Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She Choose Him
----- Author's POV ----
Sanu mengelap peluhnya dengan kasar. Sesekali ia melirik ke arah Saras yang terlihat amat sangat khawatir di tempat ia duduk. Sanu terus memperhatikan bagaimana Saras tak berhenti menggigit bibir bawahnya dan sesekali ibu jarinya. Bahkan di tengah pertandingan yang mempertaruhkan martabatnya itu, ia tak bisa sekalipun memalingkan pandangannya dari Saras.
Dia seharusnya tidak menggigit bibir bawahnya sekeras itu. Batin Sanu yang mendapati bercak merah di bibir lembut istrinya itu, membuat darahnya berdesir lantaran khawatir.
"Kau sedang bertanding denganku, kau pikir ke mana matamu itu terus melihat hah?" Dany melenggang melalui Sanu dan merebut bola dari tangannya. Seolah tersadar, Sanu mengerang tertahan saat menyadari Dani sudah memasukkan bola itu ke ring.
Gemuruh penonton kembali riuh. Sanu menatap papan angka yang dibawa oleh Ramon. Kini ia tertinggal sepuluh angka.
Dengan helaan napas panjang, Sanu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia harus serius. Ia bisa memandangi Saras sepuas hati saat sudah di rumah nanti. Seharusnya ia bisa fokus memandangi bola basket itu alih-alih terus mencuri pandang ke arah istrinya.
Dasar, ada apa dengan diriku ya.
"Mana nih yang katanya orang terkeren di kampus? Begini saja kalah?" salah satu pria berotot yang merupakan kawan Dany membuka suara. Membuat penonton yang ada di sekitar lapangan memandangnya penuh tanda tanya.
Merasa tak ada yang merespon ucapan lantangnya, pria kekar itu berdehem sembari menyenggol lengan teman yang ada di sebelahnya, "Respon ucapanku bodoh."
"Oh iya! Siapa bilang dia orang terkeren? Walau tampang Dany terlihat seperti ketumbar, tetapi ia pandai bermain basket!" seru temannya itu, berusaha menimpali ucapan yang sebelumnya telah dilontarkan kawannya.
Penonton yang ada di lapangan tergelak mendengarnya.
Dany menggerakkan giginya seraya melemparkan bola basket tepat ke wajah temannya itu, "Tutup mulutmu bodoh!"
Tanpa menghiraukan rekannya yang mengerang, Dany kembali ke tengah lapangan dan mulai memantulkan kembali bola di tangannya dengan percaya diri. Sanu memandangnya dengan wajah datar tak berekspresi, tetapi Dany menyadari bahwa mata laki-laki itu kini nampak jauh lebih fokus dari sebelumnya. Entah kenapa, feeling Dany mendadak buruk karena hal itu.
Di sisi lain, Saras yang masih nampak khawatir itupun sedikit terkejut dengan aksi Dany barusan. Ia seperti melihat sisi lain Dany yang tak pernah ia saksikan. Dany yang dikenalnya adalah orang yang lucu, ramah, berpendirian, dan sedikit slengean, tetapi ia bukan orang yang kasar. Entah kenapa melihat Dany bersikap seperti itu kepada teman-temannya membuat Saras teringat akan sifat ayahnya.
Di tengah lapangan, Sanu mulai mendribel bola dengan lebih fokus. Semua shooting yang ia lemparkan memiliki akurasi yang nyaris sempurna, tak ada yang meleset.
Dengan keringat yang kian bercucuran, Sanu mulai merespon permainan keras Dany dengan menggunakan postur tingginya. Karena Sanu lebih tinggi dan tubuhnya lebih berotot dari Dany, Sanu berusaha sebisa mungkin untuk terus melemparkan shooting jarak jauh karena Dany tak bisa memblokir bolanya lantaran terhalang tinggi badannya yang tak seberapa.
