Alden adalah seorang anak yang sering diintimidasi oleh teman-teman nakalnya di sekolah dan diabaikan oleh orang tua serta kedua kakaknya. Dia dibuang oleh keluarganya ke sebuah kota yang terkenal sebagai sarang kejahatan.
Kota tersebut sangat kacau dan di luar jangkauan hukum. Di sana, Alden berusaha mencari makna hidup, menemukan keluarga baru, dan menghadapi berbagai geng kriminal dengan bantuan sebuah sistem yang membuatnya semakin kuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 Sekaleng kopi dan ketenangan
Pada dini hari, langit di atas pelabuhan dipenuhi asap hitam yang membumbung tinggi, menyisakan kepulan suram dari gedung yang kini tampak seperti kerangka hangus.
Ledakan dahsyat yang mengguncang area tersebut semalam telah mengubah gedung milik organisasi Viper itu menjadi puing-puing berasap.
Beberapa anggota geng masih berjuang memadamkan sisa api yang kadang meradang. Aroma hangus terbawa angin, menyelimuti sekitar dengan kesan duka mendalam.
Laporan awal menyebutkan bahwa ledakan ini bukanlah kecelakaan biasa. Indikasi adanya serangan terencana semakin kuat setelah ditemukan jejak yang menunjukkan penggunaan bahan peledak berkekuatan tinggi.
Hingga kini, identitas pelaku tetap menjadi teka-teki, meskipun spekulasi tentang kelompok misterius yang bertanggung jawab terus berkembang di tengah masyarakat.
Di sekitar lokasi, para penyidik memeriksa setiap sudut, mencari petunjuk yang bisa membawa pada titik terang.
Kondisi korban serangan ini sungguh mengenaskan. Puluhan nyawa melayang dalam insiden tragis tersebut. Tubuh mereka tergeletak di antara reruntuhan dengan kondisi sulit dikenali. Beberapa korban tampak hangus, sementara yang lain mengalami cedera parah akibat ledakan yang sangat kuat.
Kantong jenazah berbaris di tepi jalan; setiap kantong menandai satu nyawa yang hilang secara mendadak dan tragis.
Leon, pria tampan dengan setelan jas hitam, memandangi reruntuhan dengan tatapan sayu. Di mulutnya terselip sebatang rokok yang ia hisap sesekali, mengisi kesunyian dengan aroma tembakau yang samar.
Di hadapannya terbaring jasad Darfen, Eksekutif Viper yang telah tenggelam dalam kehidupan gelap penuh dosa. Leon tersenyum tipis, melihat akhir pahit dari seorang lawan yang gigih.
"Akhir yang tragis untuk orang yang penuh dosa." Ucapnya tanpa sedikitpun merasa kasihan.
Dalam senyum tipisnya, ia menjadi sedikit tertarik dengan pelaku yang dapat menghancurkan seorang eksekutif dalam semalam.
Desas-desus mengenai jatuhnya bisnis narkoba Viper menyebar bak api di musim panas, menghidupkan harapan dan nafsu para geng pesaing yang selama ini menunggu momen itu.
Mereka mulai beraksi, menyerang cabang-cabang bisnis Viper yang tersebar di seluruh kota, seolah mengirimkan sinyal bahwa era baru akan segera dimulai. Sosok pelaku misterius yang belum tertangkap ini mendadak menjadi legenda, dipuja sekaligus ditakuti.
"Apa kau sudah mendengar rumor mengenai orang misterius itu? Kudengar dia berhasil membuat Viper kewalahan dengan aksinya!"
"Benarkah, akhirnya si brengsek Viper yang selama ini sombong dengan kekuatannya hancur sedikit demi sedikit!"
"Itu benar, aku dengar mereka sekarang sedang kewalahan menghadapi gempuran orang misterius itu."
"Jika aku bertemu dengannya, aku bersedia untuk tunduk menjadi anak buahnya."
"Apa kau gila? Kudengar dia orang yang berdarah dingin!"
Rumor mengenai si misterius semakin menyebar luas, membuat beberapa orang ataupun geng semakin bersemangat.
Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang gadis muda menatap ke depan dengan tekad. Rasa ingin tahunya akan identitas pribadi misterius itu seolah memberi arah baru dalam hidupnya.
Di tengah Kota Nirve. Jauh dari keramaian, Alden, dalang di balik rumor yang berkembang pesat sedang duduk santai di kursi dekat mesin penjual minuman. Ia menyeruput kopi kalengnya dengan tenang, menikmati sejenak kedamaian dari kekacauan yang ia ciptakan.
Hari ini bisa dibilang adalah hari libur bagi anggota Family nya. Naira, Lucy dan Jay mungkin berziarah ke makam Kakek Val, jadi Alden bisa bebas menghabiskan waktu sendirian.
"Tolong aku!"
Sebuah teriakan seorang gadis terdengar di dekat Alden bersantai, membuat suasana tenangnya menjadi kacau.
Alden memutar kepalanya, menajamkan pendengaran untuk memastikan bahwa suara itu bukan hanya halusinasi. Suara teriakan itu menggema kembali, terdengar lebih memohon daripada sebelumnya.
Dengan perasaan malas, ia bangkit dari kursinya, melangkah menuju sumber suara yang tampaknya datang dari arah lorong gelap di samping kafe.
Dengan langkah sigap, Alden memasuki lorong sepi tersebut hingga ia menemukan seorang gadis muda dengan rambut kusut, wajahnya pucat dan dipenuhi bekas air mata, terpojok di antara dinding bata tua.
Di hadapannya berdiri tiga orang pria kasar, dengan tubuh kekar dan raut wajah penuh ancaman. Tangan salah satu pria mengangkat wajah si gadis yang penuh ketakutan.
Mengambil langkah maju, Alden menghentikan situasi tegang tersebut.
"Apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya dengan nada tenang.
Pria kasar itu menoleh, sedikit terganggu oleh interupsi mendadak ini. Mata mereka bertemu sejenak, dan meskipun Alden tidak menunjukkan tanda ancaman secara fisik, ada sesuatu dalam cara ia membawa dirinya yang membuat pria kasar itu ragu untuk melanjutkan niat buruknya.
"Bukan urusanmu," sahut pria kasar itu setengah menggeram, "Pergilah, anak ini hanya membuat masalah."
Alden tertawa kecil, seolah menemukan sesuatu yang menggelikan dalam pernyataan pria itu. "Kalian menggangu waktu istirahatku baji*ngan, jadi jangan harap bisa lolos dariku."
Pria-pria kasar itu saling bertukar pandang, penilaian cepat dilakukan di antara mereka. Meski Alden bukanlah sosok yang terlihat mengancam dengan tatanan rapi dan sikap santainya, ada aura misterius yang membuat mereka merasa tertekan.
"Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa!" bentak salah satu dari mereka, mencoba menegaskan dominasinya.
Alden hanya mengangkat alis, tidak menunjukkan kepedulian pada ancaman tersebut.
Dengan langkah tenang namun pasti, ia mendekati ketiga pria itu, tatapannya tajam dan menusuk, membuat mereka tanpa sadar mundur selangkah.
"Aku selalu mengira bahwa berurusan dengan orang-orang seperti kalian hanya buang-buang waktu," ujarnya datar. "Tetapi jika kalian mencari masalah, aku tidak keberatan untuk meluangkan sedikit waktu."
Ketiga pria itu menegang, kebimbangan mulai merayapi sikap mereka. Terkejut dengan keberanian dan ketidakpedulian Alden, mereka mulai mempertimbangkan kembali niat mereka.
"Kali ini kami akan melepaskan mu!" Teriak preman itu sambil lari terbirit birit.
"Seharusnya itu perkataanku." ujar Alden, sebelum ia melihat ke si gadis yang kini menatapnya penuh selidik.
"Apa kau baik-baik sa-"
"Kau, si misterius itu!"
