Setelah 14 Tahun Berpisah

Setelah 14 Tahun Berpisah

Bab 1. Jomblo Terus

Wajah Ala mulai menunjukkan kebosanan. Satu tangan menopang dagu, sementara tangan lainnya mencoret-coret buku, membuat pola abstrak untuk mengusir rasa jenuh. Namun, kebosanan itu tetap tak hilang. Sesekali, pandangannya melirik ke arah dinding kaca yang berembun, mengaburkan pemandangan di luar.

Suara hujan deras masih terdengar, mengguyur kota Bekasi siang ini. Entah sampai kapan hujan akan reda. Sudah hampir satu jam Ala terjebak di sebuah kafe yang terlalu ramai untuk seleranya. Kalau bukan karena Laras, sahabatnya yang duduk di hadapannya, Ala pasti sudah memilih pergi dari tempat itu.

Ala memang tidak suka keramaian dan kebisingan. Suara pengunjung yang berbicara terlalu keras, ditambah gemuruh hujan dan alunan musik, membuat suasana kafe semakin tak tertahankan baginya. Ia ingin sekali segera pergi.

"Mau nambah kopi?" tanya Laras.

Ala menggeleng.

"Makan?"

Lagi-lagi, jawaban Ala hanya sebuah gelengan. Laras mulai serba salah.

"Gue udah pesan ojol, tapi belum ada yang nyangkut. Mungkin karena hujan. Sabar ya, bentar lagi reda, kita langsung pulang," ujar Laras, mencoba menenangkan.

Ala mendesah pelan. Ia lebih suka berada di toko buku atau membaca novel daripada harus duduk lama-lama di kafe seperti ini. Sialnya, novel yang sedang ia baca tertinggal di kost, dan gawainya mati kehabisan baterai. Rasanya waktu berjalan sangat lambat.

"Ck, lo tuh ngeselin! Kalau bukan karena sahabat gue, ogah deh gue ke sini. Sekarang, mana tuh cowok yang lo bilang mau ketemuan?" Ala melotot kesal, menumpahkan jengkel yang sudah menumpuk sejak tadi.

Laras menghela napas panjang sambil menyibakkan rambut panjangnya. Ada rasa sesal di hatinya. Ia sudah repot-repot datang, tapi laki-laki yang ia kenal lewat media sosial justru tidak muncul.

"Sabar, mungkin dia kejebak hujan. Tadi kan kita datang, langsung hujan turun," ucap Laras, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa laki-laki itu pasti punya alasan.

"Halah, kurang sabar apa lagi? Buang-buang waktu aja nungguin cowok nggak jelas kayak gitu," gerutu Ala.

"Ck, lo tuh nggak asyik banget! Pantes aja jomblo!" ledek Laras, berusaha mencairkan suasana.

Ala yang kesal spontan melempar pulpen ke arah Laras. Sayangnya, pulpen itu jatuh ke lantai. Laras mengambilnya dan meletakkannya kembali di atas meja. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan sahabatnya yang masih betah jomblo meskipun ada banyak laki-laki yang mendekatinya.

Namun, Laras tidak tahu alasan di balik keputusan Ala untuk terus sendiri. Ia tak pernah mendengar cerita tentang cinta pertama Ala yang berakhir pahit saat SMA.

Alaish Karenina, atau yang akrab dipanggil Ala, adalah gadis berusia dua puluh sembilan tahun yang selalu mendapat label jomblo ngenes. Bahkan, rumor miring sempat beredar bahwa ia menyukai sesama jenis. Semua itu bermula karena Ala sering menghindar dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Pernah suatu waktu, demi menghapus rumor tersebut, Ala menjalin hubungan dengan seorang pria. Namun, hubungan itu tak bertahan lama.

“Heh, gue pernah pacaran, ya! Kalau lo lupa,” ucap Ala dengan nada defensif.