Setelah tiga puluh menit lebih berhadapan dengan Dany, Sanu dapat membaca bahwa kekuatan utama yang dimiliki Dany adalah kelincahan dan kecepatannya. Tubuh Dany yang lebih kecil memungkinkannya berlari dengan cepat dan melesat menuju ring dengan sigap. Usai menyadari hal itu, Sanu terus berusaha membuat Dany tak mendapatkan bola. Karena itu, Dany terus mencoba merebut bola itu dari Sanu dengan menghantamkan tubuh dan berusaha membuat Sanu terjatuh. Alih-alih memenangkan bola, Dany justru dibuat kelelahan dan nyeri-nyeri karena ia tubuh Sanu yang sekokoh gapura desa. Meski posturnya ideal tanpa otot yang berlebihan, tetapi Sanu dapat memusatkan kekuatan tubuhnya dengan tepat.
Belasan menit berlalu dan Dany dibuat kelelahan bukan main lantaran tak kunjung mendapat bola. Sanu telah berhasil mencetak beberapa poin melalui shooting jarak jauh sehingga membuat poin mereka seri. Melihat pertandingan yang seolah kini berbalik memihak Sanu, penonton terlihat sangat senang dan girang. Meski mereka cemburu lantaran Sanu akan memenangkan Saras, tetapi setidaknya hal itu membuat mereka sadar bahwa pesona seorang Embun Sanubari tidak hanya ada di wajah dan dompetnya, tetapi juga di kemampuannya.
Sanu memantulkan bola di tangannya dengan sedikit menunduk, kakinya sedikit tertekuk seolah ia sedang melakukan kuda-kuda. Dany yang kini menatapnya dengan dada naik turun pun menaikkan sebelah alisnya. Kali ini apa lagi?
Sanu mengulas seutas senyum dan lantas dengan cepat menggerakkan tubuhnya ke arah kanan, usai Dany terkecoh, Sanu dengan sigap berlari ke arah kiri seraya mendribble bola. Langkah kakinya yang lebar berpacu dengan kekuatan larinya yang kencang membuat Dany tak kuasa mengejarnya. Dengan satu tangan, Sanu melemparkan bola itu ke dalam ring dan membuatnya memenangkan pertandingan malam itu.
Semua penonton terlihat menjerit tak kuasa menahan pesona Embun Sanubari yang kini berdiri seraya berkacak pinggang dengan tubuh basah kuyup dan rambut acak-acakan. Deretan gigi rapihnya terlihat sangat manis saat untuk pertama kalinya semua orang yang ada di lapangan itu melihat Sanu tertawa. Beberapa gadis sosialita terlihat nyaris pingsan hingga rekan satu gengnya harus membopong tubuh lunglai mereka.
Dua orang wanita nampak saling menjambak karena tak kuasa melihat senyum langka itu terukir di bibir pria pujaan mereka.
Dan di antara itu semua, Saras terlihat bangkit dari kursinya sesaat setelah Sanu memasukkan bola itu ke dalam ring. Tanpa gadis itu sadari, sebuah dorongan rasa lega membuatnya berdiri dari kursi penonton dan membuat semua orang yang ada di sekitarnya melihat ke arahnya. Saras meremas ujung bajunya saat matanya bertemu dengan Sanu. Lelaki yang sedang dikerumuni oleh tiga orang sahabatnya itu juga nampak tertegun menatap mata Saras. Senyum yang menampilkan deretan gigi putihnya perlahan layu, terganti oleh sebuah senyum tipis yang sangat manis.
Entah darimana datangnya perasaan itu, Saras tanpa sadar menggerakkan bibirnya dengan kaku, mengulas sebuah senyum simpul yang langsung menenggelamkan kedua matanya dan membentuk bulan sabit yang indah. Eyesmile yang tak pernah dilihat Sanu selama tiga bulan pernikahan mereka itu kini tersaji di depannya. Membuatnya merasa sebuah roket mendadak jatuh tepat di hatinya. Membangunkan urat-urat dan membangkitkan gelenyar aneh dalam dirinya. Jantungnya berdebar bagai gemuruh yang tiada henti. Terus bertambah cepat dan cepat hingga ia merasakan sesuatu yang sangat keras menghantam bagian belakang kepalanya.
