Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Nasehat Sari
Tinggal menunggu hari menjelang lahiran bayinya. Ajeng pun sudah mengambil cuti tiga bulanan dari bank tempatnya mengabdi.
Suara ponsel mengejutkannya yang sedang berjalan mengitari sekeliling rumah. Ia sudah tidak berani berjalan sekeliling kompleks. Setelah menyiapkan sarapan Bisma, yang kebetulan menyempatkan diri pulang ke rumah ia segera ke halaman depan.
"Dimas ..." ia terkejut melihat panggilan adiknya dari kampung.
"Mbak, bapak .... " suara Dimas terdengar parau.
"Bapak kenapa?" perasaan Ajeng mulai tidak nyaman.
"Mbak pulang sekarang!" isak Dimas mulai terdengar.
Ajeng sudah tidak karuan perasaannya mendengar tangisan Dimas. Tanpa berpikir panjang ia melangkah kembali ke rumah, langsung mengetuk ruang kerja Bisma.
"Mas ... " suaranya semakin tercekat sambil menggedor pintu ruang kerja Bisma.
Bisma yang masih menghadap laptop terkejut mendengar ketukan di pintu dan suara Ajeng yang terdengar lemah. Dengan cepat ia membuka pintu kamar. Tampak wajah Ajeng pucat dengan bibir bergetar.
"Ada apa?" Bisma bertanya datar.
"Bapak. Aku ingin pulang sekarang," suara tangis Ajeng langsung pecah.
"Mbak .... " panggilan Dimas masih terdengar di telinga Bisma.
Dengan cepat ia meraih ponsel Ajeng dan berbicara dengan adik iparnya yang kini mulai menangis.
Akhirnya Bisma ikut mengantar Ajeng kembali ke kampung halamannya di Kediri. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mertuanya meninggal tanpa Bisma dan Ajeng dapat bertemu dengannya.
Menurut cerita Dimas, bapaknya hanya mengeluh dadanya yang terasa sakit. Dan ditemukan dalam keadaan salat Zuhur di kamar. Saat dipanggil lek Yati untuk makan siang, beliau tidak menjawab. Saat Dimas menuju kamar, bapak sudah terbujur kaku.
Terpaksa Bisma mengajukan izin tiga hari ke tempat tugasnya untuk mendampingi Ajeng yang kelihatan sangat terpukul. Bapaklah satu-satunya orang yang membuat ia bertahan dan kuat. Kini tiada sandaran baginya untuk mengadukan segala keluhan.
Dapat ia lihat, walau pun Bisma berada di sisinya, tapi ponsellah yang menjadi perhatian utamanya. Ajeng berusaha menutupi permasalahan dalam rumah tangganya dari semua keluarga bapak yang datang untuk turut berbela sungkawa.
Sudah tujuh hari kepergian bapak, Ajeng pun sudah kembali ke Surabaya. Ia menitipkan Dimas pada lek Yati. Jika Dimas sudah tamat SMP, ia ingin Dimas mengikutinya pindah ke kota.
Sore ini ia meminta pak Santo supirnya berhenti di sebuah taman terbuka. Ia barusan dari rumah mertuanya. Banyak belanjaan yang telah dipersiapkan Mayang dan Nurita untuk menyambut calon keluarga baru mereka.
Dengan perasaan sedih Ajeng berjalan menuju kursi taman. Setelah sampai ia mulai menghenyakkan tubuhnya secara perlahan. Perasaannya sangat sedih. Di saat-saat seperti ini, ia sangat membutuhkan perhatian sang suami.
Matanya mengabur melihat banyak pasangan yang berjalan-jalan menikmati matahari di senja temaram itu. Pandangannya nanar melihat sepasang suami istri dengan anak kecil yang tertawa riang berjalan ke sana kemari.
Ia tidak menyangka kehidupan seperti ini yang ia jalani setelah menikah. Bukan inginnya. Tapi takdir telah membawanya dalam situasi kehidupan pernikahan yang begitu rumit.
“Ajeng .... “ sebuah suara lembut menyapanya.
Spontan Ajeng mengusap air mata yang tanpa kompromi mengalir tak terbendung. Ia langsung mencari sumber suara.