"Lima tahun yang lalu, La! Itu udah lama banget! Lo tuh nggak niat nikah apa?" Laras membalas dengan gemas.

Laras, teman kerja Ala sekaligus sahabat dekatnya, tahu betul bagaimana Ala. Mereka bekerja di gedung dan bagian yang sama. Selama bertahun-tahun mengenal, Laras hanya sekali melihat Ala memiliki pacar. Itu pun tidak bertahan lama. Alasannya sederhana: Ala merasa laki-laki itu hanya memanfaatkan dirinya secara finansial. Sejak itu, Ala tidak lagi mau membuka hatinya.

Sementara Laras sendiri sudah menikah dan memiliki dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Kini, ia mencoba membantu Ala mendapatkan pasangan. Rencananya, Laras ingin menjodohkan Ala dengan teman lamanya. Namun, Laras memutuskan untuk tidak blak-blakan. Ia bilang kepada Ala bahwa laki-laki yang akan mereka temui hari ini adalah kenalan dari media sosial yang suka membaca novel dan juga seorang penulis. Dengan harapan mereka bisa "nyambung," Laras berhasil membujuk Ala untuk ikut ke kafe.

Namun, setelah satu jam menunggu, laki-laki itu tak kunjung datang. Laras mulai gelisah. Ia takut rencananya gagal. Meski begitu, ia tetap berharap semua ini demi kebaikan Ala.

"Coba deh feminim dikit," ujar Laras sambil memindai penampilan Ala yang apa adanya, bahkan cenderung tomboi.

Ala hanya mendengus. Laras memang sering mengkritik gaya Ala yang sederhana dan tanpa basa-basi. Bahkan, sikapnya yang terlalu blak-blakan sering membuat orang menjauh. Kalau tidak suka seseorang, Ala tak segan melontarkan kata-kata pedas. Lebih parahnya, ketika ada orang baru yang mencoba mendekatinya, Ala bisa mendadak seperti orang yang tidak bisa bicara.

“Kalau sayang bakal terima gue apa adanya. Bukan malah nyuruh gue berubah!” Ala menjawab singkat, bosan dengan pembahasan ini.

Saat hujan mulai reda, Ala memutuskan pergi meninggalkan kafe tanpa menunggu Laras. Dengan langkah cepat, ia menuju halte bus terdekat.

Laras hanya bisa menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Kalau Ala sudah ngambek, lebih baik dibiarkan sendiri dulu. Ia memilih tetap menunggu laki-laki yang seharusnya datang. Apalagi Laras punya rencana cadangan: teman lamanya yang juga semasa sekolah dulu akan datang ke kafe ini. Ia sudah sering menceritakan Ala kepada temannya itu, dan berharap mungkin mereka bisa cocok. Teman Laras juga seorang introvert, sama seperti Ala.

Di halte bus, Ala berdiri menunggu bus yang tak kunjung datang. gawainya mati, dan ia lupa meminta Laras memesan ojol untuknya. Ia merasa ragu ingin kembali ke kafe. Ala tahu dirinya sedang dalam mode ngambek, dan ia lebih memilih menyendiri.

"Kenapa, sih, gue nggak pernah nemu yang cocok? Sampai kapan begini terus?" gumamnya lirih sambil memandangi jalanan yang masih basah oleh sisa hujan.

Bus tiba bersamaan dengan hujan yang kembali turun. Ala naik dengan langkah pelan, memilih duduk di dekat jendela. Ia menarik tudung hoodie-nya, menyembunyikan sebagian wajah, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam kantong hoodie. Pandangannya kosong menatap keluar, menembus tetesan hujan yang mengalir di kaca jendela. Pemandangan itu membawa ingatannya pada masa beberapa tahun lalu—masa yang tak pernah bisa ia lupakan.

