Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 32
EMOSI MANUSIA
Keran air masih menyala di saat Nadine sibuk melamun. Setelah pertengkaran dengan Maxi tadi, Nadine baru saja mengganti pakaian basahnya dengan pakaian kering. Kini ia sibuk mengeringkan rambut panjangnya yang basah itu menggunakan handuk.
Sorot matanya kosong ketika ia menghadap ke cermin wastafel. -‘(Dan perlu kamu tahu. Aku menikahimu agar kamu bisa menemui kakak mu dengan selamat.)
-‘(Menikahlah denganku selama 200 hari. Aku akan melindungi mu, dan aku pastikan musuh-musuhku tidak akan menyentuhmu termasuk pamanku.)
Pikiran Nadine sedang bergelut sendiri. Semua yang pernah Maxi ucapkan terus saja keluar dari kepalanya, bahkan ketidakberdayaannya yang menerima pernikahan 200 hari itu.
Merasa kesal, Nadine mematikan keran airnya, memegang ke sisi wastafel sambil menundukkan kepalanya. Pada saat yang bersamaan juga air mata Nadine ikut menetes. “Kamu keterlaluan hikss..” Gumam Nadine meremas sisi wastafel saking kesalnya dengan sikap Maxi yang tidak bisa di tebak.
Sebuah ruangan santai, Maxi duduk menghadap ke tembok kaca yang menghadap ke rumah Ericsson. Setiap kali pikiran Maxi kacau, pria itu selalu ditemani oleh segelas sake atau apapun minumannya asalkan mengandung alkohol.
Ia meneguk sake di gelas yang masih berada di tangannya. Sama seperti Nadine, pria itu juga memikirkan semua ucapan juga cacian yang pernah Nadine berikan untuknya. Suara-suara di masa lalunya juga ikut terngiang di kepalanya. Suara Nadine, Miia, ayah Charlotte, Ericsson dan saudaranya. Suara mereka tidak bisa hilang begitu saja, setiap kali Maxi ingin bersantai sendirian, dia terus saja di hantui oleh masalah-masalah yang ada.
Flashback on
Desa woodstock vermont, Amerika Serikat
Seorang pria paruh baya berkumis tipis tengah duduk di sebuah jembatan kayu yang mengarah tepat di danau. Pria itu tidak sendiri, ada seorang anak laki-laki berusia 9 Tahun duduk di sampingnya sambil memegang pancing kecilnya.
Sambil menunggu ikan yang menghampiri umpan mereka. Sosok pria berkumis tipis tadi menoleh ke anak laki-lakinya yang nampak senang seperti biasa.
“Maxi! Dengarkan ayah.” Anak bermata abu-abu itu menoleh ke arah ayahnya yang sama-sama tersenyum.
“Apa yang lebih menakutkan di dunia ini?” sebuah pertanyaan membuat anak bernama Maxi tadi mulai berpikir. Di usianya yang masih cukup muda, ia cukup pandai karena ayahnya selalu mengajari banyak hal yang mungkin akan datang di masa depan.
“Hantu!”
“Yaa kamu bisa bilang hantu menakutkan. Tapi-- ” Charlotte merangkul pundak putranya.
“Ada yang lebih menakutkan dari hantu.”
“Apa itu?”
“Manusia.” Maxi masih sedikit kebingungan melihat serta mendengar ucapan ayahnya barusan. Ya, ini adalah pelajaran baru yang ayahnya berikan kepadanya.
Charlotte membuang nafas panjangnya.
“Ada banyak sekali macam manusia. Ada yang baik, ada yang jahat dan ada lebih banyak lagi. Tapi ingat satu hal Maxi... Ada kalanya kita menahan emosi kita saat berhadapan dengan manusia! Terbuka sedikit tidaklah masalah. Bahkan seorang penjahat pun tidak bisa di bilang jahat selagi mereka ingin bertobat. Dan sekarang, apa kamu sudah tahu?!” Charlotte melihat ke putranya yang menggeleng polos. Pria paruh baya itu hanya tersenyum maklum, mengusap puncak kepala Maxi.
“Kamu adalah kamu. Marah, sedih, terkejut, senang dan cinta, kamu memiliki semua itu. Bahkan ayah, ibu, Ina dan Tirich, kita semua mempunyai emosi! Dan kamu harus bisa mengendalikan emosi itu.” Seperti seorang ayah yang sangat baik dan perhatian. Charlotte memberikan dukungan penuh kepada Maxi, meski dia bukan darah dagingnya tapi Maxi adalah putra pertama yang dia punya.
“Kamu sudah mengerti?!” Maxi mengangguk dengan senyuman lebar. Tak lama pancing yang Maxi bawa mulai bergerak menandakan ikan yang tertarik akan umpan milik Maxi.
Anak laki-laki itu mulai girang sambil berteriak memanggil ayahnya yang berada di sampingnya. Suasana senang dan bahagia, ketika keduanya berhasil menangkap ikan pertama mereka.
