Nia tak pernah menduga jika ia akan menikah di usia 20 tahun. Menikah dengan seorang duda yang usianya 2 kali lipat darinya, 40 tahun.
Namun, ia tak bisa menolak saat sang ayah tiri sudah menerima lamaran dari kedua orang tua pria tersebut.
Seperti apa wajahnya? Siapa pria yang akan dinikahi? Nia sama sekali tak tahu, ia hanya pasrah dan menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah tiri.
Mengapa aku yang harus menikah? Mengapa bukan kakak tirinya yang usianya sudah 27 tahun? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Nia. Namun, sedikit pun ia tak berani melontarkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Getaran Yang Berbeda
Keduanya terus berjalan menuju ke taman belakang. Bibi sudah menyiapkan minuman dan cemilan di salah satu meja taman yang ada di sana. Nia jalan lebih dulu, disusul oleh Faris di belakangnya, tak ada pembicaraan di antara mereka hingga keduanya kini duduk saling berhadapan di bangku taman.
Nia meremas sudut baju yang dikenakannya, mencoba mengusir rasa kegugupannya. Ia tak berani melihat ke arah Faris, ia bertemu dengan Faris secara langsung sekitar 5 tahun yang lalu, saat ia ikut dengan ayahnya menghadiri acara. Bayangannya akan pria itu sudah memudar dan tak begitu mengenalinya lagi, ia tak menyangka jika sosok Faris yang selama ini dikenalnya dengan pria kejam, ternyata sangatlah tampan, walau usianya sudah menginjak 40 tahun. Ia terlihat tegas, itulah yang dipikirkan Nia saat ini.
Faris terus memperhatikan wajah Nia, terlihat teduh dan juga sangat cantik. Faris tak bisa melepaskan mata menatap wanita yang tak berani menatapnya itu. Usianya masih terlihat sangat muda, ia memindai semua anggota tubuh Nia dari ujung kaki sampai ujung kepala. Wajahnya sangat cantik.
'Mengapa dia mau menikah denganku yang sudah pernah gagal dalam pernikahan dan juga sudah pasti usia kita sangat jauh,' batin Faris bergumam dalam hati. Cukup lama mereka terdiam hingga akhirnya Faris pun membuka suara.
"Berapa usiamu?" pertanyaan yang membuat Nia langsung melihat ke arah pria yang datang untuk melamarnya. Ketika tatapan mereka bertemu, Faris terpesona melihat tatapan mata dari wanita yang ada di depannya. Tatapan itu begitu menyentuh hingga, menimbulkan debaran dan desiran di dalam tubuhnya.
"20 tahun dan beberapa bulan lagi masuk 21 tahun," lirihnya menjawab pertanyaan Faris, membuat Faris hanya mengangguk.
"Apa kamu tahu berapa usiaku?" tanya Faris lagi membuat Nia pun mengangguk.
"Mungkin kita beda 20 tahun," lirihnya kembali menunduk dan kali ini ia meremas ujung hijabnya, memutar-mutar ujungnya di jari telunjuk.
"Benar, kita beda 20 tahun, sangat jauh. Aku juga pernah gagal dalam pernikahan, aku rasa kau tahu juga kan hal itu kan?" tanya Faris lagi membuat Nia kembali mengangguk dengan pandangan yang masih menunduk.
"Sebenarnya aku tak ingin menikah lagi, aku lebih senang hidup sendiri. Tapi, aku ke sini karena menghormati keinginan ayahku dan apapun yang aku putuskan nanti itulah yang akan diambilnya, begitu juga dengan keputusanmu, apapun keputusan kita berdua aku rasa kedua orang tua kita akan menerimanya. Sekarang kamu jujur padaku, apa alasanmu mau menerima perjodohan ini dan mau menerima lamaran ayahku? Apa yang terjadi sehingga orang tuamu mau meminta ayahku untuk datang hari ini juga?" ucap Faris yang kini menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku taman, melipat tangannya di dada dan menaikkan satu kaki di atas paha kaki satunya. Matanya masih menatap Nia yang masih menunduk tak berani melihatnya.
Ia berpikir jawaban apa yang harus dijawabnya. Apakah ia harus terus terang dengan perjanjian ayah mereka atau tidak.
"Apa kau mendapat paksaan untuk menerima lamaran kami?" tanya Faris lagi yang tak mendengar jawaban dari Nia atas pertanyaan pertamanya.
Mendengar pertanyaan itu, Nia menghela nafas. Nia kemudian memberanikan diri melihat ke arah Faris.