Sanu melangkah mundur. Semua keriuhan yang ada di hadapannya mendadak hening. Ia mengerjap beberapa kali saat orang-orang berlarian di hadapannya. Sanu mengernyit dan memejamkan mata, telinganya tak mendengar apapun selain suara-suara samar bagai dirinya tengah berada di dalam air. Suara glugup-glugup membuatnya mengernyit dan menunduk, melangkah mundur hingga punggungnya membentur tiang ring basket.
Sanu seolah tak bisa menyadari apa yang ada di hadapannya. Matanya terasa buram saat dua orang di hadapannya nampak saling menghajar satu sama lain.
Ketika Sanu kembali mendapatkan kedaarannya, ia melihat semua orang tengah menatap ke arahnya dengan tatapan aneh.
Sanu menunduk dan melihat Saras tengah terduduk lemah sembari memangku laki-laki itu di pahanya yang terbuka. Air mata membanjiri kedua matanya saat ia menengadah.
Ramon dan Bastian nampak sibuk menarik Radit agar menghentikan aksi gilanya. Dany yang terbaring di paha Saras nampak sudah babak belur bersimbah darah.
"Kenapa kau terus membelanya, hah? Kau sudah menikah dengan sahabatku! Dia, sahabat baikku. Orang baik yang dengan tulus mencintaimu!" Radit berteriak, dari tempatnya berdiri. Ia masih mencoba membebaskan diri dari cengkeraman Ramon dan Bastian.
Saras tak menjawab, ia masih terisak. Tangannya gemetar berlumuran darah sembari membelai wajah Dany yang sudah babak belur.
"Tega-teganya mau berciuman dengan orang lain di depan orang yang mencintaimu! Kau yakin dia orang yang tepat Sanu? Kau yakin dia bisa mengubah hidupmu? Kurasa bukan dia orangnya. Kau terlalu baik untuk gadis murahan sepertinya!" Radit kembali berteriak, kali ini suaranya terdengar sangat lantang hingga membelah keheningan di antara kerumunan orang itu.
Rahang Saras mengeras, ia menatap Radit tepar di kedua matanya dengan tatapan penuh amarah yang sangat mengerikan. "Ya, aku memang gadis murahan. Karena itu ayahku menjualku pada orang rendah sepertinya. Apa yang kalian tahu tentang cinta? Kau bilang dia mencintaiku? Lalu apa? Apakah aku harus mencintainya juga? Tidak akan! Dunia ini tidak hanya berputar di kaki kalian. Kalian, orang yang hanya menikmati uang dari orang tua kalian mana mungkin tahu apa itu cinta! Kau pikir karena kau punya uang, kau bisa seenaknya menghajar orang? Apa matamu buta, dia nyaris mati Karena mu!" Saras memekik kasar, air mata berlinang di pipinya.
Ia gemetar melihat Dany yang berdarah-darah karena Radit menghajarnya untuk yang kedua kalinya. Entah apa yang membuat Radit melakukannya, yang pasti hal itu membuat Saras sangat murka.
"Dan kau, Sanu! Kau pikir karena kita sudah menikah, kita bisa saling mencintai seperti pasangan normal? Jangan bermimpi. Hubungan kita tak lebih dari keinginan orang tua kita. Sejak awal hingga sekarang, aku membencimu." Saras menatap kedua mata Sanu dengan tatapan tajam. Ia lantas kembali menunduk dan membelai wajah Dany, "Ayo sayang, kita pergi dari sini."
Beberapa rekan Dany nampak membantu membawanya, begitu juga Saras yang langsung pergi meninggalkan tempat itu tanpa sedikitpun menengok lagi. Tubuh Sanu menegang. Hatinya teriris.
Ia mengusap kepala belakangnya dengan pelan dan merasakan ada sesuatu yang basah di sana, belum sempat ia melihat darah di tangannya, ia jatuh lantaran tak sanggup menopang diri. Perlahan-lahan darah mulai menggenangi kepalanya, dan saat itu juga, ia mulai tak sadarkan diri.