Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Non, buka! Non," teriak Mbok Wati dari luar kamar. Sementara itu, aku masih berdiri mematung, karena si Wanita Rambut Panjang masih berdiri menghalangi pintu.
"Non, tolong!" teriak Mbok Wati lagi.
"Non!"
Dilema. Ya, itu yang kurasakan. Ada keinginan untuk membukakan pintu. Namun, rasa takut ini masih terlalu besar.
"Non!"
Argh!
Mbok Wati menjerit.
Tiba-tiba, rasa takutku sirna. Tubuhku bisa mulai bergerak perlahan mendekati pintu. Kutatap wajah sosok yang menyeramkan itu.
"Jangan buka pintunya!" ucap si Wanita Berambut Panjang.
"Ke-napa?" balasku gugup sambil terus mendekatinya.
"Pokoknya jangan buka pintunya!"
Kini posisiku sudah tinggal beberapa langkah dengannya.
"Non, tolong."
Si Wanita Berambut Panjang terbang ke pojok kamar. Berdiri sambil menundukan kepalanya.
Kulanjutkan berjalan. Pintu sudah ada dihadapanku. Saat akan kuraih gagang pintu ....
"Dia bukan Mbok Wati. Jangan buka!" ucapnya lirih.
Tok!
Tok!
"Non Novita!"
Ada sedikit keraguan di dalam hati. Apa kali ini aku harus percaya ucapannya?
Jemariku sudah memegang kunci yang menggantung di lubang kunci. Hanya tinggal satu kali gerakan lagi, pintu akan terbuka.
"Kali ini percayalah padaku. Dia bukan Mbok Wati," ucapnya lagi. Membuatku menahan niat untuk membuka pintu. Suasana di luar pun tiba-tiba terasa sunyi. Tidak terdengar lagi suara Mbok Wati meminta tolong.
"Mbok?" tanyaku. Tak ada jawaban.
"Mbok?"
Dug!
Suara benturan kencang di pintu. Kaget, spontan aku mundur beberapa langkah. Menjauh dari pintu.
"BUKA!" Suara Mbok Wati terdengar beda.
Dug!
Dug!
Pintu terus digedor.
"BUKA!" Semakin lama suaranya semakin berat.
Aku terus mundur sampai mendekati tempat tidur. Sedangkan si Wanita Rambut Panjang masih berdiri di pojokan dengan kepala menunduk.
"BUKA!"
"DASAR ANAK KURANG AJAR!"
Aku yakin itu bukan Mbok Wati. Suaranya seperti seorang laki-laki dan berat.
"PERGI!" teriakku, sambil melompat ke atas tempat tidur.
"SEKARANG GILIRAN KAMU!"
Dug!
Sepanjang malam aku bersembunyi di balik selimut. Suara pintu yang digedor terus terdengar, bersamaan dengan ancaman demi ancaman yang diucapkan sosok di balik pintu itu.
*
Pukul 5 pagi, semuanya kembali tenang. Tak terdengar lagi suara-suara menakutkan dari luar kamar. Aku tetap duduk di atas tempat tidur. Menunggu sampai matahari terbit.
Ketika sinar matahari pagi mulai menembus celah-celah gordin. Aku memberanikan diri untuk bangkit. Berjalan menuju pintu. Tubuh ini rasanya lemas sekali.
Krek!
Pintu terbuka sedikit. Kuamati situasi di luar kamar. Hening. Seperti tidak ada siapa-siapa.
"Apa Mbok Wati masih tidur?" pikirku.
"Mbok!" Kupanggil Mbok Wati dengan suara sekeras-kerasnya.
"Mbok!"
Aku melangkah ke luar kamar. Berjalan ke ruang tengah. Tidak lupa menyalakan televisi dengan volume kencang. Untuk memecah keheningan.
"Mbok!" panggilku seraya berjalan menuju dapur. Masih tidak ada jawaban.
Bulu kudukku meremang saat melewati koridor arah dapur. Sampai di dapur, semua peralatan masak masih tersusun rapih di tempatnya.
"Mbok?" Aku berjalan ke arah kamarnya.
Pintu kamarnya tertutup rapat. Selama ini, Mbok Wati tidak pernah terlambat bangun. Jangan-jangan Mbok Wati benar-benar pergi dari rumah?
Tok!
Tok!
"Mbok!"
Kuulurkan tangan, meraih gagang pintu.
Krek!
Pintu terbuka.