Tatapan matanya memandang seorang perempuan muda yang berjalan membawa seorang anak laki-laki sekitaran 10 tahun.
“Kamu tidak mengingatku?” kembali perempuan ramah itu menegurnya dan langsung duduk di sampingnya.
“Maaf .... “ Ajeng merasa tidak enak hati.
Saking banyaknya nasabah yang ia temui setiap hari, membuatnya lupa dengan orang yang jarang berinteraksi dengannya.
“Aku Sariyem teman SMP mu di kampung,” ujarnya dengan senyum teduh.
“Masya Allah Sari, sudah belasan tahun kita tidak bertemu,” Ajeng menyambut uluran tangan teman SMP nya dengan perasaan hangat, “Putramu?”
Sari menggangguk dengan perasaan bangga.
“Azka .... “ dengan lembut ia memanggil putranya yang asyik memandang beberapa anak yang bermain bola.
“Bagaimana kabarmu?” Ajeng dapat melihat kesederhanaan dari sahabat SMP nya yang cukup dekat kala itu.
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri udah berapa bulan?” Sari menatapnya antusias.
Ajeng membelai perutnya dengan perasaan tak menentu, “Tinggal menunggu waktu debay nya keluar ini .... “ ia berusaha menampilkan senyum terbaiknya.
“Kok sendirian aja, mana suamimu?” Sari tak bisa menutupi rasa penasaran karena melihat Ajeng sendiri.
Sementara para bumil lain tampak begitu mesra dengan pasangan mereka yang begitu perhatian.
Melihat Ajeng yang tak menjawab membuat Sari merasa ada hal yang sengaja sahabatnya itu tutupi darinya. Ia pun melihat raut mendung yang tersirat dari mata Ajeng saat menatapnya.
“Kalau ada masalah, jangan terlalu bawa perasaan. Kasian debaynya,” Sari mencoba mencairkan suasana yang beku diantara mereka, "Aku juga turut berduka cita atas kepergian pak dhe. Beliau sangat baik."
"Terima kasih Sar. Bapak sudah tenang di alam sana," kembali mata Ajeng mengabur mengingat almarhum bapak yang telah pergi menghadap ilahi.
Ajeng masih terdiam. Ia tau, tidak mungkin dipertemuan pertama ini mereka langsung saling curhat. Apalagi permasalah rumah tangga, yang artinya membuka aib sendiri. Dan mereka bukan lagi remaja tanggung yang suka berbagi segalanya. Zaman berubah, setiap orang pun pasti berubah.
“Suamiku seorang pengasuh pondok pesantren. Aku sekarang hidup berpoligami dengan istri tua beliau,” tanpa ditanya Ajeng, Sari langsung menceritakan kondisi rumah tangganya.
“Maafkan aku,” Ajeng merasa tidak enak hati mendengar suara Sari yang terdengar lirih.
Akhirnya mengalirlah cerita Sari tentang kehidupan rumah tangganya. Ia menikah dengan seorang ustadz di pondok pesantren. Setamatnya SMA ia tidak melanjutkan kuliah karena ketiadaan biaya.
Selama menganggur, ia diajak bu de Wati kakak ayahnya untuk membantu di salah satu ponpes yang ada di Kediri. Hingga sang ustadz yang belum memiliki keturunan atas persetujuan istri tuanya meminang Sari untuk menjadi madunya.
Tidak ingin berhutang budi pada bu de Wati, yang sudah menyekolahkannya selama ini, apalagi kedua orang tuanya telah tiada tanpa ada saudara kandung, akhirnya Sari menerima pinangan ustadz Zakri.
“Kamu bahagia?” rasa penasaran hinggap di pikiran Ajeng melihat Sari yang selalu mengulas senyum di bibirnya.
“Bahagia itu bisa kita ciptakan sendiri,” Sari berkata dengan bijak, “Tidak pernah terbayang atau terbersit keinginanku untuk hidup bermadu. Tapi Allah berkehendak lain.”
“Bagaimana dengan keluarga mertuamu serta madumu?” rasa penasaran Ajeng semakin tinggi, sehingga melupakan kesedihan yang menggantung di benaknya.
