Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apel
“Terima kasih ya,” ujar Dizza seraya mengambil uang kembalian yang disodorkan oleh pedagang buah di hadapannya.
“Datang lagi ya,” sahut laki-laki paruh baya tersebut tersenyum sumringah. Dizza menganggukan kepala lalu mulai menjauh dari sana sambil menenteng plastik berisi buah apel ditangan.
Hari libur kuliah memang selalu Dizza manfaatkan untuk membuat sesuatu, dan kali ini dia ingin membuat apple pie. Hanya saja dia tidak punya buah apel yang mencukupi untuk membuat hidangan tersebut. Makanya Dizza memilih untuk pergi ke pasar sekalian berbelanja kebutuhan dapur yang sekiranya sudah memerlukan penggantian karena stock yang menipis.
Sambil berjalan, tiba-tiba ponsel di sakunya bergetar membuat gadis itu memindahkan sebelah kantong belanjaan yang ada di kedua tangannya ke salah satu hanya untuk sekadar merogoh sakunya dan mengecek ponselnya. “Yo, Levin?” sapa Dizza. “Aku sedang tidak di rumah,” kata Dizza lagi setelah mendapatkan pertanyaan dari sebrang telepon.
“Tidak, aku mau mampir-mampir dulu soalnya. Lagipula kau mau apa? tiap gabut selalu saja mendatangi rumahku,” timpal Dizza lagi.
“Sudah pulang lagi saja sana hush hush… jangan menunggu. Sudah ya, aku mau melanjutkan belanja lagi. Bye,” kata Dizza menutup sambungan telepon lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku kembali. Namun ketika dia sedang sibuk sendiri, tiba-tiba saja …
“Awas!”
Dizza menoleh. Matanya membelalak lebar ketika melihat sepeda dengan muatan sayuran yang melaju cukup kencang ke arahnya. Dizza segera menghindar secepat yang dia bisa, tetapi sayangnya dia agak sedikit terlambat sehingga sepeda tersebut masih bisa mengenai sebagian tubuhnya hingga membuat Dizza kehilangan keseimbangan dan terhuyung hingga plastik yang berisi buah apel ditangannya lepas.
“Lain kali kalau berjalan itu dipinggir!” teriak pengendara sepeda tersebut yang bahkan tidak meminta maaf padahal jelas-jelas posisi Dizza sudah berada dipaling pinggir. Dia sendiri saja yang membawa muatan terlalu banyak. Sudah begitu dia bahkan tidak berhenti sedikit pun untuk melihat keadaan Dizza.
Dizza yang memang pada dasarnya bersumbu pendek langsung berteriak pula. Membalas tudingan tak berdasar itu dengan seluruh sumpah serapah. Dia tidak peduli meski dirinya sudah jadi tontonan beberapa orang. Tidak ada yang memalukan, jika bukan dirinya yang berbuat salah. “Dasar tidak bertanggung jawab, brengsek!” gerutu Dizza setelah dia merasa cukup melampiaskan amarahnya.
Dia lalu menatap pada apel-apel yang berserakan dan menggelinding kesana kemari. Padalah apel-apel itu adalah apel yang dia pilih dengan penuh pertimbangan dan hati-hati. Tetapi gara-gara orang tidak bertanggung jawab sekarang apel tersebut malah berada di tanah.
Dizza memunguti semua apel yang berada paling dekat dengan jangkauannya, dengan bibir yang tidak henti mengucap sumpah serapah seiring pergerakannya.
“Kurasa ini juga milikmu.”
Dizza mengangkat kepalanya yang tengah menunduk memungut sebuah apel. “Ah, iya kurasa begitu,” jawab Dizza sambil menerima apel yang diberikan kepadanya oleh orang tersebut tanpa melihat siapa yang sedang memberinya bantuan karena dia sibuk memunguti apel-apel lain dan mengumpulkannya di satu titik. “Terima kasih,” ujar Dizza.
“Kamu perlu plastik baru untuk membawa apel-apel itu,” tutur wanita itu lagi.
“Sepertinya begitu,” timpal Dizza sambil menghela napas.
“Tunggu sebentar,” kata wanita itu lalu meletakan tas kertas yang dia bawa untuk kemudian berlari menuju ke sebuah toko terdekat dan kembali beberapa saat kemudian. “Ini,” kata wanita itu menyerahkan sebuah kantong dari kain kepada Dizza.
“Terima kasih banyak, eh—” saat itu lah Dizza baru melihat siapa yang sedang membantunya sekarang.
