seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 19
Ayana duduk di sofa, wajahnya terlihat tegang. Di seberangnya, ibunya menatapnya dengan sorot mata tajam, sementara Devano berdiri di samping ibunya, diam namun jelas berpihak. Ayana merasa dipojokkan di rumahnya sendiri.
"Jadi ini yang kau inginkan, Ayana? Kau benar-benar ingin menceraikan Devano? Hanya karena pria itu—Biantara—kembali?"ucapan ibu iriana dengan nada tinggi
"Bu, ini bukan tentang Biantara. Aku sudah memikirkannya lama. Pernikahan ini tidak sehat. Aku dan Devano saling menyakiti."jawab ayana dengan dingin
Ibu Ayana menyentakkan tangan ke meja
"Saling menyakiti? Kau yang menyakiti, Ayana! Kau tidak pernah bersyukur memiliki suami seperti Devano! Apa lagi yang kurang darinya? Dia sudah memberikan segalanya!"
Ayana mengepalkan tangannya di pangkuannya, mencoba menahan emosinya. Devano masih diam, namun matanya melirik Ayana dengan rasa bersalah yang samar. Ia tahu ini salah, tetapi ia terlalu takut kehilangan Ayana.
Ayana menghela napas panjang, berusaha tenang
"Devano memang suami yang baik, tapi kebaikan saja tidak cukup, Bu. Pernikahan ini sudah lama menjadi beban, dan aku... aku tidak ingin hidup seperti ini lagi."
"Ah, aku tahu! Semua ini pasti karena pria itu. Kau ingin kembali bersama Biantara, kan? Sejak dulu, kau tidak pernah bisa melupakan dia!"sindir ibu Ayana
"Ibu salah. Keputusan ini adalah tentang aku dan Devano. Bukan tentang Biantara, bukan tentang orang lain. Ini tentang hidupku."ucap ayana dengan tegas
Melihat perdebatan ibu dan anak itu Devano akhirnya angkat bicara, dengan nada tenang namun dingin
"Ayana, apa kau tidak berpikir sedikit pun tentang bagaimana ini akan berdampak pada keluarga kita? Bagaimana ini akan membuat Ibu kecewa?"
Ayana menatap Devano dengan mata tajam, tidak percaya pria itu kini justru menggunakan ibunya untuk melawan keputusannya.
Suara Ayana bergetar karena emosi dan berkata
"Aku tidak percaya kau melakukan ini, Devano. Melibatkan Ibu untuk menghentikan perceraian ini? Kau pikir itu akan mengubah sesuatu?"
"Aku hanya ingin kau berpikir ulang, Ayana. Kau membuat keputusan ini terlalu tergesa-gesa."
Ayana tertawa pahit
"Tergesa-gesa? Aku sudah hidup dalam ketidakbahagiaan selama bertahun-tahun! Dan kau tahu itu!"
Devano tidak menjawab, merasa terpojok. Namun, ibunya tidak berhenti.
"Kalau kau merasa tidak bahagia, itu salahmu sendiri, Ayana. Kau yang tidak pernah mencoba memperbaiki hubungan ini! Pernikahan itu bukan tentang kebahagiaan pribadi!"
Ayana berdiri, wajahnya memerah karena emosi yang tertahan.
Ayana berbicara dengan tegas
"Tidak, Bu. Pernikahan bukan tentang mengorbankan kebahagiaan demi memenuhi harapan orang lain. Aku pernah diam, aku pernah bertahan, tapi itu tidak membawa apa-apa selain luka. Sekarang, aku ingin memperjuangkan hidupku sendiri, tanpa belenggu yang membuatku tenggelam."
Ibunya terdiam sesaat, terkejut oleh ketegasan Ayana yang baru pertama kali ia lihat. Namun, ia tidak menyerah.
Ibu Ayana dengan nada tajam tak mau kalah pada perdebatan ini
"Kau egois, Ayana. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri."