Flashback off
Kedua mata Maxi mulai berkaca-kaca, tanpa sadar ia meremas kuat gelas yang berada di genggaman tangannya. Ingatan yang barusan membuatnya merindukan sosok ayah yang selalu dia rindukan, kepergiannya membuat Maxi tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik, bahkan kini pria itu tidak tahu harus bersedih, marah atau tertawa.
Meski matanya berkaca-kaca, tak satupun butiran air mata menetes dari kelopak matanya. Semuanya membuat dirinya lelah, kematian orang-orang yang dia sayangi selalu berkaitan dengannya.
Dari arah belakang, Miia baru saja tiba, namun langkahnya berhenti saat melihat Maxi melempar gelas kaca ke sembarang arah hingga pecah berkeping-keping. Miia tersentak kaget saat mendengar suara nyaring dari gelas kaca tersebut, niatnya yang ingin berbicara baik dengan putranya ia urungkan kembali ketika menyadari keadaan Maxi tidak sedang baik-baik saja.
Melihat Maxi yang kali ini menunduk dan tidak ada pergerakan sedikitpun membuat Miia merasa bersalah. -‘Bahkan di saat kamu bersedih, aku tidak bisa menjadi seorang ibu yang baik untukmu.’ Batin Miia, tak terasa air matanya menetes.
Dengan cepat Miia menghapus jejak air matanya, wajah sedih bercampur bersalah kini berubah menjadi lebih percaya diri. “Ini yang terbaik untukmu, Maxi.” Gumamnya lalu pergi tanpa sempat menemui Maxi.
Miia terus berjalan cepat menuju ke rumah Ericsson dengan perasaan sedihnya, tanpa disadari Ericsson berdiri di ambang pintu masuk. Keberadaan Ericsson membuat langkah Miia berhenti, betapa marahnya dia melihat wajah kakaknya itu seakan memiliki dendam tersendiri.
“Apa yang kamu lakukan di rumah Maxi?” Ericsson selalu saja memberikan tatapan ancaman kepada Miia dan itu sangat memuakkan.
“Seharusnya kamu tidak perlu bertanya, di saat kamu adalah dalangnya Ericsson.” Pria tua itu dapat melihat tangis kemarahan dari adiknya. Miia sendiri tidak ingin berbelit dan memilih masuk menerobos Ericsson dengan kasar.
Pria itu masih berdiri angkuh dengan apa yang barusan Miia katakan. Kepalanya selalu terangkat penuh kehormatan, dan kedua tangannya selalu ia taruh ke belakang.
.
.
.
.
Beberapa jam berlalu, setelah berhasil mengendalikan emosinya sendiri, Maxi mulai masuk ke kamarnya, melihat istrinya tengah tertidur pulas di atas sofa.
Dia sama sekali tidak bosan melihat wajah tenang Nadine ketika tidur. Wanita itu terlihat sangat polos dan penuh keberanian, mengingatnya saja selalu membuat Maxi terseringai penuh arti.
Dengan gerakan perlahan, Maxi mulai mengangkat tubuh Nadine, menggendongnya ala pengantin dan membawanya ke kasur. Sejenak, tangan Maxi terangkat menyingkirkan helai rambut indah wanita yang masih tertidur pulas, menelusuri setiap garis wajah dari seorang wanita Asia.
...***...
Seperti biasanya, para pelayan sibuk bekerja. Suara ricuh di arah dapur, di seluruh halaman Mansion, serta di setiap lorong rumah. Mereka akan selalu membersihkan debu-debu setiap harinya sebelum para majikan memergoki debu tersebut lebih dulu.
Para penjaga juga masih siap siaga, menjaga keamanan di setiap sisi Mansion ErEd, memastikan tidak ada satupun musuh yang bisa menelusup masuk.
Nafas Nadine terdengar ringan, tangannya terus saja bergerak mengusap punggung gagah tanpa helai benang. Dengan mata yang masih tertutup, Nadine mencoba mendekatkan tubuhnya, membuatnya lebih nyaman ke sebuah kehangatan yang saat ini dia rasakan di pagi hari. Hidungnya menyentuh kulit leher yang tercium aroma segar dan wangi, membuat bibir Nadine tersenyum kecil.
Sebuah tangan kokoh juga bergerak mengusap belakang kepalanya sampai ke punggungnya.
Keduanya tanpa sadar tengah berpelukan dalam satu ranjang, menikmati kehangatan masing-masing, serta mimpi indah yang mereka alami sehingga keduanya enggan membuka mata satu sama lain.
kl menyukai ,kenapa nggak d ulangi n lanjut next yg lebih hot.
( berimajinasi itu indah.. wk wk wkk )
kl sekarang mau kabur,apa nggak puyeng liat jalur melarikan dirinya.jauuuub dr kota.awak d ganggu pemuda2 rese LG lho.
tadinya baca cerita luna almo dulu sih..untuk maxi nadine ini ditengah udah mau menyerah krn alurnya lambat ya..tapi penasaran jadi ttp aku baca..dan kesimpulannya bagus banget walaupun banyak bab yang menguras emosi..terimakasih kak author..