Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Dua
Dita menatap sang suami penuh terka. Langit baru saja pulang kerja. Sampai detik ini, pria itu masih tanpa emosi berarti. Malahan, Langit cenderung tenang mirip pak Excel. Ketika akhirnya kedua mata Langit menatap Dita pun, kedua mata Langit jadi langsung dipenuhi keteduhan. Senyum hangat terbit dari bibir berisinya seiring langkahnya yang jadi mendekati Dita.
Ketulusan sekaligus cinta terpancar dari cara Langit kepada Dita. Ia meletakan tas kerja jinjing warna hitamnya begitu saha di sebelah ranjang tidurnya. Ia duduk tepat di sebelah perut Dita yang tengah istirahat baring di ranjang tidur mereka.
“Aku pikir kamu di mana. Tiduran di kasur, sementara tubuhmu tak lebih besar dari selimutnya, bikin aku kesulitan lihat kamu. Apalagi ini, ... kenapa kamu biarin kamar gelap gulita gini, hah? Sekadar lampu meja saja belum ada yang kamu nyalain,” ucap Langit yang berangsur menyalakan lampu meja di sebelahnya.
“Aku sengaja karena sedang belajar jadi bidadari dari kegelapan sih,” ucap Dita masih bertahan berbaring. Termasuk itu meski sang suami langsung menertawakannya dan beberapa kali menarik-narik hidung Dita.
“Pesek ... pesek! Kelakuanmu!” ucap Langit di sela tawanya. Jemari tangan kanannya masih sibuk mencubit, menarik-narik hidung sang istri yang memang minimalis.
“Mas ih ... udah. Takutnya, nanti anak kita hidungnya mirip aku. Kalau sampai iya, gagal deh cita-citaku punya anak yang hidungnya mirip hidung papanya! Gagal total memperbaiki keturunan!” panik Dita, tetapi sang suami malah ngakak hingga merosot ke lantai.
Untuk pertama kalinya, Langit kesulitan menyudahi tawanya. “Ya ampun perutku jadi sakit gara-gara ngetawain si Pesek!”
“Hih! Kok malah dilanjut!” omel Dita, tetapi yang ada, Langit jadi tertawa hingga histeris.
Dita yang sudah duduk selonjor, terdiam, terperangah menatap kebahagiaan sang suami. Untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, ia menyaksikan sang suami sebahagia sekarang. Seolah Langit tengah menyaksikan acara lawak yang sangat membuat pria itu tercandu-candu.
Dita tahu, suaminya mengalami kelainan sekaligus sakit mental. Hingga setiap perubahan emosi Langit termasuk emosi penuh kebahagiaan sekalipun, tetap membuat Dita waswas. Terlebih keadaan sang suami, ia khawatirkan berdampak fatal pada kehamilannya.
“Takut pasti, tetapi bukan berarti aku meninggalkannya. Sakitnya mas Langit, terlebih jika menelisik penyebabnya dan itu karena penolakan demi penolakan yang mas Langit dapatkan. Menegaskan bahwa alasan utama mas Langit terluka, murni karena mas Langit ingin dicintai juga,” batin Dita sambil memakai cadar. Langit yang sudah beres mandi, memintanya untuk menemani pria itu makan malam.
“Hari besok, jadwal kamu apa saja?” tanya Langit yang menuntun sang istri dengan hati-hati. Mereka tengah melewati anak tangga yang akan membawa mereka ke lantai bawah.
“Aku kan pengangguran sukses, Mas. Mana mungkin pengangguran sukses sepertiku punya jadwal,” balas Dita dan refleks membuat Langit menahan senyum.
“Memangnya Mas mau, nyulik aku?” sergah Dita sambil melongok wajah Langit.
“Kalau aku berani nyulik kamu, takut diculik balik sama kamu sih,” balas Langit masih menahan senyum kemudian menatap sang istri.
“Oh ya pasti. Pasti itu, Mas. Enggak mungkin enggak!” balas Dita dan lagi-lagi membuat sang suami tertawa.
Ibu Azzura yang baru meninggalkan dapur dengan sang suami, jadi ikut tertular kebahagiaan Langit. Keduanya tah hanya berdua. Sebab kini, keduanya bersama cucu kembar dari putra pertama mereka. Sepasang kembar bernama Gemintang dan Gemilang itu sudah berusia delapan tahun, hingga keduanya juga sudah paham setiap maksud keadaan. Sampai-sampai, keduanya nyeletuk bahwa uncle Langit mereka sedang sangat bahagia.
