesha bingung.
“Tidak apa-apa. Aku mau pulang kalau tidak ada hal lain lagi,” ujarnya.
“Oh iya, aku mau memberitahumu sesuatu,” kata Alesha dengan senyum lebar.
Jessica tidak menjawab, tapi dia terus menatap Alesha.
“Aku sekarang sedang hamil, Jess,” akunya dengan wajah berseri-seri.
Mata Jessica membesar, tak percaya dengan pengakuan Alesha. “Hamil?” ulangnya tanpa sadar.
Alesha mengangguk penuh semangat dengan wajah ceria. “Iya, aku hamil. Sudah tiga bulan. Sebentar lagi Olivia akan memiliki adik,” cecarnya.
Jessica merasa dunianya berguncang. "Dan... dan ayahnya?"
Alesha mengangkat bahu dengan ekspresi bingung karena pertanyaan Jessica. "Tentu saja Noel. Memangnya siapa lagi?”
Jessica melihat wajah Alesha yang begitu innocent, membuat tangannya gemetar dan perutnya mendadak sangat mual. “Itu … itu anak Noel?” tanyanya meyakinkan.
Alesha mengangguk. “Iya, Jess. Kenapa pertanyaanmu begitu aneh?” herannya.
Jessica tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap Alesha dengan campuran kengerian dan kebingungan. Dia sama sekali tidak percaya kalau itu adalah anaknya Noel. Bisa jadi janin dalam rahim Alesha adalah anaknya Deon.
"Kenapa kamu memberitahuku ini sekarang?" tanya Jessica.
“Kupikir kamu harus tahu kabar bahagia ini.”
Bahagia? Kamu bercanda? Ini membuatku ingin muntah karena merasa jijik!
“Kapan-kapan aku akan mengundangmu makan malam di rumah. Olivia pasti sangat senang,” kata Alesha kemudian.
Jessica hanya tersenyum pahit tanpa menjawab. Ia pamit untuk pulang dan berjalan menuju mobilnya.
Jessica pergi meninggalkan Alesha. Ia masih terkejut dan bingung di dalam mobilnya. Dunia Jessica berubah sekali lagi, dan ia harus menemukan cara untuk bertahan dari kenyataan baru ini.
***
Jessica sudah tiba di rumah. Buru-buru dia masuk ke dalam sambil memegang perutnya yang sedari tadi mual. Ketika sampai di wastafel dia langsung memuntahkan segala isi yang ada dalam lambungnya.
“Hoek!! hoek!!” Jessica terus muntah dan membayangkan begitu menjijikkannya Deon dan Alesha.
Membayangkan bagaimana mereka berdua begitu menikmati momen saat saling bersentuhan fisik di kamar hotel. Saling bertukar air liur setiap berjumpa.
“Hoek!!” Lagi, Jessica muntah untuk ke sekian kalinya.
Sepuluh menit Jessica habiskan di wastafel, ia menarik tisu dan mengeringkan sekitar mulutnya yang basah.
Ia berjalan menuju sofa dimana ia letakkan tasnya tadi. Dirogohnya HP dan langsung mencari kontak Liam. Ia harus bertanya pada Liam untuk memastikan apakah Noel tahu istrinya hamil atau tidak.
“Halo, Jess? Ada apa nelpon jam segini? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Liam sedikit panik.
“Aku mau bicara,” kata Jessica.
“Suaramu terdengar lemas, Jess. Are you okay?”
“Aku tidak baik-baik saja,” aku Jessica.
“Kamu dimana sekarang? Aku akan ke tempatmu sekarang!” kata Liam.
“Aku di rumah.”
“Baik. Tunggu aku ke sana sekarang!” ujar lelaki itu lalu menutup telpon.
Jessica mengurungkan niatnya untuk memberitahu Liam lewat telpon. Ia membiarkan lelaki itu datang ke rumahnya dan bicara langsung kepadanya.
