Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Apa kamu tinggal sendiri?" tanya Pandu sembari mengedarkan pandangannya.
Eva menaruh minuman dingin, "Iya, aku tinggal sendiri keluargaku berasa di luar kota."
Keluarga Eva pindah keluar kota karena kerjaan, sedangkan dia masih berat bekerja di tempat ini. sehingga harus berjauhan dengan keluarganya.
"Oiya, kamu ada apa?" Eva memiringkan kakinya sehingga berhadapan dengan Pandu.
Pandu meneguk air dingin sampai habis, "Sedang pusing saja. Jadi, aku datang ke mari mencari ketenangan," gombalnya yang membuat Eva tersipu malu.
Dia juga senang karena menjadi tujuan dia saat dia merasakan tidak baik-baik saja. Dengan begitu perasaan mereka akan semakin erat.
"Kamu mau tidur di sini?" tanya Eva karena sudah malam.
"Memangnya boleh?" tanya Pandu ragu.
Eva menganggukan kepala, dia tidak keberatan Pandu menginap dirumahnya. Kamarnya juga tidak hanya satu.
"Boleh, aku antar ke kamar." Eva mengantar Pandu ke kamar agar dia bisa istirahat lebih cepat. Meskipun, dia sebenarnya masih ingin berbincang.
Pandu mengekor Eva, matanya memandang ruangan yang akan ditidurinya sampai dia tidak melihat jalan.
Dia menabrak Eva yang berdiri dihadapanya, mereka terjatuh bersama di kasur.
Jantung Eva berdegup kencang saat Pandu berada di atasnya. Netra mereka saling berpandangan intens.
Eva tidak bisa menahan diri untuk lebih mendekat dengan Pandu. Aroma wanginya menghipnotis dirinya.
Dia menarik tengkuk Pandu, mencium lembut bibirnya Pandu yang terus menggodanya.
Pandu mendelik, dia belum membalas serangan mendadak ini. Namun, lama-lama dia memejamkan matanya merasakan sentuhan dari Eva.
Dia memberikan balasan, dia dibuat hilang ingatan malam ini. Apa lagi Eva yang berpenampilan seksi dan anggun membuat dia tertarik.
Pandu membuka matanya saat dia sampai di leher Eva, dia menarik diri langsung duduk. Dia sudah melebihi batas.
Begitupula dengan Eva, dia merasa malu karena mencium lebih dulu. Dia sangat agresif, mencium dengan sangat brutal.
Lehernya pun sudah ada bekas merah sebelum Pandu sadar. Eva beranjak hendak pergi meninggalkan kamar.
"Mau ke mana?" tanya Pandu sembari menarik tangannya.
"Kamar," ucapnya dengan bibir bergetar karena gugup.
Ia melepaskan tangan Pandu dan segera lari, sesampai di kamar Eva memegang dadanya. Memandang wajahnya yang memerah.
"Apa ini?" Eva menyentuh tanda merah di lehernya.
Eva mengingat ciuman yang terjadi bebeberapa menit itu, suami orang itu sangat menggoda Eva.
"Haruskah aku merebutnya?" katanya sembari memegangi bibirnya.
Eva kini semakin ambisi ingin memiliki Pandu, ciuman barusan seakan mengeluarkan pelet sehingga dia tidak mau terlepas darinya.
Eva menggelengkan kepala, "Dia sudah punya istri, hal tadi hanya khilaf."
Eva pergi ke ranjang menyelimuti sampai ke wajahnya, dia berusaha melupakan yang sudah terjadi.
Menjelang pagi, Eva sudah menyiapkan sarapan layaknya seorang istri. Pandu yang yang mencium aroma makanan langsung terbangun.
"Bau apa ini, enak sekali?" tanya Pandu sembari menarik kursi untuk duduk.
"Aku memasak sarapan untuk kamu, semoga suka karena aku tidak tahu makanan kesukaanmu," katanya Eva dengan tersenyum manis. Ia menaruh susu putih hangat di samping Pandu.
Pandu merasakan sesuatu yang beda dihidupnya, dia menginginkan rumah tangga yang seperti ini. Dilayani oleh sang istri bukan pembantunya.
"Kenapa kamu tersenyum?" Eva menatap Pandu yang sejak tadi tersenyum manis kepadanya.
"Apa kamu masak sendiri?" tanya Pandu melihat sajian makanan yang bermacam-macam.
