NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chris dan toni

Kota Reksa bergetar. Peluh dingin membasahi leher Chris saat dia dan Toni melangkah keluar dari kamp tentara. Malam yang remang-remang membawa keheningan yang mencemaskan. Suara langkah kaki mereka menyatu dengan deru angin yang membawa aroma air asin dari Danau Elips.

“Bagaimana keadaan Allan?” Toni menatap wajah Chris, raut wajahnya keruh.

“Masih terkurung. Jendral itu tidak mau mendengar kita,” jawab Chris sambil menggigit bibir. Kebencian menggerogoti dirinya, bercampur dengan ketakutan akan nasib saudaranya.

Mereka berjalan melintasi jalan setapak berbatu, menyesaki lorong sempit di antara deretan bangunan yang miring. Setiap sudut kota tampak asing, seolah terdistorsi oleh gelombang ketegangan yang menjangkit.

“Toni, kita harus mencari cara untuk membebaskan Allan,” Chris berhenti sejenak, mengamati sekeliling.

Toni menyandarkan punggungnya ke dinding gedung tua, menghela nafas. “Kita tidak tahu apa yang dia lakukan di sana. Jika dia berhasil menemukan sesuatu, kita harus mendapatkan informasi itu.”

“Tapi bagaimana?” Chris mengerutkan kening, menatap dalam mata Toni. “Jendral Fury tidak bisa dipercaya.”

“Dia terlalu berambisi,” Toni membalas dengan semangat. “Mungkin kita bisa mencari bantuan.”

Suara riuh dari jarak jauh menarik perhatian mereka. Chris menoleh dan melihat sekelompok orang berkumpul di alun-alun. Pembicaraan mereka penuh semangat, wajah-wajah mereka terpancar harapan atau mungkin ketakutan.

“Mari kita lihat,” Chris mengajak dan mereka perlahan-lahan melangkah ke arah kerumunan.

Saat mereka mendekat, suara menggelegar menyapa mereka. Seorang lelaki tua berdiri di atas tumpukan kayu, berusaha berbicara kepada orang-orang.

“Saudara-saudara! Kita tidak bisa hanya menunggu! Jendral menutup mata terhadap kebenaran!” Dia menepukkan tangan di udara, mempertegas setiap kata.

“Dia memanfaatkan kita!” seorang wanita berteriak, suaranya melengking di tengah malam.

Toni menjabat lengan Chris. “Mereka berbicara tentang Jendral Fury.”

Chris masih tercengang mendengar kata-kata lelaki tua itu. “Kita harus ikut campur.”

Mereka melangkah maju, terjebak dalam arus komentar dan desakan. Toni menyentuh bahu lelaki tua itu. “Apa yang terjadi?”

“Jendral memanfaatkan kekacauan ini untuk mengumpulkan kekuasaan,” lelaki itu menatap Toni dengan penuh harap. “Kita butuh seseorang yang berani melawan.”

“Jika kita bisa mengungkapkan apa yang terjadi,” Chris menyela. “Kami bisa menyelamatkan Allan dan mengalahkan Jendral.”

“Benar,” lelaki tua itu mengangguk. “Tapi kita harus bertindak cepat. Waktunya tidak berpihak kepada kita.”

“Di mana mereka menahan Allan?” tanya Toni, semangatnya bangkit.

“Saya mendengar dari penduduk, dia di salah satu gedung pemerintah,” lelaki itu menjelaskan, suara seraknya terdengar serius. “Tempat di mana Jendral mengisolasi siapa pun yang mengetahui rencananya.”

“Tidak ada waktu untuk sia-sia. Kita harus mencarinya,” Chris menggerakkan tubuhnya untuk pergi, tetapi Toni meraih tangan Chris.

“Kita harus punya rencana. Keterlaluan jika kita masuk tanpa pikir panjang.”

“Kita tidak bisa berdiam diri,” Chris menolak. “Setiap menit berlalu, Allan mungkin dalam bahaya.”

“Chris,” Toni menatapnya tajam. “Kita tidak bisa mengorbankan diri kita. Jika kita tertangkap, apa yang terjadi pada Allan?”

Chris terdiam, pikirannya bergejolak. Dia tahu Toni benar, tetapi rasa cemas akan saudaranya membuatnya gelisah.

“Toni, kita tidak bisa kembali ke kamp tentara. Jendral akan tahu jika kita datang mencari Allan,” Chris menggigit bibirnya.

“Kita bisa pergi mencari teman-teman, orang yang peduli pada Allan,” Toni menyarankan.

Chris mengangguk perlahan. “Baiklah, kita cari bantuan.”

Mereka meninggalkan kerumunan, melangkah ke jalan dengan niat baru. Cuaca mulai dingin, dan angin menderu dari arah danau.

“Di mana kita bisa menemukan mereka?” tanya Chris, berjalan menelusuri jalan setapak.

“Kita bisa coba ke tempat pertemuan tua di dekat taman,” Toni menjawab. “Teman-teman di komunitas pasti akan bersedia membantu.”

Toni berjalan lebih cepat, sementara Chris tetap di belakang, menyusuri kenangan tentang waktu-waktu bahagia di kamp. Namun sekarang, bayangan kelam terus membayangi pikirannya.

“Jangan berputus asa, Chris,” Toni menepuk bahu Chris.

“Ya,” Chris menjawab singkat, tetapi hatinya tetap gelisah.

Mereka tiba di taman. Pohon-pohon setinggi langit menjulang ke atas, menghalangi cahaya bulan. Suasana di dalam sepi, hanya suara dedaunan yang berdesir.

“Berharap ada yang datang,” bisik Toni.

“Mari kita tunggu sebentar,” Chris merespons. “Jika kita bisa menghubungi Allan…”

Dia terhenti saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Mereka segera bersembunyi di balik sebuah pohon.

Dua orang muncul dari kegelapan, wajah-wajah mereka tegang. Salah satunya mengenakan jaket kulit, yang lain bertubuh kekar dengan tatapan tajam.

“Mereka bukan musuh,” kata Toni perlahan.

Chris mengintip dari balik pohon. “Oh, itu Lusi dan Rudi.”

Toni mengangguk dan melangkah keluar. “Lusi! Rudi!”

Keduanya menoleh. Lusi mengangkat alis, terkejut melihat mereka. “Kalian! Apa yang terjadi?”

“Jendral Fury memiliki Allan,” jawab Chris cepat. “Kami butuh bantuan kalian.”

“Apa?!” Rudi melotot. “Dia sendiri yang meminta bantuan tentara, kan?”

“Tapi ini berbeda,” Toni menyela, mengingatkan. “Kita harus membuat rencana untuk menyelamatkannya.”

“Ya, kita tidak bisa membiarkan Jendral melakukan ini,” Lusi mengambil napas dalam. “Kota kita membutuhkan kekuatan!”

Mereka berkumpul, menyusun strategi di bawah sinar bulan yang menipis. Chris meriddik coretan-coretan abadi di pikirannya; setiap langkah mereka harus dipikirkan matang-matang.

“Siapa yang bisa jadi umpan?” tanya Rudi.

“Aku akan memasuki gedung pemerintah,” Chris mengusulkan, suara tenang menyiratkan ketegasan. “Sementara kalian memantau dari luar.”

“Kau gila, Chris!” Lusi melirik agresif. “Kalau sampai tertangkap…”

“Aku bisa melakukannya!” Chris memotong, matanya menyala. “Aku tahu langkah-langkahnya.”

Dia mengumpulkan keberanian dalam tatapan mereka yang ragu. Toni beranjak lebih dekat, “Kita semua ingin Allan selamat. Kita ikuti rencana ini, tetapi perhatikan setiap gerak-gerik di sekitar.”

Malam semakin larut. Suara angin berdesir di antara pepohonan saat mereka merencanakan aksi yang berisiko tinggi.

Rudi menyerahkan sebuah ponsel usang. “Ini mungkin alatmu untuk berkomunikasi. Jika ada yang tidak beres, kirimkan sinyal.”

“Baik, terima kasih,” Chris mengangguk, merasakan beban tanggung jawab di pundaknya.

“Jangan keras kepala, ikuti instruksi kita,” Lusi menambahkan, menekankan pesannya.

Chris tersenyum, tetapi ingin merasa yakin. Persahabatan mereka menguatkan tekad untuk melawan kezaliman Jendral.

Satu harapan tersemat di hati mereka. Sekarang, mereka bertaruh segalanya untuk menyelamatkan Allan dan mengangkat kembali harapan di Kota Reksa.

Malam mulai merayap lebih dalam saat Chris, Toni, Lusi, dan Rudi melangkah menuju gedung pemerintah. Langit berwarna gelap, hanya seberkas cahaya bulan yang menembus celah-celah pohon, menciptakan bayangan menakutkan di sekeliling mereka.

"Di sini, kita harus hati-hati," Chris mengingatkan, matanya menyapu sekeliling. Dia merasakan jantungnya berdegup keras.

Toni berdiri di sebelahnya, wajahnya serius. "Rudi, Lusi, kalian tunggu di sisi belakang. Aku dan Chris akan mencari Allan."

"Jangan sampai kalian tertangkap," Rudi berseru. “Kami akan segera datang jika ada tanda bahaya.”

Mereka bertukar tatapan, satu momen sebelum berpisah. Dengan langkah pelan, Chris dan Toni melangkah ke arah pintu masuk gedung yang mencolok. Suara derap sepatu bot menambah ketegangan malam itu.

Pintu kayu berat itu berderik saat Chris mendorongnya. Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, pengalaman dari pelatihan di kamp tentara memberi mereka sedikit kepercayaan diri.

Ruangan gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu-lampu yang berkelap-kelip. Dinding dihiasi poster-poster propaganda tentang kekuatan militer dan perlindungan kota. Toni berbisik, “Ini baunya busuk. Kita harus cepat.”

Chris mengangguk, dia menemui jalan di ujung koridor. Suara berisik membantu mereka melangkah lebih dekat. Mereka mendekati ruang rapat. Chris menahan napas, menatap Toni.

“Siap?” Toni bertanya, suara bergetar.

“Siap,” jawab Chris penuh keyakinan.

Mereka bergegas menembus pintu. Di dalam, sekelompok orang beruniform duduk mengelilingi meja panjang. Jendral Fury berada di tengah, wajahnya menakutkan, tangannya menyentuh peta Kota Reksa.

“Dia di sini,” bisik Chris. “Kita harus menemukan Allan.”

Saat mereka bergerak mengendap-endap, Chris tangannya meraih tempat duduk kosong. Dari pendekatan, dia melihat tumpukan berkas di sebelah meja. Berkas-berkas itu mungkin berisi data penelitian tentang danau elips

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!