Ayana menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu percuma menjelaskan kepada ibunya yang tidak pernah memikirkan perasaannya.
dengan suara lelah Ayana berkata
"yang pertama kali egois dan memaksaku masuk terjerumus pada belenggu ini siapa bu?Kalau ingin menganggapku egois, silakan. Tapi aku tidak akan berubah pikiran"sindir ayana mengingat pernikahan ini bermula dari ketidakpedulian ibunya atas perasaannya
Ayana berbalik, melangkah keluar dari ruang tengah. Ia merasa lega meski tahu ini hanya awal dari perjuangan panjang. Di belakangnya, Devano dan ibunya hanya bisa saling pandang, sementara bayangan perpisahan semakin nyata.
___
Ayana menyelesaikan pengemasan kopernya dengan wajah yang tegas namun hati yang berat. Suara argumen dari ruang tamu antara ibunya dan Devano masih terdengar samar, namun Ayana tidak memedulikannya. Ia menyeret kopernya ke ruang tamu, menarik perhatian kedua orang yang masih duduk di sana.
Ayana dengan nada tenang namun tegas
"Aku akan tinggal di rumah Raka untuk sementara waktu. Surat gugatan akan segera dikirimkan."
Ibu Ayana terperanjat, sementara Devano menatap Ayana dengan campuran rasa sakit dan amarah. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menundukkan kepala seolah tak sanggup membalas. Ayana berjalan menuju pintu tanpa menoleh lagi, membawa kopernya dengan langkah pasti.
"Ayana! Jangan pergi! Kau pikir melarikan diri akan menyelesaikan segalanya?" teriakan ibu iriana menggema memenuhi seisi ruangan itu
Ayana berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh dengan wajah yang penuh kepedihan namun tetap tegar.
"Aku tidak melarikan diri, Bu. Aku hanya mengambil kembali kendali atas hidupku." jawab ayana dingin
Tanpa menunggu jawaban, Ayana melangkah keluar. Di depan pintu, ia berpapasan dengan ibu dan ayah Devano yang baru saja tiba. Ibu Devano terlihat bingung dan khawatir melihat Ayana membawa koper.
"Ayana? Apa yang sedang terjadi? Kenapa kau membawa koper?"Ibu Devano bertanya dengan nada cemas
Ayana berhenti, menatap ibu mertuanya dengan sorot mata yang lembut namun tegas.
di tengah amarahnya ayana berusaha menjawab dengan sopan
"Maaf, ma. Saya akan tinggal di rumah ka Raka untuk sementara waktu."
Ibu Devano mencoba meraih tangan Ayana
"Tidak, Ayana. Jangan lakukan ini. Pikirkan baik-baik. Kau dan Devano hanya perlu waktu untuk saling memahami. Jangan menyerah begitu saja."
Ayana menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. Ia menghormati ibu Devano, tapi ia tahu dirinya tidak bisa lagi bertahan.
Ayana dengan suara lembut namun tegas berkata
"mu, ini bukan keputusan yang mudah. Saya sudah mencoba bertahan selama ini, tapi semuanya hanya membuat kami saling terluka. Saya rasa ini yang terbaik untuk kami berdua."
Ibu Devano hampir menangis
"Tapi, Ayana... kau bagian dari keluarga ini. Kau tahu betapa kami menyayangimu."
Ayana tersenyum tipis, namun ada air mata yang menggantung di sudut matanya.
"Dan saya juga menyayangi mama dan keluarga ini. Tapi saya tidak bisa terus berpura-pura. Saya mohon, izinkan saya pergi."
Ayana perlahan melewati ibu Devano, meninggalkan pintu rumah dengan langkah yang mantap. Devano muncul di ambang pintu, menatap punggung Ayana dengan ekspresi hampa. Ia ingin menghentikannya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Di kejauhan, sebuah mobil sudah menunggu. Ayana memasukkan kopernya ke dalam bagasi, lalu masuk ke dalam mobil tanpa menoleh lagi.
Di dalam rumah, suasana menjadi tegang. Ibu Devano menangis pelan di bahu suaminya, sementara Devano berdiri diam di pintu, merasa seolah dunianya telah runtuh. Ibu Ayana hanya menggelengkan kepala dengan kecewa.
Ibu Ayana berbisik, menyindir
"Semua ini gara-gara Biantara. Dia yang menghancurkan semuanya."
Namun Devano tidak menjawab. Ia tahu di dalam hatinya, masalah ini lebih dari sekadar Biantara. Ayana telah memilih jalannya, dan kali ini, tidak ada yang bisa menghentikannya.
---