"Iya, aku lebih senang memasak sendiri." Eva melayani Pandu.
"Akan sangat hangat rumah tanggaku jika memiliki istri seperti Eva, idaman. Sayang aku terburu-buru menikah," batinnya.
...----------------...
Mata Wina membulat melihat menantunya memakai perhiasan yang mencolok. Bahkan melebihi miliknya, selama dia menikah dengan Pandu tampak sederhana.
"Nada, dari mana kamu mendapatkan perhiasan itu?" Wina berjalan mendekati Nada.
Nada mengangkat tangannya, "Ini?" Nada dengan memegang gelang yang melingkar di tangan kirinya.
"Kamu menggunakan uang anakku kan?" tuduh Wina mulutnya menyeringai.
"Ibu, anakmu itu tidak memiliki apa-apa tanpa aku, bahkan aku bisa mengeluarkan dia dari perusahaan jika aku mau," jawab Nada dengan senyuman manis.
Wina tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan Nada. "Memangnya kau ini siapa?"
Memecat Pandu yang sudah menjadi pemimpin perusahaan itu sangat mustahil. Sedangkan Nada bukan orang penting.
"Aku adalah menantu yang ibu sia-siakan," katanya sembari beranjak meninggalkan ibu mertuanya.
Wina menarik kerudung Nada, "Mau ke mana kau?!"
"Buk, lepaskan sakit!" Nada berusaha melepaskan tarikan tangan ibu mertuanya.
"Kembalikan perhiasanmu, baru ibu lepaskan!" titah Wina.
"Kenapa aku harus memberikan kepada ibu? jika memang ini Mas Pandu yang belikan ini kan hakku." Nada tidak mau memberikan perhiasannya.
"Kamu itu tidak berhak semua harta anakku!" serunya di telinga Nada melengking.
Nada berhasil lepas dari terkaman mertuanya sampai mertuanya sedikit terpental. Wina jatuh terduduk.
"Ada apa ini?" Pandu membantu ibunya berdiri.
Wina pura-pura menangis, "Nada mendorong ibu. Padahal ibu hanya bertanya tentang perhiasan yang dia pakai."
Wina berusaha membuat citra Nada di mata Pandu semakin buruk agar anak lelakinya mengambil sikap tegas.
"Nada, keterlaluan kamu!" bentak Pandu, ia melayangkan tamparan keras sampai membuat Nada memalingkan wajahnya dengan cepat.
Nada memegang pipi kanannya yang perih, air matanya panas. Suaminya yang tidak tahu kejadian yang sebenarnya tiba-tiba ikut emosi.
"Mas, ibumu yang keterlaluan. Harusnya kamu yang tampar ibu!" teriak Nada karena sudah kesal dengan sikap Pandu yang terus membela ibunya padahal dia salah.
"Kamu gila, jelas-jelas kamu mendorong ibu sampai jatuh!" Pandu melotot, ia akan sangat marah saat tahu ibunya disakiti oleh orang lain.
Wina masuk ke pelukan Pandu menangis, ia tahu cara membuat anaknya meradang dengan anaknya.
"Ibu, berhenti berpura-pura. Jelas-jelas ibu yang menarik kerudungku." Nada melipat kedua tangannya di dada.
Nada menunjukan wajah garang, ia tidak mau terus ditindas.
"Buk, kita clearkan masalah ini. Mas Pandu, apakah kamu yang membelikan perhiasan yang aku pakai?" tanya Nada dengan menunjukan gelang dan kalung yang dia pakai.
Seingat Pandu dia hanya membelikan cincin saja, dia tidak memberikan apa-apa.
"Pandu katakan, perhiasan itu kamu yang belikan?" Wina meminta Pandu menjelaskan.
"Buk, Mas Pandu tidak bisa menjawab. Karena ini aku sendiri yang membelinya," kata Nada dengan sombong.
Wina menggoyangkan tangan Pandu agar dia segera menutup mulut sombong menantunya.
"Pandu tidak pernah membelikan perhiasan itu?" lirihnya. Wajah Wina langsung tertunduk malu.
"Buk, sebenarnya masalah ibu sama Nada itu apa? Kenapa benci sekali dengan Nada?" Nada ingin tahu alasan mertuanya yang terus mengusiknya.
"Karena ibu tidak suka denganmu," jawab Wina jujur.
Nada menarik napas panjang, "Kalau tidak suka kenapa menerima Nada sebagai menantu?"