Pesona Janda Sultan

Enam bulan yang lalu.

Hening. Hanya detak jarum jam dinding menemani seorang gadis yang hatinya kentara gundah gulana dalam ruangan minimalis berukuran kecil, bertemakan semi kayu warna kecoklatan. Sosok dara bertubuh ramping itu duduk di salah satu kursi vintage berhiaskan bordiran bunga pada seluruh tepi.

Mengenakan mini dress motif titik polkadot tanpa lengan—rambut terurai bergelombang sebatas tulang belikat, Sofia nampak sedang menunggu kedatangan seseorang. Pasalnya, netra bulat dengan manik cokelat miliknya tak henti bergerak resah ke segala arah seolah menanti kepastian.

Walaupun pemandangan di hadapannya sangat memanjakan mata yakni sebuah taman kecil dengan hamparan rumput hijau segar serta bunga bermacam warna, tak lantas membuat hatinya merasa nyaman. Nasib gadis jelita telah diputuskan. Namun, bukan atas kehendaknya.

CLEK!

Suara pintu dibuka mulai menggema, memenuhi seluruh ruangan. Seiras itu, sesosok pria beperawakan tegap serta berahang tegas masuk melenggang dengan elegan. Ia lalu mendaratkan diri di atas kursi tepat di hadapan sang gadis.

"Mari kita mulai, Sofia Wilson," seru si pria bersuara bariton, mengenakan style tuxedo lengkap bak pebisnis dengan jam terbang tinggi.

"Jadi ... kau yang akan menjadi suamiku setahun ke depan?" tanya Sofia to the point walau sedikit gugup. Meski begitu, manik cokelatnya tetap melakukan penerawangan ke arah pria dewasa di hadapannya.

"Suami kontrak lebih tepatnya," balas sang pria mengoreksi seraya menatap datar tak terbaca lawan bicara.

Aura dingin begitu kentara menyelimuti presensinya. Tak ada ekspresi yang menggambarkan apapun seolah sang pria mati rasa. Padahal, paras dara bernama Sofia termasuk cantik dan unik. Rupa blasteran negara timur tengah yang diwarisi dari sang ibu mampu membuat kagum siapapun yang memandang. Namun, sepertinya tidak dengan Kaivan.

"Kapan kita akan menikah?" Sofia mengulang bertanya. Sungguh, amunisi pertanyaan sudah dipersiapkan sedemikian rupa dalam benak. Namun, semua seolah pudar imbas kharisma pria yang masih terlihat tampan meski usia nyaris kepala empat.

"Dua hari dari sekarang. Kau juga harus bersiap meninggalkan negara ini untuk menikah dan tinggal di Singapore." 

Hanya ucapan barusan yang mencetak record kalimat terpanjang seorang Kaivan Mahacara, calon suami kontrak Sofia. Selebihnya, hanya beberapa ujaran singkat saja.

Di tengah situasi tegang, pria lain tiba-tiba menghadirkan presensi dengan membawa segenggam dokumen yang langsung ia taruh di atas meja tepat di hadapan Sofia.

"Pelajari dokumen ini baik-baik. Bowie, asisten pribadiku akan menjemputmu dua hari lagi," perintah Kaivan seraya menyeruput teh favoritnya.

Tak ada kata pamit, setelah tegukan terakhir pada teh jasmine. Kaivan dan sang asisten berlalu meninggalkan Sofia yang masih termangu di sana. 

Imbas kesepakatan ini, Sofia memang telah menyelamatkan seorang yang paling berjasa dalam hidupnya yakni sang ayah serta perusahaannya yang sedang diambang kebangkrutan.

Namun, lebih banyak yang Sofia korbankan. Kebebasan, waktu, dan lebih parahnya lagi, cintanya. Ia harus rela meninggalkan kekasih bernama Crish Emanuel— seorang koki profesional yang selama dua tahun belakangan mengisi hati.

Tak sanggup menghadapi Crish untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya, Sofia memilih menjadi seorang pecundang yang siap dibenci. Hanya seutas pesan berisikan pemutusan hubungan sepihak yang Sofia kirim untuk Crish sebelum bertolak ke Negeri dengan julukan Singa.

...***...

"Apa maksudmu, Kai? Apa yang kau lakukan di sini?" Sofia melerai pelukan mantan suaminya itu.

"Daniel menelponku dan mengatakan kau tidak pulang ke rumah semenjak perceraian. Bisa kau jelaskan apa yang terjadi?" Kaivan menaikkan satu alis, menambah persona ketampanan pria yang sudah tak muda lagi.

"Uhm, itu ...."

"Sofia." Suara pria yang tak lain adalah Jayden menguar seraya mendekat. Sofia hampir lupa bahwa sang bos juga sedang menuju padanya.

Gawat! Aku lupa bahwa Jayden sedang kemari. Bagaimana ini? Jayden tidak boleh tau bahwa Kaivan adalah mantan suamiku.

"Aku menerima telepon dari Laura tentang penawaran kontrak. Dia bilang kau berhasil merubah keputusannya. Lalu kenapa kau tidak menghubungiku?" cicit Jayden tanpa menghiraukan Kaivan di sebelah Sofia.

"Uhm, batere ponselku mati, Pak. Jadi aku memutuskan menghubungimu setelah sampai rumah nanti," kilah Sofia sedikit gugup.

"Ah, kalau begitu sekalian saja. Kita bisa pulang bersama."

"Ekhem! Sofia akan pulang denganku." Kaivan menyela cepat ucapan Jayden.

"He ...." Netra Sofia terkesiap, baru kali ini Kaivan menunjukkan rasa peduli.

