DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Apa kamu bilang?" tanya Louis tidak mendengar.
Bella langsung terdiam.
"Bella, kamu tadi bicara apa?" tanya Louis sekali lagi.
"Ah, tak apa. Lupakan saja!" jawab Bella sambil menggigit bibirnya.
Sementara Louis terus melanjutkan permainannya tanpa mau memikirkan ucapan Bella yang tidak dia dengar.
Keesokan harinya
Louis terbangun, ia melirik ke samping melihat Bella masih terlelap. Wajahnya terlihat damai, napasnya teratur. Louis hanya tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang.
Tiba-tiba, ponselnya berdering di atas meja samping tempat tidur. Louis mengambil ponselnya, melihat nama yang tertera di layar yaitu Alister. Tanpa berpikir panjang, dia menjawab telepon itu.
"Ya, Alister, ada apa pagi-pagi begini?"
"Maaf, Tuan Louis. Saya tahu ini mendadak, tapi Gabriel sedang mengamuk," kata Alister.
"Di mana dia sekarang?"
"Di taman belakang, dia menolak masuk ke dalam. Saya sudah coba menenangkannya, tapi tidak berhasil," jawab Alister.
"Oke, aku akan segera ke sana."
"Apa perlu saya siapkan sesuatu, Tuan?" tanya Alister.
"Tidak perlu. Aku akan menghadapinya sendiri," ucap Louis singkat, lalu menutup telepon.
Louis bangkit perlahan dari tempat tidur dan mencoba untuk tidak membangunkan Bella. Dia mengintip ke arah istrinya sekali lagi, memastikan dia tetap tertidur. Namun, Bella sedikit bergerak, matanya setengah terbuka.
"Kamu mau pergi, sayang?" Bella bertanya dengan suara mengantuk.
"Ya, Gabriel butuh aku. Kamu tidur saja," jawab Louis.
Bella mengangguk kecil, kembali memejamkan matanya. Louis mengambil jaketnya yang tergantung di kursi, lalu melangkah keluar dari kamar.
Setibanya di rumah besarnya, Louis melihat Alister sudah menunggu di dekat pintu.
"Tuan, saya benar-benar minta maaf, saya...."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Louis.
"Dia terus mengamuk sejak kemarin malam, Tuan. Dia juga terus menyebut nama Nona Bella."
"Aku yang akan bicara dengannya," kata Louis.
Louis berjalan memasuki rumah. Suara keras dari arah ruang tamu mengisyaratkan bahwa Gabriel masih dalam suasana hati yang buruk. Tanpa banyak basa-basi, Louis melangkah lebih dalam, dan di sana, berdiri Gabriel dengan mata penuh amarah.
Begitu Gabriel melihat sosok ayahnya, dia langsung bergerak maju, tinjunya terangkat, siap melayangkan pukulan. Namun, dengan gerakan cepat, Louis menangkap tangan putranya di dan menghentikan serangan itu. Tangan mereka saling menggenggam, saling mengunci di tengah ruangan.
"Aku benci padamu, Louis! Aku benci karena kamu menikahi Bella!"
"Kalian tidak berjodoh. Bella memilihku. Kamu harus belajar menerima kenyataan," jawab Louis dengan tatapan dingin.
Gabriel menarik tangannya dengan paksa, melepaskan diri dari genggaman Louis.
"Aku tidak akan pernah menerimanya! Aku akan merebut Bella lagi darimu, dan aku akan membuatnya menyesal karena memilihmu!" teriak Gabriel.
"Kamu pikir Bella ingin kembali padamu? Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri," kata Louis.
Gabriel mendengus. "Kita lihat saja nanti, Louis. Aku tidak akan tinggal diam."
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun termasuk dirimu mengganggu pernikahanku," kata Louis.
Gabriel berlari dengan penuh amarah, langsung menuju meja di ruang tamu yang dipenuhi vas-vas keramik dan ornamen-ornamen mahal. Tanpa berpikir panjang, dia menyapu semua barang dari meja itu dengan satu gerakan tangan yang kuat. Vas-vas keramik jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Tanpa berhenti, Gabriel meraih patung keramik kecil di sudut rak dan melemparkannya ke dinding, pecahannya berhamburan ke segala arah. Dia terus bergerak, menghancurkan satu per satu benda yang terbuat dari keramik, seolah-olah setiap pecahan itu bisa meredakan kemarahannya.
