Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lanjut Part 2
***
Setelah membahas perihal aku yang siap jadi ibu asi untuk Alin, tapi aku lupa membahas sesuatu yang jauh lebih penting.
"Eh, Mas, terus kita tidurnya gimana?"
Mas Yaksa menatapku datar lalu menyandarkan tubuhnya pada badan sofa. "Apanya yang gimana? Tinggal merem kan kalau tidur?"
Sehari belum genap dinikahi Mas Yaksa sepertinya aku mengalami banyak culture shock. Dia tidak sependiam yang atau sekalem yang selama ini aku kenal. Dan poin yang lebih membuatku culture shock lagi, ternyata dia semenyebalkan ini. Perasaan dulu baik banget cuma bawaannya bikin segan. Tapi setelah menikah, pembawaannya lebih ke licik dan tidak seolah mau kalah. Pokoknya sangat menyebalkan.
"Bukan itu maksud aku, Mas."
"Terus?"
Aku memicingkan kedua mataku curiga, saat merasakan sudut bibirnya terlihat seperti bergetar. Seperti orang yang sedang berusaha menahan diri agar tidak tertawa.
"Mas Yaksa lagi isengin aku ya?"
"Kok su'udzon?" balasnya tidak terima.
"Ya itu, bibirnya kayak orang lagi nahan ketawa."
"Kamu lagi ngambek ya?"
Karena kesal, aku langsung memukulnya menggunakan bantal sofa. Mas Yaksa langsung terkekeh, tidak terbahak.
"Udah berani?"
Wajahku seketika langsung pias. Buru-buru aku meminta maaf dan mengaku kalau aku tidak bermaksud untuk demikian.
"Padahal nggak papa loh," balasnya membuatku mengerutkan dahi heran.
Mas Yaksa kemudian menegakkan tubuhnya. "Untuk malam ini Mas kasih kebebasan buat kamu, tapi enggak buat besok dan seterusnya."
"Maksudnya?"
"Malam ini terserah kamu, kalau kamu mau kita bisa langsung tidur satu kamar, tapi kalau kamu keberatan, kita bisa memulainya besok."
Aku diam sebentar lalu melirik Mas Yaksa ragu-ragu. "Apa nggak sebaiknya aku tidur berdua doang sama Alin, Mas?"
"Ngarang! Enggak ada, kamu bisa tidur sendirian hanya malam ini, seterusnya kamu tidur sama Mas."
"Terus Alin?"
"Alin punya tempat tidur sendiri, Geya. Dia punya ranjang box bayi di kamar kita, Mas beli itu mahal, masa iya dia harus tidur di tengah-tengah kita sementara box bayi-nya kita anggurin."
Kan, nyebelin.
"Jadi kita tidur seranjang?"
"Kita suami-istri, Geya, sudah sewajarnya demikian."
"Tapi Mas Yaksa janji kalau Mas Yaksa nggak mau 'sentuh' aku."
"Geya, kita cuma tidur seranjang. Seranjang berdua tidak lantas akan membuat Mas langsung melakukan 'itu'. Kamu paham?"
"Enggak ada jaminan."
Mas Yaksa terlihat frustasi, ia mengusap wajah. "Astagfirullah, Geya. Pengendalian diri Mas nggak serendah itu, asal kamu tahu. Mas tadi udah bilang kan kalau melakukan 'itu' harus atas dasar mau sama-sama mau, kalau kamu nggak mau ya jelas Mas nggak akan ngelakuin itu, meski kita halal melakukannya."
Aku tidak berani membalas dan hanya berani menundukkan kepalaku saja. Soalnya Mas Yaksa kalau mode begini itu menyeramkan.
"Oke, malam ini kamu bisa tidur sendiri. Untuk besok kita tidur bersama."
Aku tidak membalas dan hanya menganggukkan kepala.
***
Mengawali pagi sebagai suami Mas Yaksa aku memutuskan untuk memasak. Meski sebenarnya sisa makanan yang kami bawa kemarin masih ada, tapi rasanya terlalu berat kalau harus aku jadikan sebagai sarapan pagi. Maka dari itu aku memutuskan untuk membuat sarapan sejuta umat yang tidak akan membuat orang bosan, katanya sih. Soalnya kalau aku jujur kadang bosan juga kalau harus makan nasi goreng tiap hari.
Habis menunaikan sholat subuh aku langsung turun ke bawah dan mengecek nasi yang ada di rice cooker. Untuk berjaga-jaga kalau malamnya lapar aku memang langsung memasak nasi begitu sampai, selain itu sekalian buat sarapan hari ini.
Tidak butuh waktu lama, nasi goreng dan telur ceplok buatanku jadi. Setelah selesai, aku memutuskan untuk mandi, biar nanti kalau sarapan udah seger.
Selesai mandi niatku ingin membangunkan Mas Yaksa, tapi saat aku baru mengetuk pintu kamar ternyata dia sudah ada di belakangku dengan keringat yang membasahi badannya. Karena sedikit kaget, aku melongo tanpa sadar.
"Ngapain?" tanya Mas Yaksa.
Lamunanku seketika langsung buyar. Aku menggeleng cepat tak lama setelahnya. "Eng...enggak kok, nggak papa, Mas."
"Nggak papa kenapa ketuk pintu kamar?"
Aku meringis lalu menepuk jidatku. "Oh iya, lupa. Mau ngajakin sarapan, Mas. Iya, mau ngajakin sarapan."
Mas Yaksa menatapku ragu-ragu. "Sama yang kemarin?"
Aku menggeleng cepat. "Enggak kok, aku bikin nasi goreng."
Mas Yaksa mengangguk paham. "Kalau gitu Mas mau mandi dulu, kamu bisa turun duluan ke bawah, nanti Mas nyusul."
"Iya, Mas," balasku seadanya lalu berlari kecil meninggalkan dirinya. Samar-samar aku dapat melihat kerutan heran di dahinya.
Aku tidak peduli. Karena aku harus segera turun ke lantai bawah agak pikiranku tidak kacau. Astagfirullah, sejak kapan sih Mas Yaksa hobi olahraga pagi-pagi. Perasaan kemarin waktu aku nginep di dini enggak deh.
Biar nggak gabut nungguin Mas Yaksa, aku memutuskan untuk menyalakan televisi. Soalnya lumayan kalau pagi kan tontonan kartun banyak pilihan.
"Katanya ngajak sarapan kok malah nonton acara kesukaan Javas?"
Aku langsung menoleh dan menemukan Mas Yaksa sudah tampak segar dan cerah karena habis mandi. Aroma mint mentol menguar kuat dari tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, bahkan kaosnya pun terlihat sedikit basah pada beberapa bagian.
"Kan nungguin Mas Yaksa," balasku langsung berdiri sambil mematikan televisi.
"Hari ini ini jadi?"
"Apanya?" aku balik bertanya.
"Jemput anak-anak."
"Konsultasi ke dokter dulu aja nggak sih, Mas? Mumpung sekarang mereka masih sama Mama," saranku. Kami berjalan beriringan menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan.
"Kamu udah siap?"
Aku mengangkat kedua bahu secara bersamaan. "Siap nggak siap sih, tapi kalau nunggu aku siap kayaknya juga nggak akan pernah siap, Mas."
Mas Yaksa manggut-manggut paham sambil menarik salah satu kursi. Sedangkan aku langsung mengambil alih piring untuk mengambilkan nasi goreng untuk Mas Yaksa.
"Segini cukup?"
"Kamu pelit banget?"
"Ya kan nanya, Mas, aku nggak tahu selera kamu seberapa. Kalau kurang ya tinggal jawab kurang, kenapa malah ngatain aku pelit?" balasku tidak terima.
Karena kesal aku kemudian mengambil satu entong nasi penuh untuknya. "Masih kurang?" tanyaku agak sinis.
"Astagfirullah, Geya, itu kebanyakan. Kamu sebenernya ikhlas nggak sih ngambilin buat Mas? Kalau enggak, ya udah, Mas bisa ambil sendiri."
Aku langsung merengut sinis. "Ya abis Mas Yaksa nyebelin abis, udah dilayani baik-baik malah ngatain aku pelit."
"Ya kan Mas juga cuma nanya, Geya. Kamu aja yang dikit-dikit ngegas. Baru tahu Mas kalau itu emosian."
"Aku juga baru tahu tuh kalau Mas Yaksa nyebelin banget sumpah, padahal selama ini keliatan baik dan kalem banget. Dih, aslinya, bikin astagfirullah."
Bukannya membalas gerutuan kesalku, Mas Yaksa malah terkekeh. Ia tidak membalas dan memilih sibuk dengan nasi goreng buatanku.
"Btw lagi, Mas juga baru tahu kalau ternyata kamu bisa masak."
Aku yang tadinya hendak menyendok nasi mendadak urung. Maksudnya ini, dia secara nggak langsung ngira kalau aku selama ini nggak bisa masak gitu kan?
To be continue,