Dalam kehidupan yang dipenuhi dengan tantangan dan pertempuran, cinta sering kali menjadi cahaya yang memandu. Zayyy, seorang pemuda yang karismatik dan tak kenal takut, telah berjuang melawan musuh dan tantangan, tidak hanya untuk melindungi artefak berharga, tetapi juga untuk menjaga cintanya dengan Angelina. Namun, di tengah semua itu, ada suatu kebenaran yang tak terhindarkan: hidup adalah perjalanan yang penuh dengan keputusan sulit, pengorbanan, dan kehilangan.
Saat bayangan gelap mulai mendekat, Zayyy harus menghadapi tidak hanya musuh yang mengancam, tetapi juga perasaannya sendiri. Pertarungan untuk cinta dan harapan akan membawa Zayyy pada jalan yang penuh dengan kenangan indah dan kesedihan yang mendalam. Di sinilah kisahnya dimulai, di mana setiap detik berharga dan setiap pertempuran adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar—sebuah perjalanan menuju pengertian sejati tentang cinta dan kehilangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mohamad Zaka Arya Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Kenangan yang Terukir
Hari-hari berlalu setelah pertemuan tak terduga Zayyy dan Angelina di kota itu. Meskipun mereka kembali ke rutinitas masing-masing, bayangan pertemuan singkat itu terus berputar di benak mereka.
Ada sesuatu yang berbeda, seolah-olah kenangan yang dulu sudah mereka anggap sebagai masa lalu kini hidup kembali, memunculkan rasa yang telah lama tersimpan.
Zayyy kembali tenggelam dalam latihan intensifnya, berusaha fokus pada setiap sesi dan tantangan fisik yang menguras tenaga. Namun, di sela-sela kesibukan itu, pikirannya selalu terlempar kembali pada senyum Angelina, tawa ringannya, dan percakapan mendalam yang mereka bagikan saat itu.
Terkadang, saat malam tiba dan ia berada sendirian di kamar asramanya, Zayyy merenung, mempertanyakan apakah keputusan mereka untuk berpisah dulu adalah langkah yang benar. Meski ia tahu bahwa jalan hidup mereka berbeda, namun perasaan yang mengakar dalam hatinya sulit diabaikan.
Sementara itu, Angelina yang kembali ke kampus pun merasakan hal yang sama. Di setiap jeda dari tugas-tugasnya, ia mendapati dirinya membuka galeri ponsel dan melihat foto-foto lama bersama Zayyy—saat mereka masih berstatus pasangan, dan segalanya terasa mudah.
Kini, ia merasa bahwa jarak dan waktu tidak benar-benar menghapus semua perasaan itu. Bahkan, terkadang ia merasa bahwa pertemuan mereka yang singkat itu justru memperkuat kenangan yang ia simpan.
Suatu sore, saat hujan turun dengan deras, Zayyy duduk di tepi jendela kamar asramanya. Pandangannya terarah pada tetesan hujan yang meluncur di kaca, menciptakan pola acak yang indah namun menyiratkan kesepian.
Dalam keheningan itu, ia memutuskan untuk membuka kotak kecil yang ia simpan di dalam lemari. Kotak itu berisi benda-benda kecil yang ia kumpulkan selama masa-masa bersama Angelina—surat-surat kecil, tiket bioskop, hingga gelang yang pernah mereka beli bersama di Bukit Surga.
Ia mengambil selembar foto mereka berdua, foto yang diambil di taman kota saat senja. Senyum ceria Angelina tampak jelas dalam foto itu, sementara ia terlihat menyandarkan bahunya di kepala Angelina dengan tatapan penuh kasih sayang. Momen itu, momen yang terekam dalam sebuah foto, kini terasa begitu jauh namun tetap begitu hidup dalam ingatannya.
“Apa yang salah, ya?” gumam Zayyy pada dirinya sendiri. “Kenapa rasanya masih sama seperti dulu?”
Hujan semakin deras, dan Zayyy merasakan keinginan yang kuat untuk menulis sesuatu. Ia mengambil kertas dan pena, lalu mulai menuliskan kata-kata yang selama ini ia pendam dalam hatinya.
Dalam tulisan itu, ia mencurahkan perasaannya, bagaimana ia merindukan Angelina, bagaimana kenangan-kenangan mereka selalu hidup dalam dirinya meski mereka sudah memilih jalan yang berbeda.
Di kampusnya, Angelina juga mengalami hal serupa. Sore itu, ia duduk di perpustakaan, berusaha menyelesaikan tugas, namun pikirannya selalu kembali pada pertemuan mereka yang singkat.
Setiap kali ia teringat senyuman Zayyy, hatinya terasa hangat, namun ada perasaan pahit yang tak bisa ia enyahkan. Dalam keheningan perpustakaan, ia membuka buku catatan kecilnya dan mulai menulis, mencurahkan isi hatinya seperti yang sering ia lakukan dulu.
