Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 5 ~
Selepas mandi, aku menghabiskan waktu di kamar dengan Lala sambil menunggu adzan maghrib. Dengan cermat aku mendengarkan cerita Lala mengenai kegiatannya seharian ini di playgroup. Lala juga memperlihatkan tas warna ungu dengan karakter kuda poni pemberian tantenya.
Tas yang mewah menurutku.
Kami menghentikan obrolan tepat ketika mendengar suara adzan maghrib berkumandang.
Mengambil air wudhu, aku melaksanakan sholat bersama putriku. Aku memang mengajarkan sholat pada Lala sejak dia berumur tiga tahun. Meskipun hanya mengikuti gerakannya saja, tapi itu cukup membuatku terkesan dan bangga. Sebab anak seusia Lala sudah mau sholat walau belum bisa melafaskan bacaannya.
Selepas sholat, aku turun ke bawah berniat memasak untuk makan malam.
Langkahku langsung tertuju ke dapur. Di sana, ku lihat sudah ada racikan sayur yang sudah di cuci dan siap untuk di olah.
Sudah pasti mas Bima yang melakukannya. Sementara aku hanya tinggal mengolahnya saja. Ada sayur kangkung yang nanti akan ku oseng dengan telur puyuh, stik sapi yang sudah di bumbui, aku hanya tinggal menggorengnya saja, ada juga tahu yang sudah di isi dengan cincangan daging untuk di goreng.
"Bunda, Lala ke ayah ya"
"Iya sayang"
Gadis kecil itu langsung berlari.
"Jangan lari nak!"
"Lari dikit aja bun"
Aku menggelengkan kepala.
Siapa yang mampu berpisah dengan anak gadis selucu dan sepintar dia. Kalau aku jelas tidak sanggup.
Tepat pukul 18:50, semua sudah tersaji di meja makan. Itu artinya aku hanya menghabiskan waktu empat puluh lima menit saja untuk menyelesaikan masakanku, mas Bima juga sudah memasak nasi di rice cooker.
Aku melangkah, hendak memanggil mas Bima dan Lala di kamarnya.
Ku ketuk pintunya yang terbuka lebar. Dua pasang mata itu kompak memusatkan perhatian ke arahku, tetapi aku hanya membalas tatapan Lala.
"Kita makan malam yuk, bunda sudah selesai masaknya"
Mas Bima melipat laptop kemudian menghampiri Lala yang rebahan di atas ranjang.
"Makan malam dulu yuk!" dia mengangkat tubuh sang putri ala-ala bridal style. Sementara aku tersenyum menyaksikan keakraban ayah dan anak ini.
Kami makan malam dalam diam, hanya Lala yang berkicau tanpa henti, sesekali ocehannya di sela oleh mas Bima agar menyelesaikan makanannya terlebih dulu. Namun larangan mas Bima tak di indahi olehnya.
"Lala kan ngomongnya pas makanannya udah di telan, jadinya nggak apa-apa, yang penting makannya nggak buru-buru"
"Tapi tetap harus fokus nak, nanti kalau keselek gimana?" kata mas Bima. "Pokoknya makan dulu di habiskan, setelah itu boleh ngomong banyak"
Barulah Lala diam setelah mendapat teguran serta tatapan tajam dari sang ayah.
"Anak pintar harus nurut sama ayah ya" ucapku berusaha menghiburnya.
Benar-benar tak ada keakraban antara aku dan mas Bima, hanya dentingan sendok yang saling beradu mengisi kesunyian kami hingga makan malam usai.
Mas Bima membantuku mengelap meja makan, sementara aku memboyong piring-piring bekas makan ke wastafle. Aku juga menyisihkan lauk yang masih tersisa ke piring yang lebih kecil. Biasanya mas Bima akan menghabiskannya saat kelaparan di malam hari atau menjelang tidur.
***
Selesai mencuci piring, aku menghampiri Lala di ruang tengah yang sedang bermain plastisin di temani ayahnya. Mas Bima sibuk menonton berita di tv dengan sesekali melihat ponsel untuk membalas chat yang kemungkinan dari rekan kerjanya.
"Lala belum ngantuk?" tanyaku sambil duduk di sampingnya yang duduk di lantai dengan alas permadani.
"Belum, Lala mau main sama bunda, bunda kan udah janji mau temani Lala main malam-malam"
"Memangnya mau main apa?"
"Main plastisin, bun"
"Thalia, ayah ke kamar ya, ayah ada kerjaan" mas Bima mematikan tv sebelum kemudian bangkit dari rebahnya di atas sofa.
"Ayah nggak temani Lala?" Putriku mendongak menatap ayahnya yang sudah berdiri.
"Tadi kan sudah, sekarang ganti bunda yang temani. Ayah banyak kerjaan nak" kata mas Bima.
"Sama bunda ya La, nanti kalau kerjaan ayah sudah selesai, ayah temani Lala lagi" Aku menyela sambil merapikan rambut Lala.
"Ya udah" Lala kembali fokus dengan plastisinnya.
"Ayah di kamar, kalau Lala mau, boleh main sambil temani ayah kerja, mau?"
"Nggak mau, yah. Lala mau sama bunda"
"Ayah ke kamar ya"
Lala mengangguk, mas Bima mengacak rambut Lala lembut.
"Nanti kalau mau bobo, temui ayah dulu" tambah mas Bima yang kembali di respon dengan anggukan kepala oleh Lala.
Seperginya mas Bima, aku dan Lala bermain plastisin, kami membuat bentuk huruf dan angka menggunakan mainan yang berwarna-warni ini.
"La, tadi habis ke toko mainan, Lala kemana lagi?"
"Nggak kemana-mana bun, Lala sama ayah sama onty Gesya langsung pulang"
"Onty Gesya pulang di antar Lala sama ayah?" tanyaku ingin tahu.
"Enggak, ayah nggak mau antar onty pas onty minta di antar pulang, jadinya onty naik taxi, di bantu cari taxinya sama ayah"
"Kenapa ayah nggak mau antar onty pulang?"
"Nggak mau, kata ayah kalau bunda pulang, terus Lala sama ayah belum pulang nanti bunda jadi cemas"
"Ayah bilang begitu?"
"Iya, ayah bilangnya ke onty, tapi Lala dengar"
Anakku memang cukup pintar, sudah biasa aku mengorek informasi dari Lala tentang mas Bima kalau situasinya seperti ini.
"Sudah jam sembilan nak, bobok yuk!" ajakku pada Lala.
"Beresin dulu ya bun"
"Harus dong"
Pelan-pelan Lala mengumpulkan plastisin kemudian memasukkannya ke dalam wadah.
"Lala pamit ke ayah, ini biar bunda yang lanjutin"
"Nggak apa-apa bun?"
"Nggak apa-apa, tapi besok-besok mainnya cuma sampai pukul setengah sembilan aja ya, nanti setengah jam buat beresin mainan sama gosok gigi"
"Iya, makasih bunda"
"Sama-sama sayang"
Anak itu mengecup pipiku kilat sebelum beranjak dari ruang keluarga menuju kamar mas Bima.
Selesai membereskan mainan Lala, aku melangkah menuju tangga. Ku tunggu dia sambil duduk di ujung tangga.
Selang sekitar lima menit, Lala keluar dari kamar mas Bima yang letaknya tepat di depan tangga.
"Sudah pamit sama ayah?"
"Sudah"
Aku bangkit seraya meraih tangan Lala untuk ku gandeng.
Di dalam kamar, setelah membantunya menggosok gigi, aku langsung menidurkannya. Tak sampai lima belas menit, kesadaran Lala sudah termakan oleh buaian mimpi.
Pelan, aku bergerak bangkit, menyalakan AC di suhu 24°C, kemudian menutupi tubuh mungil Lala menggunakan selimut.
Tadi saat menidurkan Lala, aku menimbang-nimbang apakah harus menanyakan tentang bagaimana bisa, Gesya turut menjemput Lala, sementara otakku yang lain seolah di ajak untuk membahas hubungan kami yang tidak ada kemajuan.
Dan keputusanku, kalau aku memang harus memperjelas hubungan kami. Jika mas Bima diam aku pun diam, tidak menutup kemungkinan pernikahan kami akan jalan di tempat seperti ini.
Ketika keberanianku sudah terkumpul, aku melangkah penuh mantap menuju kamar mas Bima.
Begitu langkahku telah sampai di lantai bawah, aku mendengar suara dentingan sendok yang beradu dengan sebuah gelas. Seperti gerakan mengaduk, lantas aku berjalan menuju dapur.
Jantungku berdetak lebih kencang dari normalnya selagi melangkah.
"Mas" panggilku meski agak sedikit ragu.
Bersambung.
Semangat berkarya