Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB DUA DUA
Rayyan bergemuruh, ok, kemarin Mas Gus Ikash bisa Rayyan tepikan karena Mas Gus Ikash sudah Om Om. Ya walau kebanyakan wanita lebih memilih pesona Om Om, tapi Rayyan yakin Mbak Tyas tak suka Om Om.
Yang jadi masalah adalah, ketika saingan Rayyan seperti Mas Nabeel. Ganteng, alim, mapan, pakaiannya pun selalu cool, dan lagi, Mas Nabeel ini masih 24 tahun.
Kalau seandainya Mbak Tyas tahu jika pengagumnya nyaris sempurna seperti Mas Nabeel, jelas dia disingkirkan. Apa lagi, Mbak Tyas sendiri belum bisa menyukainya.
Rayyan lebih suka menguras air laut sampai surut, dari pada harus bersaing dengan Abang yang lebih alim, juga lebih mapan.
"Berisik, Bungsu!" Nabeel membentak karena Rayyan tiba- tiba saja berteriak keras di hadapannya. "Hilangin kebiasaan tantrum kamu ini! Udah gede juga!" tegurnya.
"Ngapain sama orang Semarang?!" Rayyan berdiri dengan goresan raut gelisah. Tidak, lebih tepatnya lagi, ingin menangis.
Yang mana hal itu membuat Nabeel berkerut kening. Sebab barusan saja Rayyan tampak santai saat menanyakan gebetannya, lalu kali ini seperti orang kesurupan.
"Mas suka cewek ini," jawab Nabeel. Lantas kembali menatap layar ponselnya seksama.
"Kok dimatiin sih?!" Nabeel mengerut kening karena ini pertama kalinya dia menelepon seorang wanita dan di-reject. "Apa karena nomor asing?" gumamnya pelan.
"Mas dapet nomornya dari siapa?" Rayyan cukup penasaran dengan itu, karena setahu Rayyan Tyas bukan wanita yang segampang itu memberikan nomor ponsel.
Apa lagi, jika mengingat Ervan yang selama lima tahun terakhir dicintanya. Rasa rasanya tak mungkin Tyas mengumbar hal pribadinya.
Nabeel tertawa manis. "Tadi sore Mas Abil sama Tyas ketemu di minimarket, terus dia belanja paket data juga. Jadi Mas Abil minta nomor dari kasirnya."
"Wah..." Rayyan terkekeh samar, dadanya semakin bergemuruh karena kasir Alpha Mei.
Awas saja besok, jangan sebut dia Rayyan kalau semua kendaraan kasir di minimarket tersebut tidak berhasil dipereteli olehnya.
"Ck, kok malah nggak aktif?" Nabeel berdecak kesal, dan itu terjadi karena barusan Rayyan sengaja menonaktifkan ponsel istrinya.
"Apa cari di kampungnya saja?" Rayyan terus mengerut kening karena Nabeel bahkan bergumam seserius itu. "Aku telepon Papap dulu saja."
Gawat, kalau King Miller sudah ikut campur, urusan akan lebih berabe. Karena seorang King Miller pasti akan mencari tahu siapa yang sedang putra sulungnya taksir.
Dari bibit, bebet, walau bobotnya mungkin tidak karena mereka tak pernah mempermasalahkan kekayaan pasangan, tapi tetap saja, jika sudah begitu, King Miller akan tahu pernikahannya.
Rayyan butuh waktu untuk mengakui status barunya ini. Minimal, ampai dia berhasil ambil bagian di perusahaan mereka, mungkin.
"Mas mau ngapain nelepon Papap hah?"
"Melamar lah, kan Mas bilang, Mas serius mau nikah, Bungsu, anak Mimi kayak kita ini nggak mungkin kan pacaran? Makanya Mas serius mau halal kan, Tyas!"
"Jangan!" tolak Rayyan tegas bahkan dengan sangat keras, menentangnya.
"Kenapa?" Nabeel menoleh serius, ia mengerut kening, sedikit bingung dengan sikap berlebihan Rayyan.
"Pokoknya jangan sama orang Semarang deh, mendingan Mas cari di Jakarta, Mas! Di Jakarta kan lebih montok- montok?"