Di sudut ruangan, Alister berdiri terpaku. Dia menggigit bibir, seolah ragu ingin bertindak, tapi akhirnya hanya memilih memandang dari kejauhan tanpa ikut campur. Matanya sesekali melirik ke arah Louis, berharap mungkin tuannya itu akan memberikan perintah atau isyarat, tapi Louis tetap tak bergeming.
Louis berdiri di tengah ruangan, menonton Gabriel melampiaskan amarahnya. Wajahnya tetap tenang, tanpa ekspresi marah atau terkejut. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana seolah semua keributan ini hanyalah angin lalu.
Gabriel akhirnya berhenti di tengah ruangan, terengah-engah, napasnya berat. Pecahan keramik berserakan di sekitar kakinya. Dia menatap Louis dengan mata penuh kebencian berharap melihat reaksi apa pun dari ayahnya, tapi Louis hanya memandangnya dengan tatapan yang dingin.
"Sudah selesai, Gabriel?" tanya Louis datar, seolah yang baru saja terjadi hanyalah hal sepele.
"Ini belum selesai, Louis."
Lalu tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan masuk ke dalam kamarnya membiarkan pecahan keramik berserakan di belakangnya.
Alister akhirnya mendekat. "Tuan Louis, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Bersihkan ini, Alister. Aku akan berbicara lagi dengannya nanti," kata Louis.
Di sisi lain.
Bella duduk di tepi ranjang hotel menatap keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Pandangannya kosong, pikirannya melayang-layang dan mencoba mengusir rasa bosan yang semakin menghantui. Ia menggigit bibirnya, lalu bangkit berdiri, meraih jaket tipis yang tergantung di kursi.
"Aku butuh udara segar," ucap Bella.
Dengan langkah ringan, Bella keluar dari kamar hotel, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati agar tak membuat suara yang terlalu keras.
Begitu tiba di lobi, Bella menarik napas dalam-dalam, mencoba menikmati aroma udara yang lebih bebas. Namun, kebebasan itu tak bertahan lama. Dari sudut matanya, dia melihat seorang pria berdiri tidak jauh darinya, berpakaian rapi dengan kacamata hitam. Bella mengenali pria itu, dia adalah salah satu orang suruhan Louis yang ditugaskan untuk mengawalnya.
Bella merasa risih. Dia melanjutkan langkahnya dan mencoba menikmati jalanan kota sambil berharap pria itu tidak akan terlalu mengganggunya. Namun, pria itu tetap mengikuti dari jarak tertentu dan tak pernah jauh dari pandangannya.
Dia berusaha mengabaikan kehadiran pria itu, berpura-pura melihat etalase toko-toko di sepanjang jalan. Tapi rasa risih itu tak kunjung hilang. Setiap kali dia melirik ke belakang, pria itu masih di sana dan menjaga jarak tapi tetap mengawasi dengan mata tajam di balik kacamata hitamnya.
"Apa Louis mengira aku tidak bisa menjaga diri sendiri? Ini di keramaian dan tidak mungkin ada yang mau menyerangku," gumam Bella.
Dia berhenti di depan sebuah kafe kecil, berpura-pura melihat menu yang terpajang di jendela. Namun, pandangannya terarah ke bayangan pria itu di balik kaca.
Bella berbalik.
"Kamu bisa berhenti mengikutiku?" tanya Bella.
"Maaf, Nona. Ini instruksi dari Tuan Louis. Saya hanya menjalankan tugas," jawabnya dengan nada datar.
"Aku hanya ingin berjalan-jalan sendirian dan di sini pun sangat ramai," kata Bella.
"Maaf, Nona. Saya tidak bisa melakukannya. Saya harus memastikan Anda aman."
Saat bersamaan Alice mendekatinya, Bella terkejut karena wanita menyebalkan itu muncul lagi di hadapannya.
"Jadi kamu sudah malam pertama dengan Louis? Apa miliknya besar dan tangguh?" tanya Alice.
"Apa maksudmu tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya Bella kesal.
"Oh, bagaimana rasanya bisa merasakan rudal anak dan ayahnya?" ejek Alice.
Bella menaikkan alisnya.
"Aku dan Gabriel tidak pernah melakukannya," jawab Bella.
"Benarkah? Kamu kan wanita murahan," ucap Alice.
Plak!
Bella menamparnya.