Di dunia di mana para dewa pernah berjalan di antara manusia, sebuah pedang yang terlupakan bangun, melepaskan kekuatan yang dapat mengubah dunia. Seorang pemuda, yang ditakdirkan untuk kehebatan, menemukan sebuah rahasia yang akan mengubah nasibnya, tetapi dia harus memilih pihak, pilihan yang akan menentukan nasib dunia. Cinta dan kesetiaan akan diuji ketika dia menjelajahi dunia sihir, petualangan, dan roman, menghadapi ancaman yang dapat menghancurkan jaringan eksistensi. Warisan Para Dewa menunggu... Apakah kamu akan menjawab seruannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pramsia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29: Ancaman Bayangan
Cahaya menyilaukan dari bola cahaya Mei membuat sosok bayangan itu tercengang sesaat, memberikan Jian, Kai, dan Mei kesempatan untuk menarik napas lega. Udara di ruangan, yang sebelumnya dipenuhi bau darah dan logam terbakar, kini membawa aroma samar dan manis, seperti bunga-bunga Aurora yang sedang mekar. Sosok bayangan itu, bentuknya kini terlihat jelas, adalah kumpulan kegelapan yang mengerikan, matanya menyala dengan api merah menyala. Ia mundur, suaranya bercampur dengan rasa takut, "Ini... ini tidak mungkin."
"Ini adalah kekuatan cahaya," tegas Mei, suaranya tetap teguh meskipun ketegangan mencengkeramnya. "Dan ini akan menghentikanmu."
Sosok itu, matanya terpaku pada bola cahaya, mendesis, "Aku akan menghancurkanmu." Ia menerjang ke arah Mei, kecepatannya menakutkan, tetapi sebelum ia bisa mencapai Mei, bola cahaya itu meledak dalam kilatan menyilaukan lainnya, mengirimkan gelombang kejut yang mengguncang ruangan. Sosok itu terhuyung mundur, kewalahan oleh kekuatan cahaya yang kasar. Cahaya bola cahaya itu menerangi ruangan, mengungkap kebenaran mengerikan dari bentuk makhluk itu.
"No..." sosok itu berdesis, suaranya dipenuhi dengan rasa takut. "This... this cannot be..."
Ia mundur, menghilang ke dalam bayangan. Cahaya bola cahaya itu perlahan meredup, tetapi cahaya lembut tetap ada, memandikan ruangan dengan kehangatan lembut. Jian, Kai, dan Mei saling bertukar pandang, wajah mereka terukir dengan campuran keterkejutan dan harapan.
"Apa yang terjadi?" tanya Kai, suaranya dipenuhi kekaguman.
"Aku tidak tahu," jawab Mei, tatapannya masih tertuju pada bola cahaya. "Tapi aku merasa... kita memiliki kesempatan."
Jian mengangguk. "Kita harus menemukan artefak itu," katanya. "Kita harus menyegel Gerbang Kegelapan sebelum kegelapan itu menguasai semuanya."
Ketiganya mengarahkan perhatian mereka ke peta kuno yang terukir di atas meja batu, mata mereka dipenuhi dengan tekad. Perjalanan mereka baru saja dimulai.
Ruangan itu hening, satu-satunya suara adalah dengungan samar dari bola cahaya. Jian, masih gemetar, mengulurkan tangan untuk menyentuh buku itu. Sampul kulitnya dingin, hampir seolah-olah hidup. Ia membalik halaman-halaman yang rapuh, masing-masing dipenuhi dengan simbol-simbol rumit dan tulisan-tulisan rahasia.
"Buku ini... berbicara tentang Gerbang Kegelapan," bisik Jian, suaranya nyaris tidak terdengar di atas kesunyian. "Dikatakan bahwa Gerbang itu adalah portal ke dimensi lain, dimensi yang dipenuhi dengan bayangan dan kegelapan. Dikatakan bahwa Gerbang itu disegel sejak lama oleh tiga artefak: Batu Cahaya, Pedang Kegelapan, dan Gelang Kehidupan."
Kai, wajahnya pucat, menatap buku itu dengan campuran rasa takut dan rasa ingin tahu. "Jadi... makhluk bayangan itu... mereka mencoba membuka Gerbang?"
Mei, matanya menyipit, mengangguk. "Mereka ingin melepaskan kegelapan ke Aurora. Kita harus menghentikan mereka, tidak peduli berapa pun biayanya."
"Tapi bagaimana?" tanya Kai, suaranya dipenuhi keputusasaan. "Kita hanya tiga orang. Bagaimana mungkin kita bisa menghentikan mereka?"
Jian, tatapannya tertuju pada peta, menunjuk ke serangkaian simbol yang tampaknya terhubung dengan tiga artefak. "Peta ini... menunjukkan kepada kita di mana harus menemukan artefak itu. Kita harus menemukannya sebelum terlambat."
"Tapi makhluk bayangan itu... mereka ada di mana-mana," kata Kai, suaranya gemetar. "Bagaimana mungkin kita bisa melewati mereka?"
Mei, tangannya masih menggenggam bola cahaya, tersenyum samar. "Kita memiliki kekuatan cahaya di pihak kita. Dan kita memiliki satu sama lain."
Bola cahaya itu, yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai sumber cahaya dan alat pertahanan, kini memancarkan aura yang kuat, seperti jantung yang berdetak. Cahaya itu berdenyut dengan irama yang misterius, memberikan mereka kekuatan dan harapan.
Ketiga sahabat itu saling memandang, mata mereka dipenuhi dengan tekad. Mereka tahu bahaya yang mengintai di depan, tetapi mereka tidak akan menyerah. Mereka akan berjuang untuk Aurora, tidak peduli berapa pun biayanya.
"Kita akan menemukan artefak itu," kata Jian, suaranya tegas. "Kita akan menyegel Gerbang Kegelapan. Dan kita akan menyelamatkan Aurora."
Ketiga sahabat itu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar, wajah mereka diterangi oleh cahaya lembut dari bola cahaya. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka akan panjang dan berbahaya, tetapi mereka siap menghadapi tantangan. Mereka siap menghadapi kegelapan.
( Lanjut Chapter 30 )