Hubungan yang telah di jalani selama tiga tahun harus berakhir dengan kekecewaan. 2 tahun menjalin hubungan jarak jauh akibat pekerjaan, nyatanya tidak berakhir bahagia. Bahkan janji yang terucap sebelum perpisahan pun tidak bisa menjadi jaminan akan kesetiaan seseorang.
sakit hati Zea membuatnya berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Zea dan Riki tiba di rumah pak Bambang dengan selamat. Sontak saja semua anggota keluarga Zea berdiri dan menghampiri gadis itu. Apa lagi pak Bambang yang segera memeriksa tubuh sang putri tercinta dengan paniknya.
Memang beliau adalah sosok yang santai dan tenang. Tapi jika sudah berhubungan dengan zea serta keselamatannya. Maka pak Bambang adalah orang pertama yang akan panik. Itu sebabnya tadi paman Bandi lebih memilih untuk menghubungi Riki saja.
"Apa yang sakit, Nak? Mana yang luka? Bilang sama Papa cepat," kata pak Bambang yang masih saja memutar-mutar tubuh Zea.
Bu Sari yang sebenarnya juga khawatir malah jadi tepuk kening melihat bagaimana suaminya mulai bersikap over. Tidak salah sih memang sikap pak Bambang yang khawatir pada anaknya itu.
Tapi jika bertanya sembari memutar tubuh anaknya berulang kali begitu. Yang ada anaknya bukannya sembuh malah pusing.
"Pa, jangan di putar-putar begitu Zea nya. Pusing nanti," tegur bu Sari mengingatkan.
Pak Bambang langsung melepaskan pegangan kedua tangannya dari bahu Zea dan malah mengangkat kedua tangan ke atas. Layaknya seorang tersangka yang akan di tangkap Polisi.
"Enggak kok, Papa gak ngapa-ngapa in." Spontan pak Bambang berucap.
Suasana yang tadinya tegang dan penuh kekhawatiran malah berubah jadi lucu akibat tingkah spontan pak Bambang itu. Anak-anak dan para menantunya berusaha untuk tidak tertawa melihat hal itu.
"Astaga, Papa. Ngapain juga tangannya di angkat begitu? Sudah seperti buronan mau di tangkap saja," ucap bu Sari yang membuat pak Bambang menurunkan kedua tangannya.
"Mama, sih. Papa kan jadi kaget tadi, trus spontan saja begitu." Pak Bambang yang baru menyadari tingkahnya merasa malu sendiri.
Bu Sari hanya geleng kepala sembari mendekati anak gadisnya yang terlihat biasa-biasa saja.
"Kamu baik-baik saja kan, Nak? Gak ada yang sakit atau luka kan?" Tanyanya seraya menyentuh kedua pipi Zea.
Gadis itu tersenyum lalu memegang kedua tangan bu Sari yang berada di pipinya.
"Aku gak apa-apa kok, Ma. Semuanya aman, tadi itu cuma kaget saja sebentar. Tapi Paman Bandi bisa atasi semuanya, jadi aku aman deh tanpa luka." Zea meyakinkan orang tuanya kalau ia baik-baik saja.
"Tapi tadi kata Mas Riki kamu sama Paman mu yang bandel itu nabrak. Gimana bisa orang nabrak baik-baik saja? Ayo kita ke rumah sakit untuk periksa," ucap pak Bambang yang meragukan ucapan anaknya.
"Tapi aku bener-bener baik-baik saja, Pa. Mobil spot yang di kasih Paman itu sangat luar biasa. Aku suka banget pokoknya sama mo.."
"Gak gak gak ... Pokoknya kamu gak boleh kendarai mobil sendiri. Apa lagi yang di kasih sama Paman mu itu mobil spot. Kamu gak pernah bawa mobil sendiri, mending pakai supir saja."
Pak Bambang langsung menyela kalimat Zea saat ia menyadari kalau anak gadisnya sudah berkata suka dengan sesuatu. Maka pasti keluarganya akan mendukung.
Jadi sebelum hal itu terjadi pak Bambang antisipasi lebih dahulu dengan menyela ucapan Zea.
Yang kalimatnya di sela jadi cemberut karena ia sudah tahu kenapa pak Bambang berbuat demikian. Tapi ia memang sudah suka dengan mobil hadiah dari pamannya itu.
Ingin membantah sang papa ia tidak bisa melakukannya. Apa lagi pak Bambang memang sangat over posesif padanya.
"Kok Papa ngomong gitu sih? Biar saja lah Zea punya mobil itu. Nanti Mas Mas nya yang ajari dia bawa mobil spot. Sudah cukup kita perlakukan Zea bagai anak kecil, walau Mama juga inginnya seperti itu. Tapi kita gak bisa terus mengekang Zea dengan larangan gak masuk akal terus kalau anaknya sendiri ingin mencoba hal baru. Yang penting itu bukan sesuatu yang buruk dan kita juga masih bisa terus memantau Zea meski dia bisa bawa mobil sendiri."
Bu Sari yang sudah jengah dengan segala larangan suaminya terhadap Zea selama ini jadi pusing. Itu sebabnya ia ingin sedikit memberi kebebasan untuk anak gadisnya. Sudah cukup baginya selama ini selalu melarang Zea ini dan itu.
Wanita paruh baya itu ingin sang anak juga bisa seperti anak lainnya yang menikmati masa muda dengan bebas tanpa kekangan namun masih dalam pantauan. Apa lagi hal yang di inginkan Zea itu bukan sesuatu yang buruk.
"Tapi Ma ..."
"Sst ... No debat lagi, Papa harus membiarkan Zea menikmati masa lajangnya dengan baik. Karena masa-masa seperti ini sangat berharga dan gak boleh di sia-sia kan. Nanti kalau Zea sudah menikah dia harus memikirkan banyak hal dan hanya akan fokus pada keluarga. Jadi biar dia senang-senang selama gak merugikan dirinya sendiri."
Kedua mata bu Sari melotot pada pak Bambang yang langsung menghela napas berat. Memang benar lah ibu negara lebih berkuasa dari pada bapak negara. Dan hanya ibu negara saja yang bisa memerintah bapak negara.
Riki dan ketiga adik laki-lakinya pura-pura tidak tahu saja dan sibuk dengan pasangan masing-masing. Mereka tidak mau melihat perdebatan kedua orang tua mereka.
Karena kalau di lihat dan ikut menyimak apa yang di perdebatkan oleh pak Bambang dan bu Sari. Saat pak Bambang kalah maka akan mencari mangsa untuk di salahkan. Dan biasanya pria itu akan menyalahkan anaknya dengan berbagai alasan tidak masuk akal.
Yang penting ibu negaranya tidak menyalahkannya terus dan tidak lagi mengomel.
"Bersihkan dirimu, Nak. Nanti makan malam Mama panggil, jangan di pikirkan ucapan papa mu. Mas Mas mu biar gantian ajari kamu bawa mobil nanti," kata bu Sari.
Zea mengangguk sembari tersenyum, ia memeluk bu Sari lalu berpindah ke pak Bambang.
"Jangan sedih Papa, aku akan berusaha buat selalu baik-baik saja dan menjaga diri."
Pak Bambang mengangguk lemah mendengar ucapan anak gadisnya. Ia tidak bisa lagi berkata-kata kalau anaknya sendiri juga terlihat sangat bahagia dan antusias.
Setelahnya Zea pergi ke kamarnya di lantai dua untuk membersihkan diri. Yang lainnya tetap di ruang keluarga dengan kesibukan masing-masing seperti tadi. Belum ada yang berani menatap pak Bambang sebelum ke adaan di rasa aman.
Hingga sebuah suara mengalihkan kesibukan mereka. Dan pak Bambang yang sedang butuh pelampiasan kekesalan dan ke khawatirannya pada Zea tadi. Sontak saja berdiri dan berlari mengejar orang yang barus aja masuk itu.
"Hay hay semuanya ... Kenapa kalian duduk di sini semua diam-diam begini? Apa kalian sakit gigi?"
"Bandi ... Bagaimana kamu bawa anak gadisku sampai bisa tabrakan?"
Suara teriakan pak Bambang mengagetkan paman Bandi. Melihat sinyal bahaya dari saudaranya itu. Sontak saja paman Bandi lari dan menghindar dari kejaran pak Bambang.
Kedua pria paruh baya itu kini terlihat bagaikan anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran. Keduanya mengelilingi ruang tamu sembari beradu argumen.
lanjut torrr