“Zayyy, aku selalu merindukanmu,” tulis Angelina pelan. “Aku tahu, kita sudah memilih jalan kita masing-masing. Tapi kenapa rasanya masih sama? Kenapa rasanya kita masih seperti dulu?”
Tulisannya terhenti, dan ia menatap tulisan itu dengan pandangan kosong. Ada perasaan yang mengganjal di hatinya, sebuah kesadaran bahwa meskipun mereka telah mencoba melupakan, perasaan itu tak pernah benar-benar hilang.
Malam itu, tanpa diduga, Zayyy mengirim pesan singkat kepada Angelina.
“Angel, kamu lagi apa?”
Angelina terkejut menerima pesan itu, namun senyumnya muncul secara otomatis. Ia membalas dengan cepat.
“Baru selesai nulis di perpustakaan. Kamu sendiri?”
“Oh, aku juga baru aja selesai latihan. Hujan deras di sini,” balas Zayyy.
Obrolan mereka mengalir begitu saja, seperti tak ada jarak waktu di antara mereka. Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari kesibukan masing-masing, teman-teman baru, hingga cerita lucu yang mereka alami.
Namun, di balik semua itu, ada kerinduan yang tersembunyi di setiap kata, sebuah kerinduan yang seolah ingin mereka abaikan namun selalu hadir.
Percakapan itu terus berlanjut hingga larut malam. Di sela-sela percakapan, Zayyy akhirnya membuka hatinya.
“Angel... aku nggak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini aku sering mikirin kita. Rasanya kayak... kita belum selesai.”
Angelina terdiam sesaat membaca pesan itu. Ia pun merasakan hal yang sama, namun ia tak tahu bagaimana harus merespon. Setelah beberapa detik, ia membalas.
“Aku juga merasa begitu, Zay. Tapi... bukankah kita udah memilih jalan kita masing-masing?”
“Iya, aku tahu. Tapi kenapa rasanya masih ada sesuatu yang belum tuntas?” balas Zayyy dengan jujur.
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan keheningan dalam percakapan itu berbicara lebih dari kata-kata. Ada keraguan, ada harapan, namun juga ada rasa takut. Takut bahwa jika mereka mencoba kembali, mereka akan terluka lagi seperti dulu.
Setelah beberapa saat, Zayyy mengirim pesan lain.
“Angel, gimana kalau kita bertemu lagi? Mungkin kita bisa bicara langsung. Ada banyak hal yang pengen aku bilang.”
Angelina merenung sejenak sebelum membalas. Ada ketakutan dalam dirinya, namun juga ada perasaan penasaran yang tak bisa ia tolak.
“Baiklah, Zay. Kita bisa ketemu lagi. Mungkin memang ada hal-hal yang perlu kita selesaikan.”
Mereka sepakat untuk bertemu di akhir pekan, di sebuah tempat yang pernah menjadi saksi bisu kenangan mereka: Bukit Surga.
Tempat itu adalah tempat di mana mereka pertama kali mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain, tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu berdua, berbagi cerita dan impian.
Hari yang dinantikan pun tiba. Zayyy tiba lebih awal di Bukit Surga, menunggu di tempat yang biasa mereka datangi. Matahari mulai terbenam, menciptakan cahaya keemasan yang indah di langit.
Tak lama kemudian, Angelina tiba, mengenakan sweater biru muda yang membuatnya tampak anggun. Mereka saling tersenyum saat bertemu, namun tak ada kata yang keluar. Hanya keheningan yang terasa.
“Angel, aku senang kamu datang,” kata Zayyy akhirnya.
Angelina mengangguk pelan. “Aku juga, Zay. Terima kasih sudah mengajakku ke sini.”
Mereka duduk berdua, memandang pemandangan senja yang memukau di hadapan mereka. Dalam keheningan itu, mereka berdua menyadari bahwa perasaan yang mereka simpan selama ini bukanlah sesuatu yang mudah diabaikan.
Meski mereka telah mencoba melangkah ke jalan yang berbeda, hati mereka seolah masih terikat pada kenangan yang pernah mereka lalui.
“Angel, aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi, aku tahu satu hal: kamu selalu ada di hatiku, dan aku nggak bisa membohongi diriku sendiri tentang itu,” kata Zayyy dengan suara yang lirih namun penuh kejujuran.
Angelina menatapnya, matanya berbinar. “Aku juga, Zay. Mungkin kita memang terpisah untuk sementara, tapi... mungkin perasaan ini adalah sesuatu yang harus kita pelihara.”
Mereka saling tersenyum, dan di tengah senja yang semakin memudar, mereka tahu bahwa perasaan itu tak akan pernah hilang. Meski kehidupan terus berjalan, mereka akan selalu memiliki tempat di hati masing-masing.