Juliette, terlahir dari keluarga yang minim simpati dan tidak pengertian.
Membuat ia tumbuh menjadi gadis mandiri dan sulit berekspresi.
Di tengah perjalanan hidupnya yang pahit, ia justru bertemu dengan yang Pria semakin membuat perasaannya kacau.
Bagaimana kelanjutan hidup Juliette?
Akankah ada seseorang yang memperbaiki hidupnya?
Simak kelanjutannya, Behind The Teärs by Nona Lavenderoof.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lavenderoof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Tugas dan Tugas
Namun, kenangan itu tidak berhenti. Suara ibunya masih terdengar di kepalanya, keras dan tajam.
“Bahkan senyumanmu itu palsu. Apa kau pikir kau bisa menipu orang lain dengan itu? Senyumanmu itu yang justru membuat orang muak melihatnya!”
Juliet kecil hanya berdiri diam, terlalu takut untuk membela diri.
Juliet yang sekarang menutup matanya, menggenggam jari jemarinya dengan sangat kuat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka matanya kembali.
Pantulan di cermin kembali menjadi dirinya yang dewasa, meskipun masih tampak lelah dan rapuh.
Ia mencoba lagi. Senyum kecil terbentuk, lebih natural kali ini, meskipun masih samar.
“Halo, nama saya Juliet...” suaranya masih terdengar datar, tapi ada keteguhan yang mulai muncul di dalamnya.
Meski hatinya berdebar keras dan trauma masa kecilnya belum sepenuhnya hilang, Juliet tahu satu hal: ia harus terus mencoba, bahkan jika itu berarti melawan bayangannya sendiri.
Juliet menutup matanya, menahan napas dalam-dalam. Namun tidak ada yang terasa lega. Sebaliknya, kepalanya berdenyut hebat, seperti ada palu yang memukul dari dalam.
Pikirannya memanas. Semua orang hanya tahu menuntut. Tidak ada yang peduli betapa lelahnya aku.
Tangannya memegang kepalanya.
"Akh, kepalaku sakit sekali..."
Suaranya nyaris tidak terdengar. Tetapi ada gumpalan besar di dadanya, seperti api yang membakar habis sisa energi yang ia punya.
Juliet menatap buku-buku di depannya, tetapi huruf-huruf di halaman itu tampak kabur. Ia ingin tidur. Ia ingin lari. Namun bahkan pikirannya tidak membiarkannya beristirahat.
Ia merasakan sakit yang aneh, di dadanya, di kepalanya, bahkan di ujung jarinya yang gemetar.
“Aku lelah, aku ingin istirahat."
Juliet membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan. Dalam hal seperti ini, menangis tidak pernah menjadi solusinya.
Kata-kata ibunya selalu terngiang di telinganya, seperti duri yang menusuk setiap sudut hatinya.
Namun, dalam kelelahan itu, Juliet memutuskan satu hal.
"Aku akan melewati semua ini. Aku tidak tahu caranya, tapi aku tidak akan menyerah."
-
Juliet telah melanjutkan hidupnya yang sulit, fokus pada perjalanan hidupnya yang penuh badai dan terombang-ambing.
Sementara ditempat lain, pertemuan singkat kemarin dan tadi malam, telah meninggalkan kesan yang mendalam. Membuat pria itu terjaga. Namanya, Romeo.
-
Juliet tertidur dengan posisi membungkuk di atas meja belajarnya. Kepalanya bersandar pada lengan, sementara pena masih tergenggam erat di tangannya. Di sekelilingnya, buku dan catatan berserakan.
Lampu meja yang masih menyala membuat bayangan kelam di bawah matanya terlihat lebih jelas. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
Tubuhnya menyerah setelah berjam-jam memaksakan diri belajar dan mencoba memperbaiki presentasi untuk tugas tim.
*
*
Alarm ponsel berbunyi nyaring pukul 06.00 pagi, membangunkannya dari tidur yang tidak nyaman.
Cring... Criingg...
Juliet perlahan mengangkat kepalanya, rasa nyeri menjalar dari leher ke punggung. Ia memijat pelipisnya sambil mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk yang masih menggelayut.
Ia mengintip layar ponsel, melihat notifikasi pesan dari ibunya yang mengingatkan tentang tugas kakaknya. Pesan itu pendek, tetapi nada tegasnya tetap terasa.
📨 “Jangan lupa tugas kakakmu. Kalau tidak dikerjakan, kau tahu akibatnya!”
Juliet menghela napas panjang. Meskipun ini hari Minggu, hari di mana ia bisa saja memilih untuk tidur lebih lama—tidak ada pikiran semacam itu di benaknya.
Ia menepis keinginan untuk memanjakan dirinya sendiri. Hari libur bukan alasan untuk bersantai, pikirnya.
Ia segera beranjak dari kursi. Kaki yang sempat tertidur karena terlalu lama duduk kini terasa kaku, tetapi Juliet mengabaikannya.
Setelah membersihkan wajah yang masih terasa lengket dan dingin, ia berganti pakaian dan duduk di ruang tamu dengan tumpukan kertas yang diberikan ibunya beberapa hari lalu.
Tugas-tugas itu menumpuk, penuh dengan angka-angka dan istilah yang sama sekali tidak ia pahami.
Namun, Juliet tidak membiarkan kebingungannya menguasai. Aku harus bisa menyelesaikannya, gumamnya pada dirinya sendiri, meskipun ada rasa berat di dadanya.
Waktu berlalu perlahan. Udara pagi yang dingin menyelinap dari celah jendela, tetapi Juliet tetap fokus.
Hope you enjoy this bab!
Thank you and happy reading!