Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Hasil Pemeriksaan
Kaivan mengernyitkan keningnya saat menyadari tak ada pergerakan apapun dari Airin. Bibirnya sedikit mengatup seolah sedang menahan rasa tidak sabar. "Airin? Kau di situ, 'kan? Kenapa diam saja?" tanyanya, nada suaranya datar tapi jelas menyiratkan rasa penasaran.
Airin tersentak dari lamunannya. "Eh, iya! Maaf... Aku... Aku di sini," jawabnya tergagap. Wajahnya memerah seperti terbakar, tak tahu harus menjawab apa.
Kaivan memiringkan kepalanya sedikit, mencoba membaca suasana meski tak bisa melihat. "Kalau tidak apa-apa, kenapa kau seperti sedang berpikir keras? Ada sesuatu yang salah?"
Airin memilin jemarinya sendiri, mencoba mencari kata-kata. Pandangannya tak sengaja tertuju pada celana Kaivan yang kotor dan penuh bercak lumpur. "Emm... Sebenarnya, aku cuma ingin bilang... Celanamu kotor sekali. Mungkin... lebih baik kamu menggantinya?" ucapnya tergesa-gesa, suaranya naik turun menahan gugup.
Kaivan diam sejenak, mencerna kalimat Airin yang terdengar terbata-bata. Kemudian, ia mengangkat sebelah alis, meskipun tak bisa melihat, ia tahu Airin pasti merasa canggung. "Hanya itu? Kenapa harus gugup?" tanyanya pelan, nada suara tetap datar, tapi kini disertai sedikit senyum tipis yang nyaris tak kentara.
Airin menghindari tatapan kosong Kaivan, merasa malu tanpa alasan jelas. "A-aah, tidak apa-apa kok! Aku ambilkan pakaian lain untuk kamu!" serunya, lalu buru-buru beranjak dengan langkah kikuk meninggalkan ruangan.
Tak lama kemudian, Airin sudah kembali. "Maaf, mungkin agak sempit," gumamnya pelan sambil menyerahkan baju dan celana sederhana itu kepada Kaivan.
Kaivan meraba kain di tangannya dengan ragu. "Ini... pakaian siapa?" tanyanya, suaranya masih serak, terdengar bercampur kelelahan.
"Punya almarhum ayahku," jawab Airin, menundukkan kepala sebentar, lalu kembali berkata, "kamu bisa berganti pakaian di kamar," ucapnya segera membimbing Kaivan ke kamar. "Gantilah pakaian di sini. Aku akan menunggu di luar kamar. Jangan khawatir, aku akan membantu jika kamu kesulitan."
Kaivan terdiam sejenak, menelan gengsinya. "Baik," katanya singkat, mencoba bergerak perlahan mengikuti arahan Airin.
Setelah beberapa menit, Airin bertanya dari luar kamar, memastikan Kaivan telah selesai mengenakan pakaian. Ia menahan tawa kecil saat melihat pria itu mengenakan pakaian yang tampak terlalu kecil untuk tubuh tegapnya. Lengan bajunya berhenti di pertengahan lengan, sementara celananya terlihat menggantung, memperlihatkan pergelangan kakinya.
"Ini... pakaian ini kekecilan," keluh Kaivan, mencoba menarik-narik kain yang terasa terlalu ketat.
Airin tak bisa menahan senyum melihat ekspresi kesalnya. "Maaf, hanya ini yang ada. Aku tidak punya pakaian lain yang lebih besar," katanya sambil menutup mulut, berusaha menyembunyikan tawa.
Kaivan mendesah, lalu mengerang pelan saat merasakan nyeri di lengannya. "Lupakan soal pakaian, ini... luka-lukaku," katanya, menyentuh salah satu memarnya.
"Oh iya, tunggu sebentar," kata Airin, langsung teringat sesuatu. Ia keluar begitu saja dari kamar itu meninggalkan Kaivan yang belum sempat bertanya.
"Gadis ini," gumam Kaivan.
Beberapa menit kemudian Airin kembali dengan seorang wanita paruh baya, bidan di desanya.
"Ini dia, Bu Warti," kata Airin, memperkenalkan wanita yang membawa tas kecil berisi peralatan medis sederhana.
Bidan Warti menatap Kaivan yang duduk di tepi ranjang dengan sorot mata penuh perhatian. "Wah, luka-lukamu cukup parah, Nak. Untung Airin menemukanmu," katanya sambil memeriksa luka di pelipis Kaivan. Ia sudah tahu tentang Kaivan karena Airin sudah menceritakannya tadi saat di jalan.
Kaivan hanya mengangguk singkat, belum mengenal Bu Warti membuatnya enggan berbicara banyak. Namun, ia merasa sedikit tenang melihat kesigapan Airin.
Airin berdiri di samping dengan cemas, memerhatikan bidan desa membersihkan luka-luka di tubuh Kaivan. "Bagaimana keadaannya, Bu Warti?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.
