Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Memastikan Sesuatu
3 hari Sean dan Ajeng tinggal bersama dengan Mama Mona.
Bukan hanya Sean yang terus mengawasi sikap sang mama, tapi Ajeng pun selalu menilai.
Dalam hati kecilnya Ajeng mulai berkata harusnya tidak seperti ini.
Jam 11 siang, Sean dan Ajeng sudah tiba di apartemen sehabis pulang sekolah dan mereka tidak melihat mama Mona di sana, bahkan pelayan pun tidak ada karena pelayanan tersebut datang di waktu pagi dan sore.
Rasa sepi seperti ini tidak akan pernah Sean rasakan jika tinggal di rumah Aditama. Di sana banyak orang yang bisa menemani Sean.
Bahkan Malvin pun pasti sudah menunggu kepulangannya.
"Mbak Ajeng," panggil Sean dengan suara yang cukup pelan.
Saat ini mereka berdua sedang berada di ruang tengah, Sean duduk di atas sofa sementara aja berjongkok melepaskan sepatu sang anak asuh.
"Kenapa Sen? mau lihat TV?"
Sean menggeleng.
"Lalu?"
"Kenapa aku lahir ke dunia ini kalau tidak diinginkan oleh kedua orang tuaku?"
Deg! pertanyaan Sean itu seketika menyayyat hati Ajeng, dia tak bisa langsung menjawab, karena tiba-tiba lidahnya pun terasa kelu.
Mereka berdua sudah seperti sama-sama tahu, bagaimana sikap mama Mona selama mereka tinggal di sini.
Ajeng lantas sedikit bangkit dan memeluk Sean erat, saat dia melepaskan pelukan itu, Ajeng melihat Sean yang tersenyum miris.
Ternyata benar apa kata papa Reza, keberadaan Sean disini malah semakin membuatnya merasa terluka. Batin Ajeng.
"Jangan bicara seperti itu Sen, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya."
"Lalu kenapa mama tetap pergi bekerja saat aku tinggal disini, padahal aku hanya diberi waktu selama 1 Minggu oleh kakek."
"Mungkin pekerjaannya mendesak."
"Papa juga, kenapa dia selalu pergi bekerja dan tidak ingin menghabiskan waktu bersama ku!!" Suara Sean mulai nampak meninggi.
Ajeng lihat degan jelas ada genangan air bening dari kedua matanya.
Sumpah, saat ini juga Ajeng ingin sekali menangis, tenggorokannya bahkan terasa tercekat, tapi sekuat tenaga dia tahan diri. Harus kuat agar Sean juga kuat.
"Papa adalah tulang punggung keluarga, memang sudah tugasnya bekerja Sen." Terang Ajeng pula.
Dan saat itu juga Sean tak mampu lagi menahan air matanya. Hanya di hadapan mbak Ajeng-nya Sean menunjukkan sisi lemah itu.
Dan melihat Sean yang menangis, akhirnya Ajeng pun ikut menangis juga.
Mereka lantas saling memeluk erat, tidak peduli jika di salah satu kaki Sean masih terpasang sepatu.
"Kenapa mbak Ajeng menangis juga?" tanya Sean, setelah cukup lama mereka saling menumpahkan rasa dan kini saling melerai pelukan.
Ajeng juga sudah duduk si samping Sean.
"Ya nangis lah, liat cicak mati aja mbak Ajeng sedih, apalagi liat kamu nangis, ya mbak Ajeng tambah sedih," balas Ajeng, mencari-cari alasan.
Karena jika seperti ini jadinya, maka Ajeng pun harus siap untuk meninggalkan Sean, anak asuh yang sudah sangat dia sayangi. Pergi seperti apa yang papa Reza ucapkan dulu.
Jika sampai dia menyakiti anakku, bersiaplah untuk segera keluar dari rumah Aditama.
Dan mendengar jawaban mbak Ajeng, Sean malah tertawa.
"Masa aku disamakan dengan cicak," keluhnya.
Ajeng tersenyum kecil.
"Mbak, aku punya rencana," ucap Sean lagi.
"Apa lagi Sen? mbak udah kapok ikut rencana mu."
Namun Sean malah tersenyum miring, seolah lupa jika beberapa saat lalu dia baru saja menangis dengan kuat.
Sean lalu melepas sepatunya sendiri dan menarik mbak Ajeng untuk mengikuti langkahnya.
Masuk ke dalam ruang kerja sang ibu.
Mengambil buku sketsa ibunya dan mencoret-coret.
"Sen!" pekik Ajeng, tapi dia terlambat karena kini buku itu sudah tidak berbentuk.
"Tidak apa-apa Mbak, aku hanya ingin memastikan sesuatu," ucap Sean.
Sementara Ajeng sudah menganga, lagi-lagi ketakutan sendiri. Dia sangat tahu jika buku itu begitu penting bagi Mama Mona.
Menjadi pengasuh Sean, Ajeng selalu mendapatkan serangan jantung.