Nabeel tertawa cekikikan, kalau hanya montok, buat apa? Nabeel mencari wanita yang seperti ibunya, tahu agama, cantik, dan yang pasti shalihah. Persis Tyas ini.
"Kamu belum lihat sih gimana dia. Tyas ini lebih dari montok, Rayyan!" Nabeel lantas menghitung jarinya. "Shalihah, cantik, tidak terlalu tinggi, pokoknya cocok buat, Mas!"
Rayyan terperangah, rupanya sedetil itu Mas Nabeel mengagumi istrinya. Wah ini gawat bahkan lebih dari kata gawat, di rumah utama sudah tak aman untuk Tyas nanti.
Bagaimana tidak, saat ini sudah ada dua pebinor yang terdeteksi. "Pokoknya kalo Mas jadi lamar tuh cewek, hubungan Abang adik kita selesai?! Ngerti?!" tegasnya.
"Lu kenapa sih?" sela Nabeel. Akan tetapi, Rayyan sudah melengos pergi tanpa ada kata- kata lagi.
"Yan!" Nabeel memanggil. "Kamu ini lagi ada masalah apa, hm? Kamu boleh cerita sama Mas Abil sekarang, Bungsu!"
"Mas diusir dari sini!" Rayyan berhenti melangkah dan menoleh hanya untuk mengatakan itu. "Pulang sana ke Jakarta!"
"Kamu mau ganti motor lagi? Bilang, nanti Mas bujuk Mimi buat izinin kamu."
Nabeel tahu, adiknya ini manja, super moody, badung, dan menyebalkan, tapi Rayyan masuk ke jajaran terdepan kesayangan Miller.
Rayyan terkekeh sinis. "Oh, jadi Mas anggap Rayyan nggak bisa ganti motor pake uang sendiri?" singgungnya.
"Kok jadi ke situ?" Nabeel bicara baik- baik, tapi anggapan bungsunya terlalu jauh.
"Mas mau nunjukin kalo Mas lebih punya power dari pada Rayyan?" Rayyan tersinggung karena saat ini Rayyan belum bekerja, iya, tapi belum bukan berarti selamanya belum.
"Nggak gitu, Bungsu, kamu ini lagi kenapa sih? Udah kayak orang PMS tahu nggak, sensitif banget."
Nabeel menghela napas, ketika kemudian Rayyan masuk ke dalam kamar utama rumah ini dengan bantingan pintu yang keras.
"Rayyan!" Nabeel ingin menyusul, tapi dering ponselnya berbunyi kemudian. Rupanya ada panggilan dari ayahnya yang lekas dia angkat.
📞 "Gimana adek kamu, Bil?" Suara King Miller cukup khawatir, itu yang membuat Nabeel tak berani membicarakan tentang Tyas dahulu.
"Rayyan malah tantrum," jawabnya.
📞 "Kenapa?"
"Nabeel juga kurang tahu, tapi kayaknya dia memang lagi punya masalah."
📞 "Cari tahu ke Guntur, atau Aul dong, Bil. Bila perlu sidang mereka, mungkin mereka tahu sesuatu. Masa kuliah sampai nggak masuk dua minggu!?"
"Ok, nanti malam Abil ke rumah Guntur."
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
Tyas jenuh di kamar sendirian, maka yang Tyas lakukan selama beberapa menit terakhir hanya membaca novel cetak. Lagi pula ponsel miliknya pun tertinggal di sofa luar.
Di ranjang, dengan piyama pendek itu, Tyas sebenarnya belum terbiasa. Tapi, Rayyan memintanya memakai pakaian ini saat di rumah, lagi pula ini tidak terlalu terbuka.
Sampai di kamar Rayyan memeluk Tyas, dekapan hangatnya seolah tak mau dia lepaskan kembali. Tyas yang bingung hanya menerima perilaku itu secara pasrah.
Selain berpatok pada fatwa 'dosa menolak suami secara terang- terangan', Tyas juga sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Rayyan di sisinya.
"Mas kenapa?"
"Ssstt!"
Rayyan mempererat pelukannya, dia tak mau jika Tyas tahu, bahwa ada laki- laki shaleh yang mengincarnya. Sebelum ambil bagian di perusahaan, Rayyan belum siap bersaing.
"Bisa nggak kamu nggak usah cantik- cantik kalo mau keluar rumah hm?" Rayyan berkata cukup lirih saking tak punya dayanya.
