Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya yang Mulai Terlihat
Bab 28: Cahaya yang Mulai Terlihat
Dua bulan setelah penghargaan besar itu, kehidupan Rania berjalan dengan lebih teratur. Hubungannya dengan Adrian berkembang perlahan namun pasti, sementara pusat pengembangan diri yang ia kelola bersama Tara semakin maju. Namun, meski semuanya tampak berjalan baik, Rania tak bisa menghilangkan bayangan Bintang dari pikirannya.
Bintang, sosok penuh teka-teki yang pernah hadir dalam hidupnya, selalu muncul dalam mimpi-mimpinya belakangan ini. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada perasaan kuat bahwa mereka akan bertemu lagi.
"Lo lagi mikirin apa, Ran?" tanya Tara saat mereka sedang makan siang di sebuah kafe kecil.
Rania terdiam sejenak, menatap jendela kafe sambil memutar-mutar sendok di cangkir kopinya. "Gue nggak tahu, Tara. Tapi akhir-akhir ini gue sering kepikiran Bintang. Lo inget dia, kan?"
Tara mengangguk. "Tentu gue inget. Dia itu kayak angin. Datang tiba-tiba, terus pergi tanpa jejak. Lo masih penasaran sama dia?"
"Iya, entah kenapa gue ngerasa ada sesuatu yang belum selesai di antara kita. Gue nggak tahu apa itu, tapi gue pengen tahu kenapa dia pergi begitu aja," jawab Rania dengan nada yang penuh harap.
---
Beberapa hari kemudian, saat sedang membereskan buku-buku lama di kantor pusat, Rania menemukan sebuah kartu pos yang terselip di antara halaman buku. Kartu pos itu bergambar sebuah pantai dengan tulisan tangan di bagian belakangnya:
"Kadang, untuk menemukan jalan pulang, kita harus tersesat dulu. Semoga kita bertemu lagi di waktu yang tepat. — B."
Rania membacanya berulang kali, mencoba mencari makna di balik kata-kata itu. "Bintang," gumamnya pelan.
Ia menunjukkan kartu pos itu kepada Tara, yang langsung terkejut. "Ran, ini artinya dia masih ingat lo. Mungkin dia ingin lo menemukan dia."
"Tapi di mana? Nggak ada petunjuk selain pantai ini," keluh Rania.
Tara memperhatikan gambar pantai itu dengan seksama. "Gue tahu tempat ini! Ini Pantai Selatan, sekitar tiga jam dari sini. Mungkin kita harus pergi ke sana."
---
Akhir pekan itu, Rania dan Tara memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Pantai Selatan. Adrian sempat menawarkan diri untuk ikut, tapi Rania merasa ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan sendiri bersama Tara.
Setibanya di pantai, Rania merasakan dejavu yang kuat. Suara ombak, angin sepoi-sepoi, dan aroma laut membuat hatinya berdebar. Mereka berjalan menyusuri pantai, mencari-cari tanda atau petunjuk apa pun yang bisa mengarahkan mereka ke Bintang.
Saat senja tiba, Rania hampir menyerah. Namun, di kejauhan, ia melihat seseorang duduk di atas batu besar, menghadap laut. Sosok itu tampak familiar.
"Tara, lo liat itu?" tanya Rania sambil menunjuk ke arah sosok tersebut.
Tara mengikuti arah pandangan Rania dan tersenyum. "Itu dia, Ran. Itu Bintang."
Rania merasa kakinya berat untuk melangkah, tapi ia tahu ia harus melakukannya. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati sosok itu.
"Bintang?" panggil Rania dengan suara gemetar.
Pria itu menoleh perlahan, dan senyuman kecil muncul di wajahnya. "Rania. Lama nggak ketemu."
---
Mereka duduk berdampingan di atas batu, menikmati pemandangan matahari terbenam tanpa banyak bicara. Hanya suara ombak yang mengisi keheningan di antara mereka.
"Kenapa lo pergi waktu itu?" tanya Rania akhirnya, memecah keheningan.
Bintang menghela napas panjang. "Gue butuh waktu buat diri gue sendiri. Ada banyak hal yang harus gue selesaikan. Tapi gue selalu ingat lo, Ran. Gue cuma nggak mau lo terjebak dalam kekacauan hidup gue."
Rania menatapnya dengan tatapan penuh emosi. "Gue nggak peduli sama kekacauan lo, Bintang. Gue cuma pengen lo jujur. Gue pantas tahu."
Bintang mengangguk. "Lo benar. Gue minta maaf, Ran. Gue nggak mau lo terluka karena gue."
Mereka berbicara sepanjang malam, membicarakan segala hal yang selama ini tertahan. Rania merasa beban di dadanya perlahan terangkat. Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, ia merasa lega karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan Bintang.
---
Keesokan harinya, sebelum mereka berpisah, Bintang memberikan sesuatu kepada Rania: sebuah buku catatan kecil berisi tulisan tangan dan sketsa-sketsa sederhana.
"Ini perjalanan gue selama ini. Kalau lo baca, mungkin lo akan ngerti kenapa gue pergi. Tapi gue janji, gue nggak akan pergi lagi tanpa pamit," kata Bintang dengan senyuman hangat.
Rania menggenggam buku itu dengan erat. "Gue akan baca. Dan gue harap kita nggak cuma ketemu di persimpangan, tapi jalan bareng ke depan."
Bintang mengangguk. "Gue juga berharap begitu, Rania."
---
Mereka berpisah dengan janji untuk tetap berhubungan. Rania merasa ada harapan baru yang tumbuh. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan kini ia memiliki dua orang yang berarti dalam hidupnya: Adrian dan Bintang.
To be continued...