Kala itu, Ala masih duduk di bangku kelas satu SMA. Momen spesial pertama dalam hidupnya, ketika ia pergi bersama seorang laki-laki. Mereka naik bus menuju sebuah taman. Untuk seseorang seperti Ala yang jarang bepergian, ini adalah pengalaman baru. Biasanya, ia lebih memilih diam di rumah, malas berinteraksi dengan dunia luar. Namun, kehadiran laki-laki itu mengubah kebiasaannya.

Di taman yang ramai itu, Ala merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meski suasana bising dan kerumunan menguras energinya, ia tak peduli. Ia berjalan bergandengan tangan dengan laki-laki itu, layaknya sepasang kekasih.

"Sayang nggak sama aku?" tanya laki-laki itu sambil tersenyum.

Ala hanya mengangguk pelan, wajahnya memerah karena malu. Ia terlalu gugup untuk mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata.

Namun, saat mengingat kenangan itu, hati Ala terasa sakit. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan seolah hanya ilusi. Dunia sepertinya tak pernah berpihak padanya. Ketika kebahagiaan datang, kesedihan selalu menyusul, seolah tak mengizinkan Ala menikmati momen itu terlalu lama. Hubungan mereka penuh lika-liku. Ala harus melalui banyak rintangan, seringkali sendirian.

“Lo di mana sekarang? Masih hidup nggak, sih? Atau lo udah nyakitin banyak cewek lain sekarang?” batin Ala pahit.

Kenangan tentang pengkhianatan laki-laki itu kembali menyiksa. Ia teringat bagaimana ia memergoki laki-laki itu bersama perempuan lain yang jauh lebih cantik darinya. Meski hatinya hancur, Ala tetap bertahan, berharap laki-laki itu akan berubah. Tapi, kepercayaan itu hilang seiring waktu, dan luka di hatinya semakin dalam.

Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban berat yang menekan. Ala mencoba menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, berusaha menenangkan diri. Jemarinya diremas kuat, berharap rasa sakit itu mereda. Tapi rasa benci, marah, dan cemas terus menggerogoti.

Di balik wajahnya yang selalu tampak tenang, tak ada seorang pun yang tahu kondisi Ala yang sebenarnya. Ia selalu berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa ia baik-baik saja, bahkan kepada Laras, sahabat terdekatnya. Kisah cinta pertamanya hanya tersimpan rapat di sudut hatinya, tak pernah ia bagi kepada siapa pun. Bagi Ala, setiap hubungan, bahkan persahabatan, harus punya batasan. Tidak semua orang berhak tahu sisi paling rapuh dalam dirinya.

"Sesayang itu gue sama lo, tapi lo malah sia-siain. Perjuangan gue mungkin nggak pernah lo anggep ya," gumamnya lirih.

Ala memejamkan mata, berharap bisa mengusir bayangan masa lalu. Tapi sebaliknya, kenangan itu justru semakin nyata. Ingatan tentang laki-laki yang pernah ia cintai sepenuh hati kembali menghantui. Padahal, ia sudah berusaha melupakan. Ia bahkan rela meninggalkan tanah kelahirannya demi menyembuhkan luka itu.

Ketulusan Ala, yang selalu melihat hati seseorang dan bukan penampilan fisiknya, ternyata menjadi pedang yang melukai dirinya sendiri. Pengkhianatan itu meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga ia sulit untuk membuka hati lagi.

Sejak saat itu, Ala tak pernah benar-benar nyaman dengan laki-laki yang mencoba mendekatinya. Cinta pertama yang pernah ia perjuangkan habis-habisan kini menjadi bayang-bayang yang terus menghantui, menghalanginya untuk memulai kembali.

Bersambung....

Selamat membaca ya, mohon beri dukungan dengan cara like, komen, subscribe yaa biar penulis semakin semangat nulisnya. Terima kasih ...

Terpopuler

Comments

Fa'iqoh Siti Elok

Fa'iqoh Siti Elok

absen, moga ceritanya lebih seru dari rain

2024-10-28

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!