Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 13
Bu Patmi sangat kesal dengan ucapan ucapan pedas Ningsih yang sudah merendahkan harga dirinya dan juga harga diri Wandi. Sedangkan anak anaknya yang lain tidak ada yang ikut berkomentar, mereka memilih cuek dan tak terlalu ingin ikut campur. Ikut datang karena memang dipaksa sama Bu Patmi.
"Jaga bicaramu, Ningsih. Aku membenarkan sikap anakku jika dia lebih memilih perempuan lain. Kamu memang tidak pantas untuk dijadikan istri, selain kasar kamu juga sombong." Maki Bu Patmi, sambil melotot kesal ke arah Ningsih.
"Lagian yang ngurus surat cerai juga aku, berarti yang benar benar ingin pisah itu aku. Aku juga sudah lelah menghadapi sikap semena mena anak ibu, sudah tidak bertanggung jawab, suka merendahkan dan main tangan. Alhamdulillah, pisah dan jadi janda jauh lebih baik untuk kewarasan jiwaku." Balas Ningsih tak kalah pedas.
"Jadi janda kok bangga, dasar perempuan murahan. Bilang saja kalau kamu senang agar bisa seenaknya menjalin hubungan dengan banyak pria. Gatal dan sok kecantikan, menjijikkan!" Timpal Wandi dengan wajah merah padam, sedari tadi mendengar ucapan Ningsih darahnya sudah mendidih, meskipun apa yang dikatakan Ningsih sebuah kebenaran.
"Terserah kamu sajalah, mau bicara apa juga aku gak perduli. Lagian kita sudah gak ada hubungan apapun, jadi berhentilah mengurusi urusanku, paham?" Balas Ningsih dengan senyum kecut.
"Kami kesini mau membawa Salwa, panggilkan dia. Aku yakin, anakku pasti mau ikut denganku. Karena hidupnya akan jauh lebih baik bersamaku, dari pada disini, bisa bisa anakku mati kelaparan." Sambung Wandi yang sengaja mengalihkan obrolan, telinganya sudah panas karena terus direndahkan oleh Ningsih.
"Dan aku tidak akan biarkan anakku ikut dengan orang sepertimu, egois dan tidak punya tanggung jawab." Sentak Ningsih yang sedikitpun tidak gentar menghadapi Wandi dan keluarganya.
"Jangan banyak omong kamu, panggil Salwa. Biar dia yang menentukan akan ikut denganku atau kamu yang miskin." Wandi sudah benar benar tidak tahan dan kehabisan kalimat untuk melawan semua ucapan Ningsih yang menusuk jantungnya.
"Rin, panggil Salwa. Kita lihat siapa yang lebih dipilih olehnya." Ningsih mengalihkan pandangannya pada Rina, dan Tania banyak bicara Rina langsung beranjak untuk memanggil Salwa di kamarnya.
"Salwa, sini sayang. Ayah kangen, dan Salim dulu sama nenek dan yang lain." Sambut Wandi saat melihat kedatangan Salwa. Dengan langkah berat, Salwa menyalami satu persatu keluarga ayahnya dengan takzim, lalu memilih duduk dipangkuan sang ibu dengan manja.
"Salwa sehat nak?
Mau gak kalau Salwa ikut kerumah nenek dan sekolah disana?
Temannya disana banyak loh, dan bisa main ke sungai yang airnya jernih. Mau ya, sayang?" Rayu Bu Patmi dengan sangat antusias.
"Salwa kalau mau tinggal dirumah nenek, nanti ayah belikan sepeda baru. Dan juga akan ayah buatkan kamar yang bagus kusus untuk Salwa. Salwa ikut ayah ya, nanti biar nenek yang jagain Salwa kalau ayah lagi pergi kerja." Bujuk Wandi yang tak mau kalah dengan ibunya. Ningsih memilih diam, meskipun dalam hatinya geram juga cemas.
"Salwa mau sama mama saja, Salwa senang tinggal disini. Nenek Yati baik dan juga sayang sama Salwa, Tante Rina juga sayang banget sama Salwa. Salwa mau ikut sama mama sampai nanti." Sahut Salwa polos dan apa adanya. Meskipun masih kecil, tapi Salwa sudah bisa merasakan dan tau mana yang benar benar tulus menyayanginya dan mana yang hanya pura pura saja.
"Kamu sudah dengarkan, mas?
Jadi tolong, jangan maksa maksa lagi." Sambung Ningsih sambil mencium sayang rambut Salwa.
Bu Patmi tak lagi bersuara, wajahnya langsung masam menatap Salwa tak suka. Dan terdengar bunyi ponsel berdering, terlihat Boni salah tingkah saat menatap layar ponselnya, matanya langsung mengarah ke arah Wandi.
"Ada apa, kenapa kamu menatapku seperti itu?" Wandi langsung menegur adiknya yang langsung memberikan ponselnya pada Wandi.
"Ini, mbak Irma telepon." Sahut Boni yang langsung menyodorkan ponsel ke arah kakaknya.
"Oh, em iya. Aku mau angkat telpon dulu, permisi." Wandi langsung salah tingkah, karena sempat bilang kalau dia sudah cerai dari Irma demi membuat Ningsih mau kembali sama dirinya. Tapi nyatanya, sedikitpun Ningsih tidak Sudi untuk menerima Wandi.
"Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan, saya mau permisi. Dan lebih baik kalian urus istri barunya mas Wandi yang sedang hamil, kasihan. Sudah capek capek merebut suami orang, giliran sudah dapat di abaikan." Ningsih tersenyum miring sambil menatap tajam pada keluarganya Wandi yang langsung salah tingkah.
"Dan satu lagi, aku tidak bodoh. Jadi jangan pernah membohongiku, bilang sudah cerai tapi masih tinggal satu kontrakan dan sekarang sudah hamil lagi, hubungan apa yang mereka jalani. Zina kok terus menerus, apa tidak takut dosa?" Sambung Ningsih yang langsung pergi masuk ke dalam kamarnya bersama Salwa. Terdengar Bu Patmi mengomel tak suka mendengar ucapan Ningsih.
"Jangan marah marah, Bu Patmi. Lebih baik ajari anak ibu agar tidak semakin terjerumus dalam lubang dosa. Menikah itu punya hukumnya sendiri, tidak asal cerai lalu kembali gumbul lagi tanpa menikah ulang. Awas jatuhnya zina, dan itu dosa besar." Sahut Bu Yati yang tidak terima jika Ningsih di maki oleh mantan besannya itu.
"Sok suci dan sok tau, anak sama ibu kok sama aja kelakuannya. Ayo kita pergi, lama lama bisa Jena stroke kalau disini terus." Sungut Bu Patmi yang sudah tidak tahan dengan sikap tak ramah Bu Yati dan anak anaknya. Tanpa mengucapkan kata pamit, Bu Patmi keluar begitu saja dan diikuti oleh anak anaknya. Melihat kelakuan keluarga mantan besannya, Bu Yati hanya bisa mengelus dadanya sambil beristighfar berkali kali.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Dendam terpendam seorang istri
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tamat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
gabung bcm yu
..
follow me ya thx