Sudah dua pebinor, ingat dua duanya bukan saingan yang bisa Rayyan remehkan. Gus Ikash, Gus Nabeel, jangan bilang kalau besok Gus Syahrul atau mungkin Om Gus Emyr.
"Maksudnya?" Tyas mengernyit.
Rayyan mengurai pelukan mereka, lantas keduanya saling menatap lekat. "You're mine, right?" tanyanya.
"Mas ngomong apa sih?" Tyas wanita yang tak bisa bahasa Inggris. Maka sedikit sulit mengerti hal yang Rayyan tanyakan meski kosa kata itu sudah cukup familiar.
Bukan menjawab, Rayyan justru kembali memeluk istrinya. "Aku sayaaaang banget sama kamu, Ning Tyas. Sumpah, dari awal kita ketemu, aku sudah jatuh cinta."
"Berapa kali sih modus ini dipake?"
Rayyan mendengus sebelum melerai pelukannya kembali. Lihat saja, Tyas bahkan tak menganggap ucapannya serius. Mungkin karena penampilannya yang selengean.
Di hadapan istrinya Rayyan lalu mengaktifkan ponsel wanita itu. Lantas, dia kembalikan gawai tersebut pada pemiliknya.
"Mungkin sebentar lagi, ada yang telepon kamu pake nomor asing."
Rayyan yakin Nabeel sebelas dua belas dengannya, yang jika sudah menginginkan sesuatu akan berusaha dengan keras untuk mendapatkannya.
Like father like son, mereka gambaran King Miller yang memiliki sikap ambisius dalam hal apa pun meski caranya tak begitu keras.
"Dimas telepon?" tanya Tyas.
"Tunggu saja!"
Rayyan duduk di sofa, Tyas lalu ikut duduk di sisi Rayyan. Dan reflek yang tangan Rayyan lakukan adalah, mengusap paha istrinya.
Bak cenayang. Benar saja tak lama kemudian, panggilan dari nomor asing Tyas terima.
"Assalamualaikum." Tyas tak biasa disentuh, Tyas sampai menepis dengan reflek. "Mas!"
📞 "Tyas." Terdengar memanggil setelah menjawab salamnya.
Tyas lalu fokus pada ponselnya. "Dengan siapa ya?" tanyanya.
📞 "Nabeel."
"Oh, Mas Nabeel. Masha Allah..."
Tyas meredup senyum yang baru saja berkembang sebab barusan Rayyan mencengkram pahanya. Hal itu tentu membuat Tyas peka, jika suaminya sedang dalam keadaan cemburu berkobar.
📞 "Boleh aku simpan nomor kamu?"
"Ada perlu apa memangnya, Mas?"
Tyas berekpresi sedatar mungkin karena takut menyakiti hati suaminya. Dia takut jika Rayyan si tengil bundir, sebab sekarang juga, pemuda itu sedang melilit lehernya dengan gorden jendela yang panjang menjuntai.
Tunggu, Tyas belum siap tanggung jawab atas kematian si tengil. "Mas Nabeel, maaf sekali. Sekarang Tyas dipanggil suami Tyas, jadi mohon maaf, Tyas tutup dulu teleponnya."
📞 "Suami?" Terdengar terkejut, tapi kemudian Tyas mematikan sambungannya secara sepihak bahkan tanpa salam saking paniknya.
"Mas Rayyan ngapain sih?"
Tyas mencoba menarik kain gorden panjang yang terlilit di leher suaminya. Dan seketika itu juga Rayyan tertawa geli karena Tyas menganggap serius candaannya.
"Nggak lucu tahu nggak, Mas?!"
Tyas tampar lengan Rayyan yang tertawa terpingkal- pingkal tak ada hentinya. Bagaimana bisa Tyas beranggapan dirinya akan bundir dengan kain gorden?
Tyas kemudian pasrah menerima pelukan hangat pemuda itu. Rayyan juga mengecup bagian samping lehernya yang terhirup aroma manis yang damai.
"Makasih, sudah mau akuin status baru kamu di depan semua orang, termasuk di depan para calon pebinor."
"Tapi kamu belum mengakui Pangesti Ning Tyas di depan siapa pun." Tyas membalas dengan sindiran yang berhasil menohok.
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis