"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Menikahlah Dengan Ailard
...Happy reading!...
...•••...
“Kamu berani main-main dengan saya?” Ailard mendengus, semakin kehilangan kesabaran melihat Kiran yang tetap keras kepala, menolak masuk ke dalam mobil.
“Memohon padaku, Mas,” jawab Kiran sambil menatapnya dengan tatapan penuh tantangan.
“Sinting!” geram Ailard, matanya berkilat marah.
“Yasudah, aku ngga mau datang ke rumah ibumu,” ucap Kiran santai, membuat emosi Ailard makin memuncak.
“Shit!” Ailard mengumpat kesal. Perempuan ini selalu saja menguji batas sabarnya.
“Kirana, saya bisa lakukan apapun sekarang kalau kamu masih menolak!” ancamnya.
“Yasudah, lakukan saja. Aku ngga takut,” balas Kiran, tetap teguh pada pendiriannya.
“Kamu memangkas waktu saya banyak sekali, masuk atau saya—”
“Atau apa? Mau beritahu adikku? Ya silakan saja.”
Ailard semakin berang dibuatnya. “Fuck you Kirana! Okey, I beg you,” katanya dengan nada suara pelan, menahan amarah.
Kirana tersenyum kecil. “What? Aku nggak denger, Mas.”
“CK! I'm beg you, puas?” (saya mohon padamu).
“Nggak, coba ucapkan dalam bahasa Indonesia.”
"Sialan kamu Kirana! Masuk atau saya paksa kamu kedalam!"
Sepertinya kali ini Kiran harus masuk kedalam mobilnya, tenang saja ia tak akan mudah di sentuh lagi oleh nya.
"Transaksi diterima."
Ailard melotot makin panas saja, "benar-benar minta dihukum kamu ini Kiran."
"Jalan Mas!"
"Shut up!"
Sepanjang perjalanan itu, Kiran benar-benar tak memiliki rasa takut lagi pada si duda dominan ini. Ailard sebenarnya bisa saja langsung menyerangnya dengan cara apapun, namun ia begitu yakin Jika Ailard tak akan bisa mungkin melakukannya.
Rencana!
Kirana memiliki rencana pembalasan dendam untuk Ailard, lihat saja nanti.
Begitu mobil tiba setelah menempuh perjalanan setengah jam, mereka segera turun. Memasuki rumah besar keluarga Wiratama, Kiran dan Ailard langsung disambut oleh tatapan mengintimidasi dari beberapa anggota keluarga yang sudah menunggu di ruang tamu.
“Mbak Kiran...” Rosemary berlari ke arahnya dan langsung memeluknya erat begitu Kiran berjongkok.
“Mbak ke mana aja? Aku kangen banget. Mbak marah ya sama Rose karena sering nakal? Janji deh nggak nakal lagi.” Rose mengulurkan jari kelingkingnya dengan wajah gemas. Kiran menyambut jari kecil itu, membuat Rose tersenyum lebar, senang bukan main.
“Mbak juga kangen, ini kok kurusan? Kamu susah makan ya?” tanya Kiran dengan nada lembut.
“Nggak kok Mbak, cuma jadi nggak mood aja.” Rose cemberut.
“Nggak boleh gitu lagi ya. Mau Mbak ada atau nggak, kamu harus tetap makan.”
Rose mengangguk pelan. “Tapi janji ya, Mbak jangan tinggalkan Rose lagi?”
Kiran tersenyum dan mengusap kepala Rose dengan lembut. “Iya, Mbak janji.”
“ASIK!!” seru Rose penuh antusias.
Tak lama, suara riuh terdengar dari arah tangga saat keempat anak kembar dari pasangan Leonidas dan Aira berlarian menuruni tangga. Di belakang mereka, Aira terlihat menggandeng dua anaknya, Aisha dan Aida.
“Mbak,” sapa Kiran sambil tersenyum ke arah Aira.
“Kiran, apa kabar?” tanya Aira ramah.
“Baik, Mbak. Mbak dan si kembar gimana?”
“Kami baik-baik saja. Oh iya, kami mau ke taman kota. Pamit dulu ya, Kiran,” ucap Aira sambil melirik Ailard dengan pandangan tajam. “Ailard, awas kalau macam-macamin Kiran. Tak uwes-uwes palamu nanti!”
Kiran menahan senyum mendengar sindiran Aira, sementara Ailard hanya mengangguk tanpa bicara.
“Dadah, Mbak Kiran!” Rose melambaikan tangan sebelum pergi bersama Aira dan sepupu-sepupunya.
“Mbak Kiran, kalau Om Ailard nakal sama kamu, bilang aja sama Bara ya!” seru Bara, anak kedua Leo dan Aira, sambil melirik tajam ke arah Ailard sebelum mereka semua keluar dari pintu. Kiran tersenyum tipis, namun ekspresi Ailard tampak dingin.
...•••...
Setelah semua pergi, Kiran dan Ailard duduk di ruang tamu, terpisah jarak dengan pandangan mengintimidasi dari beberapa anggota keluarga yang mengarahkan perhatian pada mereka.
“Kirana, apa kabar?” suara Bu Tiara terdengar lembut.
“Baik, Bu. Ibu bagaimana?”
“Baik, setelah lihat kamu sekarang. Kemarin-kemarin ibu merasa tidak tenang. Semua ini karena orang yang duduk di depan ibu.” Bu Tiara melirik tajam pada Ailard, menyindirnya dengan jelas.
Ailard hanya bisa mendengus pelan, menahan diri
Bu Tiara menarik napas panjang sebelum memulai berbicara lagi, "Ibu...ibu ada salah apa sama kalian?
Kirana menundukkan kepala. “Ini semua salah Kirana, Bu. Saya sudah merendahkan diri demi membayar hutang-hutang keluarga. Maaf, Bu, saya sudah menghancurkan kepercayaan ibu. Saya mohon ampun…”
Bu Tiara menatapnya penuh keprihatinan, kemudian bertanya dengan lembut, “Kirana, kamu diancam tidak sama Ailard?”
Kirana menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Hanya saja Mas Ailard terkadang suka memaksa dan melakukannya tanpa tahu tempat.”
Bu Tiara menutup mata, merasakan sakit yang begitu dalam mendengar pengakuan Kiran.
“Kamu dikasari tidak? Apa Ailard main tangan, pukul kamu?” tanya Bu Tiara, suaranya sedikit bergetar.
Kirana tak langsung menjawab, ia melirik sejenak ke arah Ailard yang menatap dingin ke depan. “Tidak, Bu. Mas Ailard tidak pernah main tangan.”
Bu Tiara menepuk punggung tangan Kirana, seolah ingin meyakinkan dan menenangkannya. “Kirana, kamu tidak perlu takut. Bilang saja semuanya. Bila perlu, ibu tidak akan ragu untuk mempolisikan Ailard. Ibu tidak main-main, nak.”
Kirana menelan ludah dan berusaha untuk berbicara lagi. “Tidak, Bu. Walaupun Mas Ailard sering memaksa di situasi yang tidak tepat, tapi dia tidak pernah memukul Kirana. Tangannya tidak pernah terangkat untuk melukai saya. Selama tiga tahun ini, dia tidak pernah melakukan kekerasan fisik.”
Bu Tiara menghela napas panjang, perasaan lega dan sedih bercampur menjadi satu. “Syukurlah kalau begitu, Nak."
Benar. Ailard tak pernah berani mengangkat tangannya untuk melukai fisik perempuan, satu-satunya kewarasan dan kebaikan yang masih bersarang didalam pikiran, hati dan seluruh jiwa nya adalah memegang teguh bahwa ia tak akan pernah sakiti tubuh perempuan.
Bu Tiara memandang lurus kearah putranya. "Tapi itu semua tak akan bisa membuat ibu lega, Ibu marah sama Ailard. Ibu marah sama kamu Ilard, kenapa kamu tega lakukan ini? Kenapa kamu tekan keadaan Kiran seperti ini?"
Nada suaranya mulai bergetar. “Dia sudah tidak ada bapak dan ibunya. Dan kamu... kamu ini orang tua, Ailard. Kamu juga punya anak perempuan. Pernahkah kamu berpikir, bagaimana kalau Rose suatu hari berada di posisi seperti ini? Sakit, bukan? Hati ini akan terluka, marah luar biasa.”
Bu Tiara menarik napas dalam-dalam, menahan isak yang hampir pecah. “Gagal dalam pernikahanmu yang dulu, itu adalah bentuk penyelamatan dari Tuhan. Itu seharusnya menjadi pelajaran untukmu, Ilard, bukan alasan untuk kamu berbuat seenaknya. Kamu diberi kesempatan untuk bahagia dengan Rose dan keluargamu sekarang, tapi bukan dengan cara seperti ini.” Air mata pun akhirnya jatuh, mengalir di pipi Bu Tiara saat menasihati putra keduanya dengan perasaan hancur.
Cherry, yang duduk di samping, mengusap punggung ibunya lembut, mencoba menenangkan perasaan ibunya yang tengah remuk oleh perbuatan anaknya sendiri.
Di tengah suasana penuh keharuan itu, Pak Reihan, dengan suara rendah dan penuh wibawa, akhirnya membuka suara. “Nak...,” katanya, memanggil Kirana dengan nada lembut. “Atas nama keluarga besar Wiratama, kami meminta maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang sudah putra kami lakukan padamu, Kiran. Kami semua turut bertanggung jawab atas ini.”
Pak Reihan melanjutkan dengan tulus, “Kamu boleh menuntut apapun dari kami, Kiran, untuk menghapus luka yang telah kau alami. Keluarga ini ingin menebus segala kesalahan yang ada, Nak. Kami akan penjarakan Ailard kalau kamu mau, kami akan pastikan anak itu mendekam dalam sel penjara."
Leonidas yang sejak tadi hanya diam, menahan amarah dan kekecewaan, akhirnya angkat bicara dengan nada tegas dan dingin, "Papa benar, Kiran. Apa pun keputusanmu, keluarga ini akan mendukungmu. Ailard harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan saya pribadi tidak akan membiarkan dia melukai kamu lagi."
Ailard menatap kakaknya dengan wajah keras, merasa semakin terpojok, namun tak ada lagi kata-kata pembelaan yang ia ucapkan. Wajahnya tampak tegang, menyadari bahwa keluarganya sendiri tak lagi berpihak padanya.
Leonidas melanjutkan, menatap Ailard tajam, “Apa yang sudah kamu lakukan ini mencoreng nama keluarga. Kamu mungkin adik Abang, tapi Abang tidak akan menoleransi tindakan yang sudah kamu lakukan pada Kiran."
Kirana, yang sejak tadi mendengar dengan perasaan campur aduk, merasa kelu lidahnya. Ia tidak pernah menduga akan ada saat seperti ini, di mana seluruh keluarga Wiratama berdiri di belakangnya, bahkan siap menuntut keadilan untuknya.
Bu Tiara segera mengangkat tangannya, menghentikan Leonidas sebelum ia melanjutkan kata-katanya. Kemudian, ia menatap Kirana dengan lembut.
"Nak, sekarang kamu berhak memilih. Kami akan berikan kamu pilihan. Apa kamu...apa kamu ingin membawa masalah ini ke jalur hukum?"
Aira melirik Ailard, "tidak Bu. Saya tidak akan menempuh permasalahan ini ke jalur hukum, karena bagaimanpun saya juga turut bersalah. Kami melakukannya karena hubungan transaksional."
ibu Tiara mengangguk pelan, "Kalau begitu, Nak... apa kamu mau menikah dengan Ailard?"