Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetangga yang Tahu Segalanya
Gue benci banget kalau ada yang ganggu pas lagi tidur. Itu benar-benar salah satu hal yang paling enggak bisa ditolerir. Gue orangnya santai, damai, tapi kalau lo membangunkan gue, siap-siap saja melihat sisi gelap Zielle.
Jadi, gue kebangun gara-gara suara lagu asing. Gue bolak-balik di kasur, tutupi kepala pakai bantal, tapi telanjur. Tidur gue sudah rusak, dan enggak bisa lanjut lagi. Dengan kesal, gue buang bantal ke samping, duduk, sambil buang kata-kata enggak pantas.
Dari mana sih suara itu datang?
Ya ampun, sudah tengah malam begini. Siapa coba yang berisik di jam segini?
Ini bahkan bukan malam minggu.
Gue jalan ke arah jendela kayak zombi, dan angin dingin yang mulai masuk dari sela-sela gorden bikin gue merinding. Gue biasa tidur dengan jendela terbuka, enggak pernah ada masalah, enggak pernah ada suara berisik malam-malam. Tapi sekarang beda. Gue garuk-garuk kepala, terus buka gorden buat cari tahu sumber suaranya.
Melihat ada orang duduk di kursi kecil di halaman belakang keluarga Batari, gue langsung kaget. Tapi kali ini bukan Asta. Jantung gue langsung loncat dari dada pas gue sadar kalau itu, Anan.
Kalau harus mendeskripsikan Anan, kayaknya kata-kata gue enggak bakal cukup, nafas gue juga mungkin habis. Dia itu cowok paling ganteng yang pernah gue lihat, dan percaya, deh, gue sudah sering ngintip dia. Badannya tinggi, atletis, dengan kaki yang kekar banget, dan bokong yang sangat luar biasa.
Wajahnya punya struktur ala Pangeran Jawa, dengan tulang pipi tegas dan hidung mancung yang sempurna. Bibirnya tebal, selalu kelihatan basah. Bibir atasnya berbentuk lekukan hati, dan di bibir bawahnya ada lekukan kecil yang hampir enggak kelihatan.
Matanya itu selalu bikin gue kehilangan napas tiap kali melihatnya. Warna biru pekat dengan sedikit semburat hijau yang menakjubkan. Rambutnya hitam legam, kontras banget sama kulitnya yang putih, lembut kayak es krim, dan jatuh berantakan di kening dan kupingnya.
Di lengan kirinya ada tato barong yang keren, penuh seni, kelihatan banget kalau itu hasil tukang tato yang profesional. Semua tentang Anan seperti kasih sinyal bahaya, seakan mengingatkan gue buat menjauh, tapi bukannya menjauh, gue malah makin tertarik, dia seperti magnet yang bikin gue susah kabur.
Dia pakai celana pendek, Converse, dan kaos hitam yang matching sama rambutnya. Gue bengong memperhatikan dia yang lagi mengetik di laptop, sambil gigit bibir bawah.
Gila, cakep banget!
Dan saat itu terjadi. Anan mengangkat kepala dan melihat gue. Mata birunya langsung ketemu sama pandangan gue, dan dunia gue nyaris berhenti sesaat.
Ini pertama kalinya kita saling tatap sedalam ini. Tanpa sadar, gue langsung merona, tapi gue enggak bisa mengalihkan pandangan. Anan angkat alis, matanya sedingin es. “Lo butuh sesuatu?” suaranya datar banget, tanpa emosi.
Gue telan ludah, berusaha keras menemukan suara gue. Pandangannya bikin gue terdiam.
Bagaimana mungkin ada orang seusia dia yang berana mengintimidasi gue seperti ini?
“Gue… eh, halo,” sahut gue hampir tergagap. Dia enggak bilang apa-apa, cuma terus-terusan melihat gue, bikin gue makin grogi. “Eh, musik lo ngebangunin gue.”
Gue berhasil ngomong sama Anan.
Astaga, please, jangan sampai pingsan di sini, Zielle.
Tarik napas, buang.
“Telinga lo bagus juga ya, padahal kamar lo jauh,” katanya tanpa niat minta maaf. Gue mengerucutkan bibir.
Setelah beberapa detik, dia sadar kalau gue masih di situ, terus melihat gue lagi sambil angkat alis dengan nada tinggi. “Lo butuh sesuatu?” ulangnya.
“Iya, gue mau ngomong sama lo.” Dia kasih isyarat buat gue lanjut ngomong. “Lo pakai Wi-Fi gue?”
“Iya.” Enggak ada ragu sama sekali pas dia jawab.
“Tanpa izin gue?”
“Iya.”
Ya ampun, sumpah, ini orang memang parah banget.
“Lo enggak boleh kayak gitu.”
“Gue tahu.” Dia angkat bahu, cuek banget, kayak enggak peduli.
“Gimana caranya lo bisa tahu password Wi-Fi gue?”
“Gue jago komputer, loh.”
“Maksud lo, lo dapat password itu dengan cara yang enggak benar, ya?”
“Iya, gue nge-hack Wi-Fi lo.”
“Dan lo, bisa santai banget ngomong kayak gitu.”
“Jujur itu salah satu kelebihan gue, coy.”
Gue gigit rahang. “Lo tuh…” Dia menunggu gue buat kata-kata in dia, tapi mata dia bikin pikiran gue nge-blank. Akhirnya gue cuma bisa jawab “Lo tuh benar-benar idiot.”
Dia senyum tipis. “Buset, gitu doang? Gue kira lo bakal lebih terkejut setelah tahu password lo ke bongkar.”
Pipi gue panas, pasti sudah merah. Dia tahu passwordnya, orang yang gue suka dari kecil tahu isi dari kata sandi Wi-Fi gue yang super memalukan itu.
“Harusnya enggak ada yang tahu,” gue menunduk.
Anan tutup laptopnya dan tatapan dia cuma fokus ke gue, dia kelihatan senang. “Gue tahu banyak hal tentang lo yang harusnya enggak gue tahu, Zielle.”
Dengar dia memanggil nama gue bikin perut gue berasa penuh kupu-kupu.
Gue coba tetap melawan. “Oh, ya? Memang lo tahu apa?”
“Kayak situs-situs yang lo buka pas semua orang udah tidur.”
Mulut gue langsung menganga, tapi buru-buru gue tutup lagi.
Ya ampun!
Dia melihat riwayat pencarian gue, sial, gue malu enggak ketolongan. Gue pernah iseng buat buka beberapa situs dewasa, cuma iseng doang, sumpah.
“Gue enggak tahu lo ngomong apa.”
Anan senyum licik. “Lo tahu kok.”
Gue enggak suka arah obrolan ini. “Udah, bukan itu intinya. Jangan pakai Wi-Fi gue dan jangan berisik.”
Anan berdiri dari kursi kecilnya. “Atau?”
“Atau… gue bakal ngaduin lo.”
Anan ketawa, suaranya berat dan seksi banget. “Lo mau ngadu ke nyokap lo?” Dia mengejek.
“Iya, atau ke nyokap lo.” Gue merasa aman di balkon ini, tapi kayaknya gue enggak bakal seberani ini kalau kita dekat. Anan memasukkan tangan ke kantong celananya.
“Gue bakal tetap pakai Wi-Fi lo, dan lo enggak bisa ngelakuin apa-apa.”
“Tentu aja bisa.”
“Enggak ada yang bisa lo lakuin. Kalau lo kasih tahu Nyokap gue, gue bakal mengelak dan dia pasti percaya sama gue. Kalau lo bilang ke Nyokap lo, gue bakal tunjukin situs-situs dewasa yang lo buka pas orang lain enggak ada.”
“Lo ngancem gue?”
Dia elus dagunya seperti berpikir. “Gue sih enggak ngancem, lebih kayak bikin kesepakatan. Gue dapat apa yang gue mau, dan lo dapat tutup mulut dari gue.”
“Tutup mulut dari informasi yang lo dapat dengan cara yang enggak benar, itu enggak adil.”
Anan mengangkat bahu. “Lo belum tahu ya, kalau hidup ini memang enggak adil?”
Gue menggigit gigi. Dia benar-benar bikin gue kesal, tapi dia kelihatan cakep banget di bawah sinar bulan.
“Kalau lo udah enggak ada yang mau diomongin, gue mau balik ke laptop gue, gue lagi ngerjain sesuatu yang penting.” Dia putar badan, ambil laptopnya, dan duduk di kursi.
Gue cuma bisa memperhatikan dia kayak orang bodoh, bingung apa ini karena dia idiot atau karena perasaan gue waktu kecil ke dia belum sepenuhnya hilang.
Tapi yang jelas, gue harus balik masuk, dinginnya malam ini enggak enak banget. Gue tutup jendela dan mengalah, masuk ke dalam selimut.
HP gue bergetar di meja samping tempat tidur, dan gue ambil.
Siapa yang nge-chat jam segini?
Gue buka chat itu dan langsung mengerutkan dahi.
...📩...
...Dari: 085*********...
...Selamat malam, penyihir....
...Salam dari gue,...
...Anan....
Apa?
Dia panggil gue penyihir?
Dan bagaimana caranya dia bisa dapat nomor gue?
Kayaknya, urusan gue sama Anan belum kelar. Dia salah besar kalau dia pikir gue bakal diam saja.
Lo udah senggol tetangga yang salah, bro!