“Senang bisa membantu,” kata wanita itu.
“Bu Rowenna?”
“Halo Dizza,” kata wanita itu. “Orang itu benar-benar tidak bertanggung jawab, menabrakmu lalu pergi begitu saja. Apa kau terluka Dizza?”
“Saya baik-baik saja kok, terima kasih sebelumnya,” ujar Dizza lagi.
“Syukurlah kalau begitu,” kata Bu Rowenna. “Oh astaga!”
“Ada apa?”
“Aku lupa kalau aku harus menemui seseorang. Mungkin saja dia sudah menungguku sekarang di taman kota,” jawab Bu Rowenna yang tampaknya cukup terburu-buru. “Kalau begitu aku pergi dulu ya, Dizza. Sampai jumpa,” katanya lagi dengan ramah sambil melambaikan tangan dan sedikit berlari kecil menjauh dari Dizza.
Ketika itulah, pandangan mata Dizza terpaku pada tas kertas yang bukan miliknya. “Ya ampun, kurasa ini milik Bu Rowenna.” Dizza mencari keberadaan wanita itu. Tetapi sialnya dia sudah tidak ada disana.
“Kalau tidak salah tadi dia bilang taman kota, kan? apa boleh buat. Dia sudah membantuku maka kali ini biar aku yang membantunya.” Dizza meraih tas kertas yang tertinggal tersebut lalu bermanuver menuju ke taman kota.
***
Dizza memasuki taman kota yang sore itu suasananya agak ramai. Gadis itu mengedarkan pandangannya mencari Bu Rowenna dan menemukan wanita itu duduk di salah satu bangku kayu. Dengan cepat Dizza melangkahkan kakinya menuju tempat dimana sang dosen duduk.
“Bu Rowenna!”
Wanita itu menoleh. “Eh, Dizza?”
“Kurasa ini milikmu.” Dizza mengangkat tas kertas yang dia tentang ditangan kanannya.
“Ah, iya benar itu milikku.” Dengan cepat Bu Rowenna mengambil tas kertas itu dari Dizza. “Terima kasih banyak ya. Aku benar-benar putus asa tadi mencarinya. Padahal mau kuberikan pada seseorang,” ucap wanita itu.
Dizza mengangguk. “Untungnya ada pada saya. Apa ini hadiah untuk seseorang?” tanyanya.
Bu Rowenna tersenyum. “Ya, untuk orang yang berarti untukku,” jawabnya.
“Pacarnya Bu Rowenna?”
Dia tersenyum dan ada sedikit rona merah diwajahnya. “Bukan, tapi aku berharap bisa menjadi pacarku.”
“Jadi, sedang pendekatan,” kata Dizza.
Bu Rowenna mengangguk. “Haha, iya bisa dibilang begitu. Kalau berhasil aku mau menyatakan perasaanku padanya sekarang,” ujarnya.
“Benarkah?”
“Ya,” jelas Bu Rowenna.
“Semoga berhasil kalau begitu,” kata Dizza menyemangati. “Semangat Bu Rowenna.”
Bu Rowenna mengangguk penuh semangat. “Terima kasih banyak.”
“Kalau begitu saya permisi dulu, sampai jumpa lagi di kampus Bu Rowenna,” tutur Dizza melambaai dan meninggalkan Bu Rowenna. Dia merasa ikut berdebar-debar ketika melihat seberapa antusiasnya sang dosen muda itu menceritakan secuil kisahnya. Ya, jatuh cinta memang kadang membuat semua orang terlihat jauh lebih muda dan semangat. Begitu pula yang Dizza lihat dari Bu Rowenna. Meski sebenarnya dia sedikit penasaran dengan lelaki beruntung yang telah menarik perhatian wanita dewasa itu. Pasti dia pria yang tampan kan? karena Bu Rowenna sendiri adalah wanita yang sangat cantik.
“Maaf, apa saya membuat anda menunggu lama?”
Dizza yang belum jauh melangkah segera menoleh karena dia mengenal suara itu. Tubuhnya mendadak kaku menyaksikan adegan tersebut dari posisinya berdiri sekarang.
“Tidak apa-apa, Edzhar. Aku juga baru datang kok.”
Dizza terdiam di tempatnya. Tidak bisa mengalihkan sama sekali pandangan matanya dari laki-laki yang baru saja datang menemui Bu Rowenna.
Jadi orang yang berarti untuk Bu Rowenna adalah Edzhar?
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