“Habis beli kinder joys satu dus kali, makanya Uncle bahagia banget! Makanya ketawanya jadi tanpa jeda,” ucap Gemilang. Bocah laki-laki itu teramat yakin, apalagi itu juga yang selalu membuatnya bahagia.
“Bukan ... itu pasti si Uncle habis nonton konsernya Lisa Blackpink!” timpal Gemintang sengaja mengoreksi anggapan kembarannya yang memang paling demen mengoleksi mainan kejutan semacam kinder joys.
Gara-gara menebak alasan Langit bahagia hingga Langit sibuk tertawa tanpa jeda, kedua bocah yang bersama oma opanya itu malah jadi berdebat. Keduanya tak segan saling kejar, kemudian saling banting di sofa keluarga.
Awalnya, kenyataan tersebut membuat pak Excel, ibu Azzura, apalagi Dita khawatir. Sebab emosi Langit, bisa langsung kacau sewaktu-waktu pria itu merasa terusik. Namun untuk kali ini benar-benar berbeda. Langit yang memisahkan sepasang kembar itu tetap baik-baik saja. Keduanya Langit pisahkan di sofa dan ia duduk di antara keduanya. Yang Gemilang Langit beri uang untuk jajan mainan kejutan. Sementara yang perempuan Langit pesankan aksesori Lisa black pink dan memang menjadi kesukaan bocah perempuan itu.
“Uncle ... Uncle. Habis ini, kalau kami ribut banting-banting lagi, dikasih uang lagi juga enggak? Gem ... kita ribut lagi ya. Biar dapat duit lagi dari si Uncle. Jarang-jarang kan, si Uncle kasih kita duit!” ucap Gemilang bersemangat sambil melongok sang kembaran dari depan tubuh Langit.
Di balik kemarahan Langit yang langsung mengomel kepada Gemilang atau yang kerap dipanggil Gilang, ada tiga orang yang kompak balik badan karena sibuk cekikikan.
“Dikasih lagi lah Uncle ...,” rengek Gemilang paling ceriwis.
“Oke, nanti Uncle kasih. Namun habis itu, Uncle tagih ke papa Sabiru suruh ganti rugi!” balas Langit mengomel dan sukses membuat Gemilang mengaku tobat.
“Jangan dilaporin ke papa ya, Uncle. Aku sudah tobat kok. Kalau Uncle mau laporin ke papa, laporin si Mbak Gemintang saja,” berisik Gemilang.
“Ma ... suamiku sudah sembuh, ya?” lirih Dita kepada sang mama yang ada persis di sebelahnya. Ia tersenyum kepada mama mertuanya yang membalasnya dengan senyum tak kalah lega.
“Dari kemarin, setelah kita enggak sengaja bahas Agnia, ... Mas Langit jadi beda. Aku curiganya beliau memang dengar obrolan kita. Jadi, beliau seperti tercerahkan tanpa harus kita paksa,” lanjut Dita.
“Alhamdulillah Sayang, kita wajib bersyukur!” balas ibu Azzura yang kali ini mulai berkaca-kaca. Bersama Dita dan pak Excel yang mengapitnya, ia masih memunggungi sofa panjang di ruang keluarga lantai bawah.
Tanpa direncanakan, ibu Azzura, pak Excel, dan juga Dini, berangsur menoleh ke sofa Langit duduk. Di sana, Langit masih duduk diapit si kembar. Ketiganya masih terlibat dalam obrolan yang akan selalu Langit balas dengan ketus. Apalagi jika yang berbicara Gemilang. Langit lebih sering marah-marahnya ketimbang sabarnya. Beda lagi jika Langit sedang menyimak Gemintang. Langit akan sangat sabar. Kini saja, Langit sampai memangku Gemintang.
“Ya sudah ambilkan suamimu makan. Makan di ruang keluarga saja,” usul pak Excel.
“Jangan ... nanti yang ada, para cucu ikutan. Jadi enggak tertib lah,” balas ibu Azzura yang langsung membuat pak Excel kicep kemudian refleks menatap Dita.
Dita tidak bisa untuk tidak tertawa melihat ekspresi pasrah papa mertuanya. Begitulah pak Excel, selalu takluk kepada istrinya.
“Uncle Langit, makan dulu di dapur. Sudah ditungguin Onty Dita, ya!” lembut ibu Azzura yang kembali menghangatkan kebersamaannya penuh kasih sayang sekaligus perhatian.
“Leganya ... alhamdullilah ya Allah!” batin Dita sengaja menggandeng Gemilang. Karena Langit saja sampai menggendong Gemintang. Keduanya menemani mereka makan. Hingga acara makan malam mereka jadi diwarnai obrolan ajaib dari keduanya.