“Alhamdulillah, semuanya sangat baik. Mereka mendukungku dan menyayangi Azka. Pak ustadz juga memberiku modal untuk usaha.”
Tampak suka cita di wajah Sari saat menceritakan keluarga besarnya. Aura positif yang dibawa Sari akhirnya menular juga pada Ajeng. Wajahnya yang mendung saat memasuki taman, kini mulai berseri.
“Aku gak tau permasalahanmu. Tapi aku yakin, kamu pasti tau cara untuk membahagiakan diri sendiri, walau tanpa harus keluar dari jalan syar’i .... “
“Ya bu ustadzah .... “ senyum manis kini terbit di wajah Ajeng mendengar ucapan Sari yang banyak memberikan nilai-nilai positif dalam hidupnya.
“Apa kegiatanmu sekarang?” melihat wajah Ajeng yang mulai cerah membuat Sari penasaran dengan kehidupan temannya.
Dari penampilan fisik yang ia lihat, tampak bahwa cara berpakaian dan semua yang melekat di tubuh Ajeng adalah barang branded semua
“Seperti yang kau lihat,” Ajeng berkata perlahan.
“Aku yakin, suamimu seorang pejabat atau seorang pengusaha. Dan kamu wanita karier yang mapan, sesuai dengan cita-citamu waktu kita di bangku sekolah dulu.”
“Kamu selalu benar dalam menganalisa sesuatu,” puji Ajeng seketika, “Bagaimana kalau kita bekerja sama membuka usaha?”
“Hm .... “ senyum tipis terbit di bibir Sari, “Dasar otakmu dari dulu bisnis aja.”
“Hanya itu satu-satunya hal yang membuatku bahagia. Mengumpulkan uang yang banyak.”
“Bagaimana suamimu?” Sari akhirnya menanyakan keberadaan suami Ajeng. Ia tak bisa menahan penasaran lebih lama.
“Ia tugas di Jakarta seorang abdi negara,” Ajeng menjawab dengan lirih.
“Pantas aja tuh wajah kusut kayak setrikaan. Hilang cantiknya. Ternyata LDR tho .... “ Sari tersenyum begitu menyadari tentang kondisi rumah tangga sobatnya, “Yang sabar ya dek. Nanti pasti ayah datang juga.”
“Terima kasih Sar. Bertemu denganmu telah membuka pemikiranku,” Ajeng berkata dengan tulus.
“Kayak orang lain aja. Kita itu dari dulu udah besti. Kalau ada apa-apa yang ingin dibicarakan, atau sekedar bernostalgia hubungi aja nomorku. Nanti main ke pondok. Tak kenalin dengan suamiku dan keluarga besar kami.”
Keduanya saling bertukar nomor ponsel. Ajeng seperti mendapat spirit baru. Dari penampilan bersahaja temannya yang paling sederhana waktu SMP membuatnya memilki kekuatan untuk manapaki hari.
Bisma masih mengikuti rapat dinas dengan pejabat DKI di kantor Gubernur. Tatapan matanya tertuju pada seorang perempuan yang berpakaian tertutup. Yang menjadi moderator selama diskusi terjadi.
Ponselnya berdering tanpa henti. Dengan cepat Bisma menon-aktifkan, karena mengganggu diskusi yang tampak alot.
Begitu ada jeda waktu break, ia berjalan dengan cepat keluar. Nada panggilan berhenti hanya pesan gambar.
Matanya terpukau melihat bayi mungil tergambar dengan emot love yang dikirim Mayang.
“Permisi pak Bisma, anda di panggil karena rapat akan dimulai kembali,” perempuan yang tadi sempat mencuri perhatiannya kini berada tepat di hadapannya dan memintanya untuk mengikuti rapat kembali.
Tanpa membalas pesan gambar Mayang, Bisma memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Ia mengikuti langkah gemulai perempuan yang ia ketahui bernama Deby untuk kembali ke ruang rapat..
Aroma parfum lembut Deby begitu memanjakan indera penciumannya. Bisma berusaha mengalihkan pikirannya dari Deby yang juga mulai mencuri-curi pandang padanya.
***Hayoo mulai main hati .... ***