"Siapa pria ini? Apa dia paman?" tanya Jayden terdengar tak suka, akan tetapi tetap berhati-hati. Takut-takut, sang pria adalah anggota keluarga Sofia.

Paman? Beraninya bocah ini memanggilku dengan sebutan paman? Kaivan membatin kesal seraya menyorot tajam ke arah paras baby face milik Jayden.

"Ah, iya. Perkenalkan, ini pamanku yang baru saja datang dari luar negeri," cetus Sofia bersandiwara tanpa berdiskusi dengan Kaivan. Sontak sorot tajam sang mantan suami kini berpindah menatap Sofia. 

"Ah. Maaf jika tak sopan, Paman. Perkenalkan, aku Jayden Baldwin." Intonasi Jayden spontan berubah ramah, ia juga menundukkan kepala singkat seraya memperkenalkan diri. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat dari tak suka menjadi segan kepada Kaivan.

"Kau—"

"Baiklah, Pak. Karena telah larut, aku dan paman akan pulang. Selamat malam," tutup Sofia seraya menarik paksa lengan Kaivan yang hendak merutuk Jayden. Wanita itu pun segera menggiring mantan suaminya menuju mobil.

"Sofia!" panggil Jayden saat wanita itu akan memasuki mobil. Sofia pun terhenti dan menoleh sejenak.

"Jangan sampai terlambat ke kantor besok, mengerti?" 

Sofia hanya merespon dengan anggukan takzim sebelum presensinya lenyap ke dalam mobil mewah warna hitam milik Kaivan.

Fyuhh! Aku pikir pria berumur itu kekasihnya.

"Astaga! Apa yang kau gumamkan, Bodoh. Mau kekasihnya sekalipun, apa urusanmu!?" Setelah membatin lega, Jayden lanjut bermonolog canggung tak karuan. Pria itu bahkan mengusak rambut kasar dan cepat-cepat menyeberang lagi untuk menuju mobilnya diseberang.

Beberapa saat kemudian.

"Ch! Paman? Apa aku terlihat seperti paman-paman?" sindir Kaivan melayangkan protes yang tentu saja diarahkan kepada Sofia. Kini, keduanya duduk bersebelahan di bangku penumpang belakang.

"Ekhem, kenapa kau tiba-tiba muncul? Kau bahkan memelukku. Jangan bilang kau menyesal kita bercerai?" Sofia berusaha mengalihkan topik, berharap Kaivan melupakan kejadian tadi. Namun, Sofia keliru. Kaivan justru semakin menguliti mantan istrinya itu. 

"Kuakui agendaku ke tanah termasuk mencarimu karena Daniel masih menganggap kau dan aku masih dalam ikatan pernikahan," terang Kaivan. "Mengapa kau tidak mengabari ayahmu sendiri perihal perceraian kita dan seolah menghilang? Dan ada hubungan apa kau dengan pewaris Baldwin?" lanjut sang pria mencecar.

"Wow, aku baru tahu bahwa kau sekarang banyak bicara, Kai. Tapi kau lupa, aku tidak ada sangkut paut denganmu lagi setelah kau mengakhiri pernikahan kita," balas Sofia menyindir penuh percaya diri.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Sof. Kau tau aku mampu melakukan apapun untuk mencari informasi detail yang kau sembunyikan. Haruskah aku melakukannya tanpa kau ketahui?" gertak Kaivan mengancam.

Si*l! Kaivan tidak boleh tahu bahwa aku sedang hamil. Ini akan memperburuk keadaan.

Raut angkuh Sofia seketika memudar. Wanita hamil itu menggigit bibir bawahnya khawatir, ia tahu persis kekuatan Kaivan sebagai pebisnis multinasional kelas kakap dengan segala koneksi di penjuru Asia.

"Baiklah, kita akan bicara tapi tidak sekarang. Temui aku jam 6 sore di La Faye," tukas Sofia menjadwalkan pertemuan dengan sang mantan suami di restoran mewah favorit Kaivan saat berada di tanah air bernama La Faye.

Meskipun masih kesal, malam semakin larut. Kaivan memutuskan memberi kelonggaran pada mantan istri kontraknya memberi penjelasan.

Seiras anggukan persetujuan Kaivan, tak terasa mobil jenis sedan itu berhenti tepat di teras rumah type minimalis modern milik Lena.

...***...

Keesokan harinya.

Ini sudah jam 8 lebih, tapi gadis angkuh itu belum ada di kursinya. Itu pertanda Jayden pasti sudah memecatnya imbas insiden kemarin.

Azyla membatin puas seraya menyeringai licik. Sesampainya di kantor, ia menyempatkan melipir ke kubikal milik Sofia untuk memastikan wanita itu hilang dari peredaran. Pasalnya, Azyla menyaksikan sendiri Jayden pulang dengan raut masam siang kemarin. Sang CEO pun sempat menceritakan garis besar alasan kekesalannya saat itu kepada Azyla yang salah satunya adalah attitude Sofia.

Senyum merekah kini terbit dari bibir tipis Azyla. Sembari melangkahkan tungkai penuh semangat, sang gadis ingin segera menemui pria pujaannya.

Seperti biasa, tanpa mengetuk, jemari Azyla melenggang membuka pintu ruangan Jayden dengan kecepatan normal dan menyapa, "Selamat pagi, Jay. Aku—"

DEG!

Ucapan Azyla mendadak terjeda, diikuti belah ranum menganga kala menemukan pemandangan Jayden dan Sofia saling bersitatap intens dalam jarak beberapa inci saja.