abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Wajah di Balik Topeng
Hening yang menggantung di ruangan penyimpanan tiba-tiba pecah oleh suara berat dan berderak—seperti kayu yang patah. Isabella, Jonathan, dan Viktor memutar kepala serentak ke arah pintu besar yang baru saja mereka tutup.
“Dia ada di sini,” bisik Jonathan dengan nada penuh kepanikan.
Isabella menempelkan jari di bibirnya, memberi isyarat agar mereka semua diam. Napas mereka terdengar begitu jelas, seperti genderang yang bergema di ruangan itu. Mereka mundur perlahan, mencoba mencari tempat untuk bersembunyi di antara tumpukan peti-peti tua.
Namun sebelum mereka sempat bergerak jauh, pintu besar itu terhempas terbuka. Sosok tinggi muncul dari balik bayangan. Pria itu mengenakan jubah gelap yang kotor dan robek, dengan topeng menyeramkan yang menutupi wajahnya. Topeng itu seperti tengkorak, dengan retakan yang membuatnya tampak semakin mengerikan. Ia memegang sebuah kapak besar yang berkarat, tetapi tajam di ujungnya.
Pria itu berdiri diam di pintu, mengamati ruangan seolah mencari sesuatu. Ia mengangkat kepala sedikit, seperti mengendus udara, lalu perlahan melangkah masuk, menyeret kapaknya di lantai, menghasilkan suara gesekan yang memekakkan telinga.
Jonathan mundur terlalu cepat, menyebabkan sebuah peti kecil di belakangnya jatuh. Suara kayu yang patah membuat pria bertopeng itu menoleh tajam ke arah mereka.
“Lari!” teriak Isabella tanpa berpikir panjang.
Ketiganya berhamburan, berlari menuju sudut lain ruangan. Pria bertopeng itu menggeram, lalu mulai mengejar mereka dengan langkah-langkah berat yang memukul lantai.
Jonathan, yang berada paling dekat dengan pria itu, hampir terpeleset ketika ia mencoba melompati tumpukan peti. Viktor menariknya tepat waktu, tetapi pria bertopeng itu mengayunkan kapaknya, nyaris mengenai punggung Jonathan.
“Ke sana! Cepat!” Isabella menunjuk sebuah pintu kecil di sisi lain ruangan.
Mereka semua berlari ke arah pintu itu, tetapi pria bertopeng itu lebih cepat. Ia melemparkan sebuah benda tajam—pisau besar yang ia sembunyikan di pinggangnya. Pisau itu melayang di udara, mengenai bahu Viktor yang langsung terjatuh dengan teriakan kesakitan.
“Viktor!” Jonathan berhenti, mencoba membantunya.
“Jangan berhenti! Bawa dia ke sini!” Isabella berteriak, membuka pintu kecil dengan susah payah.
Jonathan menarik Viktor yang kesakitan, darah mengalir dari lukanya. Pria bertopeng itu terus mendekat, menyeret kapaknya sambil mengeluarkan suara tawa rendah yang mengerikan.
Akhirnya, mereka berhasil masuk ke pintu kecil itu, menutupnya dengan keras sebelum pria itu sempat mencapainya. Isabella dan Jonathan menahan pintu dengan seluruh kekuatan mereka, sementara pria bertopeng itu menghantamnya dari luar dengan kapaknya.
“Kita tidak bisa bertahan lama!” seru Jonathan.
“Cari sesuatu untuk mengganjal pintu!” jawab Isabella dengan panik.
Mereka berhasil menemukan sebuah balok kayu besar di sudut ruangan kecil itu, menahannya di depan pintu. Namun suara kapak terus menghantam, setiap pukulan membuat balok itu retak sedikit demi sedikit.
“Kita harus pergi dari sini sebelum dia masuk!” kata Isabella.
Mereka membantu Viktor berdiri, meskipun ia kesakitan. “Aku bisa berjalan,” katanya dengan suara lemah.