"MBOK," teriakku saat melihat pemandangan mengerikan di dalam kamar.
Di atas tempat tidurnya, Mbok Wati sudah terbujur kaku, dengan mata melotot menghadap langit-langit. Kamarnya terlihat sangat berantakan.
Tubuhku seperti kehilangan energi. Kaki pun seperti kehilangan pijakan. Aku terduduk lemas. Kepala mulai terasa berat. Brug! Jatuh pingsan.
*
"Novita."
"Novita Bangun, Sayang."
"Novita."
Samar-samar terdengar seseorang memanggilku. Aku membuka mata, merasakan tubuh ini seperti melayang.
"Ayah," ucapku lemah.
"Kamu gak apa-apa, Sayang?"
"Ayah ... Mbok Wati."
"Iya, ayah tau. Kamu harus sabar dan kuat, Ya," ucap ayah sambil menggotong tubuhku menuju kamar.
Sesampainya di kamar, ayah langsung membaringkan tubuhku di atas kasur. Lalu membawakanku segelas air dan kembali ke luar kamar.
Tangisku pecah. Menyesal. Seandainya tadi malam membukakan pintu, mungkin nasib Mbok Wati tidak akan seperti itu. Secara tidak langsung, aku memiliki andil dalam kematian Mbok Wati.
*
Terdengar suara mobil ambulan di depan rumah. Kuusap air mata, berusaha tetap tegar. Lalu, meminum segelas air yang tadi ayah bawakan. Setelah agak tenang, aku bangkit dan pergi ke luar kamar.
Di ruang tengah, ayah sedang berbicara dengan dua orang polisi. Saat melihatku berdiri dari kejauhan. Dia langsung menghampiriku.
"Sayang, kamu jangan ke luar dulu," bisiknya, sambil mengantarku kembali ke kamar.
"Kamu udah makan?" tanya Ayah.
Aku menggelengkan kepala.
"Nanti ayah minta Ahmad beli makanan." Ayah mendudukanku si atas tempat tidur.
"Ayah," ucapku.
"Ya, Sayang?"
"Apa polisi tau, kenapa Mbok Wati meninggal?"
"Belum, Sayang. Semuanya harus lewat uji forensik dulu."
"Apa polisi punya perkiraan tentang waktu kematian Mbok Wati?"
"Ada kemungkinan Mbok Wati meninggal dari semalam," balas Ayah.
"Emangnya kapan kamu terakhir ketemu Mbok Wati?" sambungnya.
"Terakhir kali Novita ketemu Mbok Wati pas anterin makan siang. Abis itu ...." Aku hentikan ucapan, belum mau bercerita tentang kejadian semalam.
"Abis itu?"
"Abis itu ... Novita gak liat Mbok Wati lagi."
"Berarti kamu belum makan dari semalam?"
Aku menganggukan kepala.
"Ya ampun, gimana kalau kamu sakit."
"Dari semalam aku udah chat ayah tapi gak dibales. Telepon juga gak diangkat. Ayah lagi ngapain sih?"
"Maafin ayah, Sayang. Semalam ada acara di rumah klien sampai lewat tengah malem. Ayah lupa nyalain HP-nya," jelas Ayah.
"Kamu mau makan apa?"
"Terserah," balasku singkat.
"Ya udah, ayah ke luar dulu ya. Nanti Ahmad anter makanan ke sini."
Aku menganggukan kepala. Kemudian ayah pergi meninggalkan kamar.
Namun, pikiranku masih belum tenang. Terus memikirkan kejanggalan dari rangkaian peristiwa yang terjadi semalam. Mulai dari suara benda terjatuh, jeritan, Mbok Wati yang mengetuk pintu, kedatangan si Wanita Berambut Panjang dan ancaman dari sosok misterius. Beberapa pertanyaan pun muncul.
Apakah si Wanita Berambut Panjang ikut terlibat? Sepertinya dia mengetahui sesuatu. Dia juga yang memintaku untuk tidak membuka pintu. Lalu ... pertanyaan lain muncul.
Bagaimana bila orang yang semalam meminta tolong itu benar-benar Mbok Wati? Rasanya aku tak sanggup menanggung rasa penyesalan seumur hidup. Apalagi sebelumnya, aku sudah menuduhnya melakukan praktik ilmu hitam.
Argh! Semua pertanyaan ini benar-benar membuatku bingung. Semakin bingung ketika harus memikirkan tentang siapa sosok misterius yang terus mengancamku sepanjang malam.