"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Perasaan
Lobi hotel bergaya Victoria itu dipenuhi kesibukan pagi. Lantai marmer berwarna krem memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal di langit-langit. Suara roda koper dan percakapan rendah tamu hotel bercampur dengan aroma kopi dari kafe kecil di sudut ruangan. Darren berdiri di samping Lisa, yang sibuk memeriksa pesan di ponselnya.
Darren berdiri di lobi hotel, mengenakan mantel hitam panjang yang terlihat terlalu mahal untuk seorang magang biasa. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, sementara matanya melirik ke arah Lisa yang sibuk memeriksa ponselnya.
“Jadi, kau tahu toko itu ada di mana, kan?” tanya Lisa sambil menatap Darren dengan senyum ramah, tak menyadari ketegangan yang perlahan muncul di wajah pria muda itu.
“Iya, aku tahu. Tempatnya tak jauh dari sini,” jawab Darren, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
“Aku janji ini tidak akan lama, Darren,” kata Lisa sambil menatapnya. “Aku hanya akan membeli beberapa cokelat dan teh favorit ibuku. Dia pasti senang.”
Darren tersenyum tipis, mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan. Fokusnya terpecah begitu melihat Elea masuk ke lobi dari pintu utama. Elea tampak elegan dalam mantel abu-abu tua yang pas di tubuhnya, dengan syal sutra melilit lehernya. Meski wajahnya terbingkai rapi oleh rambut cokelat gelap yang diikat setengah, sorot matanya dingin dan tajam.
Saat pandangan mereka bertemu, Darren langsung merasa seperti tertangkap basah. Bukan karena ia bersalah, tetapi tatapan Elea memiliki cara tersendiri untuk membuatnya merasa kecil dan bersalah.
“Oh, Elea,” ucapnya canggung. Ia melirik Lisa, lalu kembali ke arah Elea. “Kami hanya akan keluar sebentar. Lisa ingin membeli oleh-oleh untuk ibunya.”
Elea menghentikan langkahnya di depan mereka, melipat tangan di dada. “Kau tidak perlu menjelaskan apapun padaku, Darren.”
Nada suaranya tenang, tetapi menusuk. Mata cokelat Elea memandang Darren dengan tatapan datar, meski kilatan kecil di sana tidak dapat ia sembunyikan.
“Aku tidak punya hak untuk melarangmu kencan dengan wanita manapun,” tambahnya sambil mengangkat alis, seperti sengaja melemparkan provokasi. “Jangan lupa, besok pagi kita harus kembali ke London.”
Kata-kata itu terdengar biasa saja, tetapi Darren menangkap sesuatu yang lain. Ada rasa tidak nyaman di dalam dirinya, seperti ada yang salah meski ia tidak tahu apa. Elea berbalik sebelum Darren sempat membalas.
Lisa mengerutkan kening, menatap Darren dengan ekspresi bingung. “Apa itu barusan? Kalian berdua...”
“Maaf, Lisa.” Darren memotongnya, mengangkat tangan sebagai isyarat. “Sepertinya aku tidak bisa menemanimu kali ini. Mungkin lain kali.”
Lisa tidak sempat berkata apa-apa sebelum Darren berlari keluar lobi, mengejar Elea.
***
Di luar hotel, udara dingin menusuk kulit. Jalanan Birmingham yang basah terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan cepat sambil memegang payung. Darren melihat punggung Elea yang menjauh, langkah kakinya terdengar mantap di atas trotoar.
“Elea, tunggu!” panggil Darren dengan suara yang lebih keras dari yang ia maksudkan.
Elea menghentikan langkahnya perlahan, tetapi tidak berbalik. Darren mendekat dengan napas tersengal.
“Dengar,” katanya, berdiri beberapa langkah di belakangnya. “Aku tidak ingin kau salah paham. Lisa hanya memintaku menemaninya membeli sesuatu untuk ibunya. Itu saja.”
Elea berbalik perlahan, menatap Darren dengan sorot yang sulit ditebak. “Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa. Apa pun yang kau lakukan, itu urusanmu.”
“Tapi kenapa aku merasa seperti sedang dimarahi?” Darren mengangkat alis, mencoba menyelipkan nada menggoda dalam suaranya. Namun, senyum kecilnya gagal menyembunyikan rasa gelisah yang membayang di wajahnya.
Elea memandang Darren tajam. “Kau terlalu banyak bermain-main, Darren. Dan aku tidak punya waktu untuk drama seperti ini.”
Darren merasa dadanya seperti dihantam. Elea, dengan sikap dinginnya, selalu berhasil membuatnya merasa tidak berdaya—perasaan yang sangat asing baginya, seorang CEO yang terbiasa memegang kendali. Tetapi di depan Elea, ia hanyalah Darren, pria muda yang seolah tak pernah bisa membuat wanita itu terkesan.
“Tapi aku tidak sedang bermain-main sekarang,” gumam Darren pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Elea menatapnya lama, seolah mencoba menilai apakah Darren berkata jujur atau hanya berbasa-basi. “Aku tidak peduli apa yang kau lakukan dengan Lisa atau siapapun, Darren. Kau bebas melakukan apa saja.”
“Tapi kenapa aku merasa kau peduli?” balas Darren cepat, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya meski matanya menyimpan rasa penasaran.
Elea menghela napas, pandangannya melembut untuk sepersekian detik sebelum kembali mengeras. “Jangan berlebihan. Kau hanya magang, Darren. Jangan buat semuanya terasa lebih besar dari yang seharusnya.”
Kata-kata itu menghantam Darren seperti palu. Namun alih-alih mundur, ia justru merasa tertantang. Elea mungkin menganggapnya anak kecil, tetapi Darren tahu ada sesuatu di balik sikap dinginnya.
“Kau tahu, Elea,” kata Darren sambil menyilangkan tangan di dada, nada suaranya berubah menjadi sedikit menggoda. “Aku mungkin hanya magang, tapi aku cukup tahu bahwa kau tidak benar-benar setenang itu. Ada sesuatu yang mengganggumu, kan?”
Elea terkejut sesaat, tetapi ia segera menyembunyikannya dengan senyuman tipis. “Kau suka berimajinasi, Darren. Mungkin itu sebabnya kau tidak pernah terlihat serius.”
Darren terkekeh pelan, lalu mendekat sedikit. “Mungkin. Tapi aku tahu satu hal—aku serius ketika hal itu menyangkut dirimu.”
Mata Elea membelalak kecil, tetapi ia segera memalingkan wajahnya. “Aku tidak punya waktu untuk permainan ini, Darren.” Ia melangkah pergi lagi, kali ini dengan langkah lebih cepat.
Darren tidak mengejarnya lagi. Ia berdiri di tempat, menatap punggung Elea yang semakin menjauh. Dalam hatinya, ia tersenyum kecil. Ia tahu Elea mencoba menutup dirinya, tetapi Darren merasa ada celah kecil yang ia temukan hari ini.
Dan ia bertekad untuk memperlebar celah itu, tidak peduli berapa lama waktu yang ia butuhkan.
***