***
Liam sekarang sudah ada di rumah Jessica. Lelaki itu mengebut di jalan karena panik ada hal yang tidak diinginkan terjadi ke Jessica, mengingat bagaimana nada suara perempuan itu terdengar lirih dan sedih.
“Jess,” sapa Liam setelah Jessica membuka pintu rumahnya.
Liam melihat Jessica yang belum menghapus riasannya. Perempuan itu juga tidak memakai baju tidur. Liam ingat kalau malam ini Jessica ada janji bertemu dengan seseorang.
“Masuk, Liam.”
Liam masuk ke dalam dan Jessica menutup pintu. Ia mengikuti Jessica yang duduk di sofa ruang TV.
“Kamu kenapa?” tanya Liam memindai wajah Jessica.
Jessica sudah duduk di sofa dengan wajah lesu. “Tadi … aku bertemu dengan Alesha,” ujarnya tanpa basa basi.
Mendengar nama Alesha, Liam menjadi sangat terkejut. Dia bisa menebak apa yang terjadi pada Jessica sekarang. Tapi, dia bersikap pura-pura tidak tahu apapun sebelum Jessica menceritakan semuanya.
“Alesha? Dia sama Noel?” tanya Liam hati-hati.
Jessica menggeleng. “Sepertinya dia sendirian. Entah dia darimana atau mau kemana. Aku tidak bertanya karena memang itu tidak penting,” ujarnya.
Liam mengangguk paham. “Lalu? Kalian bicara?”
“Ya.”
Liam semakin tidak enak hati. Terlebih raut wajah Jessica semakin murung.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Liam.
“Alesha … katanya dia sedang hamil tiga bulan,” jawab Jessica lirih.
Tepat sekali dugaan Liam. Dia tidak bisa terkejut berlebihan karena sudah tahu dari Noel tentang kehamilan istrinya.
Alih-alih merespon dengan jawaban, Liam memilih untuk diam saja dan memegang tangan Jessica.
“Kenapa ya?” tanya Jessica bingung. Matanya mulai berkaca-kaca sambil menatap Liam.
“Kenapa dia harus hamil di saat sekarang? Apa itu alasan Noel tidak menceraikannya? Pantas saja tadi siang Noel bilang kalau dia akan menceraikan Alesha setelah delapan atau sembilan bulan. Apa karena menunggu anak itu lahir lalu mencari tahu siapa ayah dari bayi yang dilahirkan Alesha?” cecar Jessica dengan tepat.
Liam tidak bisa menjawab karena memang yang dikatakan Alesha adalah kalimat yang sama diutarakan oleh Noel.
“Liam,” panggil Jessica yang air matanya mulai turun.
“Iya, Jess?” jawab Liam lembut sambil menyeka air mata di pipi Jessica dengan ujung jarinya.
“Kenapa harus serumit ini?”
“Jess, aku tidak tahu harus bicara apa … yang pasti aku juga sangat sedih karena kamu harus melewati semua ini,” ungkap Liam dengan tulus.
Jessica menunduk, air matanya semakin mengalir. "Aku merasa begitu terluka, Liam.”
Liam meraih tangan Jessica, menggenggamnya erat. "Jess, kamu tidak sendirian. Aku ada di sini untukmu. Kita akan melewati ini bersama."
Jessica menatap Liam, merasa sedikit tenang dengan kehadirannya. "Terima kasih, Liam. Aku benar-benar butuh teman saat ini."
Liam tersenyum hangat. “Kamu ingin apa sekarang?” tanya lelaki itu.
“Aku … ingin minum,” jawab Jessica dengan mata yang masih basah.
“Minum?”
“Ya … ajak aku ke bar malam ini. Temani aku. Jaga aku,” pinta Jessica.
Liam mengangguk. Ia setuju untuk menemani Jessica daripada perempuan itu sendirian, karena Liam tahu bagaimana tingkah Jessica ketika dipengaruhi alkohol.
***