Di belakang ruangan kecil itu, mereka menemukan lorong lain—sempit, gelap, dan penuh dengan sarang laba-laba. Tanpa pilihan lain, mereka masuk ke dalam lorong itu, meninggalkan pria bertopeng di belakang.
---
Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan yang tampak seperti gudang senjata. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan pedang, belati, dan busur tua yang sebagian besar sudah berkarat.
“Tempat ini... mungkin bisa membantu kita,” gumam Jonathan sambil mengamati senjata-senjata itu.
“Kita tidak tahu berapa lama sebelum dia menemukan kita,” ujar Isabella. “Ambil senjata yang masih bisa digunakan. Kita harus bersiap.”
Mereka mengambil beberapa senjata yang masih dalam kondisi layak. Isabella mengambil belati kecil, Jonathan memilih pedang pendek, dan Viktor, meskipun terluka, mengambil tongkat kayu berat yang cukup kuat untuk menjadi senjata.
Namun sebelum mereka sempat memikirkan strategi lebih lanjut, suara langkah berat bergema di lorong di belakang mereka.
“Dia menemukan kita!”
“Bersembunyi!” perintah Isabella.
Mereka mencari tempat di balik tumpukan kotak dan rak tua. Isabella mengintip dari balik rak, melihat pria bertopeng itu masuk ke dalam ruangan. Kapaknya kini penuh dengan darah segar yang menetes ke lantai.
Pria itu berhenti di tengah ruangan, memutar tubuhnya perlahan seperti sedang mencari sesuatu.
Isabella memberi isyarat kepada Jonathan dengan gerakan tangan. “Kita harus menyerangnya bersama,” bisiknya.
Jonathan mengangguk ragu, menggenggam pedangnya erat. Viktor, yang masih kesakitan, mencoba mengatur napas di tempat persembunyiannya.
Ketika pria bertopeng itu mendekat ke arah rak tempat Isabella bersembunyi, ia melompat keluar, mengayunkan belatinya ke tangan pria itu. Serangan itu melukai sedikit, membuat pria bertopeng itu menggeram marah.
Jonathan ikut keluar dari tempat persembunyian, mencoba menyerang dari sisi lain. Namun pria bertopeng itu bergerak cepat, menangkis pedangnya dengan kapak besar yang ia pegang.
Pria itu mengayunkan kapaknya ke arah Isabella, tetapi ia berhasil menghindar dengan cepat.
“Viktor! Sekarang!” teriak Isabella.
Viktor, meskipun terluka, mengumpulkan kekuatannya dan menghantam punggung pria itu dengan tongkat kayu. Pukulan itu cukup untuk membuat pria bertopeng itu terhuyung, tetapi tidak cukup untuk menjatuhkannya.
“Kita tidak bisa melawan dia terlalu lama!” seru Jonathan. “Kita harus keluar dari sini!”
Mereka berlari menuju pintu lain di ujung ruangan. Pria bertopeng itu kembali mengejar, mengayunkan kapaknya dengan liar. Namun sebelum ia sempat mencapai mereka, Isabella menarik tuas di dinding, membuat pintu jebakan di lantai terbuka di bawah pria itu.
Pria bertopeng itu jatuh ke dalam lubang yang dalam, suaranya menghilang seiring dengan tubuhnya yang terhempas di kegelapan.
Mereka semua berdiri di tepi lubang, terengah-engah, tubuh mereka gemetar.
“Apakah dia... mati?” tanya Maria, suaranya penuh keraguan.
Isabella menatap ke dalam lubang itu, tetapi tidak ada suara atau gerakan. “Aku tidak yakin,” jawabnya pelan. “Tapi kita tidak bisa tinggal di sini untuk mengetahuinya.”
Mereka bergerak cepat, melanjutkan perjalanan melalui pintu lain. Namun di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa pria bertopeng itu mungkin bukan ancaman terakhir yang harus mereka hadapi. Kastil ini masih memiliki banyak rahasia gelap, dan mereka masih terperangkap di dalamnya.