"Begini, jujur aku tak tahu kau mengetahui hal ini atau tidak. Tapi, orang tua kita memiliki perjanjian di mana ayahku meminjam uang kepada ayahmu untuk suntikan dana perusahaan kami yang terancam bangkrut dan syaratnya salah satu dari kami harus menikah denganmu, Kakakku menolak," ucapnya kembali terdiam kemudian menatap mata Faris. Faris juga masih menatapnya.
"Kakakmu menolak? Apa kau menerimanya? tanya Faris masih dengan posisinya.
"Awalnya aku juga menolak karena aku pikir menikah itu adalah sesuatu yang kita lakukan sekali seumur hidup dan aku ingin bersama dengan orang yang aku cintai begitupun sebaliknya. Kami hidup bahagia bersama dengan anak-anak.Tapi ...," ucapnya kembali dan meneruskan kalimatnya.
"Tapi, apa?" tanya Faris tegas.
"Aku tak ingin membuat perusahaan ayahku bangkrut, aku tak ingin membuat ayah dan ibuku bersedih, makanya aku menerimanya," ucapnya tanpa melihat ke arah Faris.
Mendengar itu Faris lagi-lagi mengangguk-ngangguk, matanya masih terus menatap intens wajah cantik dari Nia. Dia juga melihat tangannya yang terus memelintir ujung hijabnya, ia tahu jika wanita di depannya itu pasti sangat gugup dan melakukan semua itu.
"Jadi apa keputusan akhirmu setelah kita bicara saat ini?"
"Aku akan tetap pada keputusan awalku, menerima lamaranmu," ucapnya, Nia kembali menatap mata Faris. Menatap wajah calon suaminya, wajah yang memiliki rambut-rambut halus yang memenuhi pipinya. Namun, semua itu menambah ketampanannya.
"Baiklah, aku rasa cukup," ucap Faris berdiri dari duduknya.
Nia juga ikut berdiri. "Lalu bagaimana keputusanmu? Apa kamu juga menerima lamaran ini?" tanya Nia dengan ragu dan yang ia tahu sosok di depannya sudah menduda selama 10 tahun lebih dan ia dengar juga jika pria matang di depannya itu pernah dekat dengan wanita lagi dan banyak informasi lain yang didengarnya, jika pria yang ada di depannya itu sangat tak suka jika ada seorang wanita yang mendekatinya. Semalam dia banyak mencari tahu tentang sosok Faris yang akan dinikahinya itu, banyak artikel-artikel tentang pria di depannya. Namun, tak satupun foto yang ada di sana, hanya foto saat dia menikah dulu dengan istrinya dan wajahnya kini sudah sangat berubah.
Faris tak menjawab, dia langsung berlalu meninggalkannya di taman dan kembali untuk bergabung dengan yang lainnya.
Melihat Faris berjalan masuk, Nia pun berjalan cepat di belakangnya. Langkah kaki Faris yang pajang membuat Nia sedikit mempercepat langkahnya agar mereka bisa berjalan sejajar. Faris bergabung dengan yang lain, mereka semua melihat ke arah keduanya.
"Bagaimana?" tanya Pak Septian pada putranya. Pak Seno juga melihat ke arah Nia.
"Nia setuju dengan lamaran ini, Pak," jawab Nia dan melihat ke arah pria yang akan menjadi mertuanya itu. Kemudian, Pak Septian berpindah melihat ke arah Faris.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya.
"Jika Nia setuju, aku juga setuju. Silahkan lanjutkan pernikahan ini," ucap Faris membuat ayahnya sangat senang. Awalnya ia berpikir jika Faris akan kembali menolak rencananya untuk menjodohkannya seperti yang sering terjadi
"Baiklah, sebaiknya kita akan melangkah ke jenjang pernikahan secepatnya. Bagaimana jika pernikahannya langsung saja kita adakan di bulan berikutnya?" usul Pak Septian membuat Pak Seno melihat ke arah Nia. Nia yang mengerti jika ayahnya kali ini meminta tanggapannya sebelum mengambil keputusan pun mengangguk.
"Baiklah, dari pihak kami setuju," jawab Pak Seno membuat Pak Septian pun kembali mengangguk. Mereka pun kembali melanjutkan pembicaraan, selama pembicaraan, Nia terus menunduk dan memainkan sudut hijabnya, sementara Faris sekali melihat ke arah Nia. Ia tak mengerti mengapa jantungnya berdetak begitu cepat, ada perasaan aneh saat melihatnya. Sudah lama ia tak merasakan perasaan ini, apakah perasaan yang dirasakannya ini adalah perasaan cinta. Tapi, mengapa ia bisa jatuh cinta pada sosoknya yang baru dikenalnya dan baru bertemu hari ini. Apakah ini yang disebut cinta pada pandangan pertama. Faris tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok wanita yang akan menjadi istrinya itu.