Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Apa tidak ada gangguan?"
Deg! Jantung Nadira seakan berhenti berdetak karena omongan ibu pemilik warung.
"Gangguan?", tanya Nadira, kedua ujung alisnya bertaut, heran!
" Ah, sudahlah!Bukan apa apa! Saya ibu Alfa, kamu?" Perempuan itu mengibaskan tangan ke udara sambil tersenyum simpul.
"Saya Nadira bu! Panggil saya Dira!"
"Semoga betah tinggal di situ ya Nadira!" ucap bu Alfa bikin penasaran.
"Terimakasih bu!", kata Nadira, ia menerima uang kembalian, lalu berlari menyeberang jalan saat kenderaan sepi.
" Nadira..!"
Seseorang memanggil namanya, Nadira mematung di depan pintu pagar.
"Siapa lagi sih orang itu?"
Sungguh saat seperti ini ia tidak ingin satu orang pun yang mengenalnya.
"Nadiraa..!"
Panggilan kedua, membuat Nadira menolehkan kepalanya, melihat ke arah sumber suara.
Mulut Nadira mangap dengan mata melebar.
"Sial, si Sahat pula!", desisnya kesal.
Sahat adalah salah satu teman sekampusnya dulu, sekelas pula.
Tak banyak cowok yang mau melanjutkan pendidikan di akademi perawat, dan satu dari mereka itulah Sahat Sihombing.
Mungkin karena jumlah mereka yang sedikit itulah, makanya kaum Adam di sana menjadi populer.
" Nadira, kemana saja kau selama ini? Mengapa studimu kau tinggal begitu saja, padahal sedikit lagi kau tamat!", kejar Sahat. Ia memegang pergelangan tangan Nadira seolah takut jika temannya itu menghilang lagi.
"Sahat, lepaskan tanganku! Sakit tahu!", cetus Nadira.
Ia tidak suka dipegang sembarangan, apa lagi oleh lawan jenis.
Namun ia bisa memaklumi, kekhawatiran Sahat terhadapnya begitu nyata.
Saat di kampus dulu, mereka tidak begitu akrab, hanya sesekali bertegur sapa, namun Nadira tahu, Sahat adalah orang yang sangat tulus.
" Oh, maafkan aku Nadira!"
Kedua telapak tangan Sahat saling menangkup di depan dada dan wajahnya penuh penyesalan.
"Aku bekerja di rumah sakit bersalin di depan sana, masih honor! Rumah sakit itu milik Namboruku!
Kamu? Kamu tinggal dimana Nadira?".
Pertanyaan dari Sahat tidak lantas dijawab oleh Nadira. Ia sebenarnya tidak suka jika orang orang dari masa lalunya berhubungan lagi dengannya.
Namun takdir tidak mendukung kemauannya, buktinya Sahat, teman satu kelasnya itu sekarang berdiri di depannya.
" Aku tinggal di situ!"
Telunjuk Nadira mengarah ke ruko milik Aryani.
"Di situ? Kamu? Masa sih? Kamu berani?". Bertubi tubi Sahat melontarkan pertanyaan dengan nada heran yang kental. Mimik wajahnya juga sarat dengan kecemasan yang begitu nyata.
Tring! Ponsel Sahat mengeluarkan nada notif pesan.
" Maaf Nadira, aku pergi dulu! Nanti kita bicara lagi ya! Tunggu aku!"
Dengan langkah cepat, kaki Sahat yang panjang, membuat tubuhnya segera hilang dari pandangan Nadira.
"Huh..!". Nadira menghembuskan nafas berat.
Suka tidak suka, Sahat sudah ada di sini, bertetangga pula. Memang letak rumah sakit bersalin itu di ujung jalan raya depan ruko, namun kan masih satu lingkungan dengan ruko yang dikontrak oleh Nadira.
Jendela belakang ruko dibuka, daun pintu juga, hanya menyisakan pintu besi saja, agar udara di dalam ruko bersirkulasi dan tidak pengap.
Naik ke lantai dua, Nadira juga melakukan hal yang sama. Saat matanya melihat sebungkus nasi ayam yang ia beli tadi malam, terbit senyum pahit di bibirnya.
Perutnya memang mulai lapar, namun ia ragu, apakah. nasi itu masih layak dimakan?
Ia buka bungkus kertas, ia cium isinya, tak ada bau basi ternyata. Begitu juga dengan sambalnya, semua masih oke.
Meski dingin dan ayamnya juga sudah mengeras, Nadira tetap menghabiskan makanannya, pantang baginya membuang buang makanannya.
Selesai makan Nadira masih dilanda kebingungan. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah tindakannya pindah itu wajar atau tidak.
Ia tidak suka tinggal berbarengan dengan orang yang manipulatif dan toxic, ia lebih suka tinggal di lingkungan orang orang yang tidak saling peduli.
Bu Iyus yang ia kira baik dan ia langsung menganggap sebagai pengganti ibunya ternyata menusuk di belakangnya.
Lebih baik ia rugi uang sewa dari pada ia terus bertahan.
"Eh, mbak Nadira, mau kemana?", tanya Ganda.
" Ada urusan sedikit bang!", jawab Nadira singkat. Ia tidak mau berlama lama meladeni Ganda.
Bersikap sopan dan cukup ramah, kemudian menjaga jarak, tidak ingin seorang pun masuk ke dalam urusan pribadinya, kecuali demi kepentingan yang saling menguntungkan.
Ojek online pesanannya datang, ia hanya mengangguk pada Ganda sebelum naik ke boncengan, lalu wush, motor itu melaju.
Bella heboh menyambut kedatangan Nadira. Kebetulan gadis itu tidak sekolah karena libur semester.
"Kakak, dari mana saja? Dihubungi pun tidak bisa!", pekik Bella manja sekaligus kecewa karena satu malaman diabaikan oleh Nadira.
Gadis itu sudah meletakan hatinya demikian dalam pada sang kakak, namun siang itu ia merasa diabaikan, rasanya tidak terbalas.
" Bella, kakak ada urusan di rumah keluarga", sahut Nadira datar. Ia usap kepala Bella sebelum membuka kunci pintu rumahnya.
"Baru pulang lu , Nadira? Setelah pertemuan kita di restoran M, kamu baru pulang?", tanya ibunya Yeyen sewot.Ia langsung menghampiri Nadira, begitu melihat gadis itu turun dari ojek.
Pikiran liarnya mulai menjarah kemana mana, mencuci otaknya sendiri dengan dugaan dugaan kotor.
" Seorang perempuan, menginap semalaman di luaran sana, ngapain lagi..?", pikirnya berprasangka buruk.
Yeyen menggamit lengan Bella dan mengajaknya menjauhi Nadira. Ia masih sakit hati karena tidak ditraktir oleh Nadira kemarin.
Bukannya menyahuti omongan ibunya Yeyen, Nadira cuma mengangkat kedua bahunya, cuek!
Setelah pintu terbuka, ia melenggang begitu saja, masuk ke dalam rumahnya, namun daun pintu tetap dibiarkan terbuka lebar.
Hubungan yang terjalin dengan ayahnya yang kurang harmonis sejak kecil, lalu ibunya yang mati matian mendukung tingkah pola ayahnya, membuat Nadira tidak pernah benar benar percaya pada seseorang.
Dari kecil, ia terbiasa sendiri, biasa diabaikan, karena bagi orang tuanya, perhatian untuk anaknya hanyalah cukup diberi makan, pakaian dan disekolahkan.
Kekecewaan Nadira terhadap ayahnya, makin menumpuk setelah keinginannya melanjutkan pendidikan ditentang habis habisan oleh ayahnya, lalu ibunya, perempuan lugu itu ikut ikutan menolak keinginan Nadira.
Beruntung paman Bardi dan bi Lilis membelanya, makanya Nadira bisa melanjutkan pendidikannya di kota, di akademi perawat.
Jadi sekarang, ketika orang lain ingin menekan hidupnya, ia sudah kebal, karena sikap ayah dan ibunya sudah menekan mentalnya dari sejak ia mulai bisa berpikir.
"Sombong kamu Nadira! Orang yang lebih tua ngomong bukannya didengar, malah nyelonong begitu saja! Tak sopan!"
Emosi ibunya Yeyen dari kemarin memang sudah terpendam pada Nadira. Jadi saat gadis itu mengabaikannya, ia jadi punya alasan untuk meluapkan kemarahannya.
"Maksud mbak Tika apa ya? Perasaan aku tidak ngapa ngapain mbak Tika deh!", kata Nadira tak peka.
Ia tidak tahu jika mbak Tika itu kecewa berat karena tidak ditraktir makan oleh Nadira di restoran M, kemarin.
Sepertinya ketenangan Nadira tidak akan terwujud seperti.yang ia angankan sejak berangkat dari ruko tadi.
Setelah tiba di rumah kontrakannya, ia akan tidur dan segera mengemasi barang barangnya untuk kepindahannya nanti.
Dinna datang, bergabung dengan mbak Tika, menggibahi Nadira di depan orangnya sendiri.
" Ngapain di situ mbak Tika?", tanya Dinna basa basi.
"Ini lon bu Dinna, si Nadira itu sombong sekali, kemarin jumpa di mall, rupanya dari situ ia tidak pulang, malah baru pulang sekarang ini!
Coba apa itu namanya, seorang gadis ngeluyur tidak jelas semalaman!", ucap mbak Tika hiperbola.
" Oh, pantas hamil, lah kayak gitu kelakuannya!", sahut Dinna enteng.
"Apa? Nadira hami? Lalu mana suaminya?"
Shit!!
Nadira memaki kedua orang tersebut di dalam hatinya. Dengan perlahan ia menutup daun pintu yang tadi ia biarkan terbuka, lalu ia menulikan telinganya.