"Lukanya tidak fatal, tapi ia perlu istirahat total dan tidak banyak bergerak selama beberapa hari," jawab Bu Warti sambil menatap Kaivan dengan tegas. "Dan kamu, Nak, harus banyak bersabar. Tubuh kamu membutuhkan waktu untuk pulih. Sekarang ibu akan memeriksa matamu, Nak," kata Bu Warti, suaranya lembut tapi tegas. Ia mendekatkan senter kecil ke wajah Kaivan.Ia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan respons mata Kaivan yang tidak menunjukkan reaksi terhadap cahaya.
Airin, yang tidak tahan lagi menahan keingintahuannya, bertanya dengan suara pelan, "Bagaimana, Bu? Apa matanya baik-baik saja?"
Bu Warti menghela napas perlahan, lalu menatap Kaivan dengan penuh simpati. "Nak, mata kamu tidak merespons cahaya. Ini bisa jadi akibat benturan keras di kepala saat kecelakaan, yang mungkin memengaruhi saraf penglihatan kamu. Tapi ada kemungkinan lain juga, terutama karena kamu sempat terendam di sungai yang airnya kotor. Air seperti itu bisa membawa bakteri atau zat berbahaya yang memicu infeksi atau iritasi serius pada mata."
Ia berhenti sejenak, memberikan waktu agar informasi itu dapat dicerna. "Ibu tidak bisa memastikan apakah ini hanya sementara atau mungkin lebih serius. Kamu benar-benar perlu diperiksa oleh dokter spesialis untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut."
Kaivan mengangguk lemah. "Terima kasih," ucapnya pelan, meski masih terasa getir di suaranya.
Bu Warti mengeluarkan beberapa bungkus obat dari tasnya, meletakkannya dengan hati-hati di atas meja. Ia menatap Airin dengan serius, memberikan penjelasan sambil menunjuk setiap obat.
"Ini salep untuk luka luar, oleskan tiga kali sehari. Lukanya jangan sampai kena air supaya cepat kering," jelasnya sambil membuka tutup salep kecil untuk menunjukkan isinya.
"Yang ini," lanjutnya sambil mengangkat botol obat, "harus diminum sebelum makan, dua kali sehari. Dan ini," ia menunjuk bungkusan tablet, "diminum setelah makan untuk membantu meredakan nyeri dan mencegah infeksi."
Bu Warti membuka botol kecil berisi cairan bening dan menunjukkannya pada Airin. "Ini obat tetes mata. Teteskan dua kali sehari, pagi dan malam. Tapi ingat, pastikan tanganmu bersih sebelum menggunakannya. Ini untuk membantu mengurangi iritasi atau infeksi yang mungkin terjadi akibat air sungai," jelasnya sambil menyerahkan botol itu ke tangan Airin.
Airin memandang botol kecil itu dengan cermat. "Jadi, obat ini bisa membantu menyembuhkan matanya, Bu?" tanyanya, sedikit berharap.
Bu Warti menggeleng pelan. "Ini hanya untuk mencegah masalah bertambah parah. Untuk memastikan kondisi matanya, dia harus segera diperiksa dokter spesialis mata. Tapi, gunakan obat ini dulu, ya. Setidaknya ini bisa meredakan ketidaknyamanannya sementara waktu."
Airin mengangguk patuh, berusaha mengingat instruksi tersebut. "Baik, Bu Warti. Saya akan pastikan semuanya teratur. Saya akan merawatnya sesuai petunjuk," ujarnya mantap meski dalam hati sedikit gugup takut salah memberikan obat.
Bu Warti tersenyum tipis, menepuk bahu Airin dengan lembut. "Kamu anak yang cekatan, Airin. Dengan perawatanmu, Ibu yakin dia akan cepat pulih."
Kaivan yang duduk tak jauh mendengarkan percakapan itu dengan seksama. Meski tak banyak bicara, ia merasa sedikit lega mendengar ada langkah-langkah untuk menangani masalah pada matanya.
Setelah Bu Warti pulang, Airin duduk di kursi kayu di samping tempat tidur, wajahnya penuh rasa iba saat menatap Kaivan yang masih duduk di tepi ranjang dengan ekspresi kosong. Setelah mendengar penjelasan Bu Warti, pria itu terlihat lebih tenang dari yang ia kira, meski jelas ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.
"Emm... Kak Ivan," panggil Airin dengan nada lembut, sembari memilin jemari tangannya sendiri.
Kaivan yang duduk di tepi ranjang mengarahkan wajahnya ke arah suara itu. Meskipun pandangannya gelap, panggilan lembut itu terasa menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Sebutan "kakak" dengan nada sedemikian halus membuat hatinya yang biasanya dingin dan terjaga, sejenak terasa hangat.
"Ada apa, Airin?" jawab Kaivan dengan suara yang tetap datar, meski ada sedikit getar emosi yang ia sendiri sulit pahami.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso