Menjerat Nyawa Suamiku

Evan hanya tersenyum mendengar jawaban Gisel, tapi dia benar-benar merasa puas melihat istrinya senang diberikan bunga.

Tanpa buang waktu, dia pun membukakan pintu mobil untuk Gisel, kemudian menyusulnya masuk.

"Aku duluan ya, La! Daahhh!!" Gisel melambaikan tangan kepada Olla. Perempuan itu langsung mengangguk dengan sedikit meringis, lantaran mengingat pembahasan mereka tadi.

Evan pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan gedung sekolah, kendaraan roda empat itu melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya.

"Kamu doyan ikan bandeng nggak?" tanya Evan, menoleh sebentar pada Gisel yang sejak tadi menciumi bunga.

"Doyan, Bang. Kenapa memangnya?" Gisel langsung menatap Evan.

"Aku mau mengajakmu makan ikan bakar bandeng. Ada restoran ikan bakar yang baru buka dekat sini."

"Boleh tuh, Bang." Gisel mengangguk semangat, terlihat sangat senang. "Aku kebetulan juga udah lama nggak makan ikan bakar. Eh, tapi kita cuma berdua, apa pulang dulu buat ngajak Umi, Bang?"

"Cuma berdua," jawab Evan. Apa yang Evan lakukan atas permintaan Umi Mae juga.

"Iiihhh Abaaangggg!!" Gisel merasakan senang yang menggebu-gebu, hingga terasa seperti menjadi lilin yang meleleh. Dia langsung menggelayuti Evan dengan manja. "Kok tumben, Abang romantis gini sama aku? Jadi seneng lho, aku, Bang."

"Anggap saja ini permintaan maaf dariku, karena semalam sudah membuatmu cemas. Aku juga berharap ... kamu nggak pernah berprasangka buruk lagi kepadaku dan Pak Yahya, aku ini pria normal. Begitu pun dengannya."

'Apa mungkin semua yang dilakukan Bang Evan hanya untuk berdalih, supaya aku nggak mencurigainya lagi?' Meski sudah dibuat mabuk kepayang oleh bunga yang Evan berikan, tapi Gisel rupanya masih tetap mencurigainya. 'Kalau memang benar ... Abang salah. Aku tetap curiga sama Abang, dan akan tetap mencari tahu hubungan kalian.' batinnya penuh tekad.

"Aku boleh nggak sih, minta sesuatu sama Abang?" Perlahan Gisel mengenggam tangan Evan, dia bertanya dengan suara lembut dan sedikit manja.

"Katakan."

"Aku kepengen Abang berhenti kerja dengan Pak Yahya, apa bisa?"

"Enggak. Dan nggak akan pernah." Evan menjawab cepat, tanpa banyak berpikir.

"Kenapa begitu?"

"Aku sudah berjanji kepadanya untuk selalu setia, dan pantang bagiku untuk mengingkari sebuah janji."

"Kenapa sih... Abang sampai segitunya sama Pak Yahya?" Gisel menjadi semakin penasaran dengan hubungan di antara bos dan asisten itu. "Maksudku, kenapa Abang sampai berjanji seperti itu kepadanya? Apakah Pak Yahya sangat berarti dihidup Abang?"

"Iya." Evan mengangguk. "Meskipun wajahnya seram, tapi hatinya sangat baik."

'Cih! Baik dari mananya coba? Yang ada dia itu jahat dan kasar!' Gisel berdecih dalam hati dengan perasaan sebal.

"Jika dibandingkan denganku, lebih berarti aku apa Pak Yahya, Bang?" tanya Gisel penasaran, sekaligus menguji apakah cinta pria itu masih banyak seperti dulu. Atau memang sudah berkurang.

"Kalian berdua sama-sama berarti."

"Pilih salah satulah, Bang."

"Enggak bisa." Evan menggeleng.

"Kenapa?"

"Ya karena nggak bisa aja. Itu pilihan yang sulit."

'Sebaik apa sih Pak Yahya itu, sampai Abang nggak bisa milih? Dasar menyebalkan!' kesal Gisel, penuh kebencian di dalam dadanya.

"Udah ... kita jangan membahas Pak Yahya dulu. Aku ingin fokus pada hari liburku dengan menghabiskan waktu denganmu," kata Evan yang ingin menyudahi pembasahan itu, karena tak mau lagi ada masalah di antara mereka.

"Aku ingin bertanya sekali lagi tentang Pak Yahya, habis ini udah, kita bahas yang lain." Meskipun sudah kebakaran api cemburu, tapi Gisel mencoba untuk tetap tenang dan tak menunjukkannya. Dia masih penasaran dan perlu menanyakan lebih lanjut tentang pria tua itu.

"Apa?"

"Semisalnya aku dan Pak Yahya sama-sama tenggelam di laut ... lalu, siapakah yang Abang selamatkan lebih dulu? Aku atau Pak Yahya?"

"Kenapa kalian bisa sama-sama tenggelam?" Evan justru berbalik tanya. Pertanyaan Gisel tidak masuk ke dalam akal sehatnya.

"Iihh... 'kan aku tanya semisalnya, Bang. Jawab aja sih," kesal Gisel.

"Tapi Pak Yahya nggak mungkin tenggelam, karena dia bisa berenang."

"Ya udah, pertanyaannya aku ganti kalau gitu."

"Apa?"

Gisel terdiam sebentar untuk berpikir, dan setelah berhasil mendapatkan ide, dia langsung mengajukan pertanyaan yang menurutnya sangat bagus. "Semisalnya aku dan Pak Yahya terjebak disebuah rumah yang terbakar, dan Abang hanya bisa menyelamatkan salah satu dari kami dalam satu waktu. Sementara kami sudah dalam keadaan pingsan, lalu ... siapakah yang Abang selamatkan? Aku atau Pak Yahya?"

...Berharap banget kamu yang diselametin duluan, ya 😆...