Belum sempat Alden menyelesaikan kalimatnya, gadis itu itu memotongnya dengan mata berbinar binar.
Alden terdiam sejenak, terkejut oleh pengakuan gadis itu. Dengan alis terangkat, dia menatapnya, mencoba memahami bagaimana gadis ini bisa mengenalinya sebagai sosok misterius yang selama ini hanya menjadi rumor.
"Si misterius?" Alden tersenyum miring, mengangkat bahu seolah tidak tahu menahu tentang julukan tersebut. "Bisa lebih spesifik?"
Gadis itu mengangguk antusias. "Ya, semua berbicara tentang seseorang yang berhasil menghancurkan Viper. Kau pasti orang itu!" matanya menatap Alden dengan campuran kekaguman dan rasa penasaran yang mendalam.
Alden tertawa kecil, bukan karena gadis itu mungkin benar, tetapi karena betapa cepat rumor tersebut menyebar. "Siapa pun aku, sepertinya kau salah paham. Aku hanya kebetulan lewat dan melihat kau dalam kesulitan."
Namun, gadis itu tak menggubris bantahan Alden. Dia tampak bersemangat, seperti menemukan jawabannya dalam pandangan mata Alden yang tenang dan penuh teka-teki.
"Aku yakin karena aku melihatmu beberapa kali di tempat bisnis Viper sebelum tempat itu hancur."
Alden terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata gadis itu. Dia menyadari bahwa usahanya untuk tetap misterius dan tak terlihat tampaknya mengalami sedikit gangguan.
Namun, ekspresi tenangnya tetap terjaga saat dia menatap gadis tersebut.
"Jadi kau menguntit ku?" tanyanya setengah bergurau, mencoba meredakan suasana.
Gadis itu menggeleng cepat. "Bukan menguntit, hanya kebetulan melihat. Tapi aku yakin tak ada yang kebetulan di kota ini."
Alden tertarik dengan tebakan gadis itu, tapi ia tahu lebih baik untuk tidak mengumbarnya lebih jauh. Dalam benaknya, menjaga rahasia tentang identitasnya adalah hal yang utama, setidaknya untuk saat ini.
Dengan sikap yang lebih santai, Alden berkata, "Ah, itu hanya kebetulan. Setiap orang memiliki peran masing-masing di kota ini. Lagipula, bagaimana jika aku hanya seseorang yang tertarik dengan keruntuhan Viper?"
Gadis itu berpikir sejenak, tetapi matanya masih menatap Alden dengan penuh rasa ingin tahu, seolah ingin mengorek lebih jauh kebenaran di balik senyum misteriusnya. Namun, tampaknya dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih lanjut, setidaknya untuk saat ini.
"Apa pun itu, terima kasih sudah menolongku," katanya akhirnya, dengan nada tulus. "Mungkin kau ingin tahu namaku. Aku adalah Lila."
Alden mengangguk, menerima ucapan terima kasih gadis itu. "Senang bertemu denganmu, Lila. Hati-hati di sekitar sini. Kota ini bisa jadi berbahaya, terutama dengan semua kekacauan yang berlangsung."
Alden ingin segera pergi namun dihentikan oleh Lila, "Tunggu, biarkan aku membalas kebaikanmu!"
"Ah, kurasa itu tidak perlu."
"Aku mohon, ibuku punya restoran kecil tidak jauh dari sini, setidaknya makanlah sedikit." Ucap gadis itu bersikeras.
Alden terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran Lila. Meski hatinya ingin menolak dan melanjutkan hari yang damai, dia merasakan ketulusan dalam suara gadis itu yang sulit untuk diabaikan.
"Baiklah," akhirnya dia setuju dengan sebuah anggukan. "Tapi ingat, ini bukan karena aku menyelamatkanmu. Aku hanya ingin tahu menu spesial di restoran ibumu."
Lila tersenyum lebar, tampak lega bahwa Alden menerima tawarannya. Dia mulai berjalan, mengajak Alden untuk mengikuti.