Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Empat
“Kalau dia siap nikah sepuluh tahun lagi, ya enggak apa-apa, Ma. Soalnya aku sekalian nunggu adik-adik nikah semua, baru aku nikah!” tegas mas Abdul.
Dewi yang sedang menyediakan makanan untuk adik-adik mas Abdul merasa, pertemuan yang baru saja selesai antara mas Abdul dan calon istrinya, kurang berhasil.
“Suruh nunggu sepuluh tahun lagi, sementara calonnya sudah kelihatan sudah berumur. Kalau iya beneran sampai nunggu sepuluh tahun, yang ada calonnya sudah mirip nenek Retno. Si mas Abdul ya, ada-ada saja!” batin Dewi yang kemudian mencuci setiap gerabahnya ke tempat cuci khusus. Kebetulan, di zamannya, di rumah mas Abdul belum ada wastafel.
“Mas Abdul kalau mau nikah, nikah saja. Jangan bawa-bawa kami. Nanti yang ada, kami juga dipaksa nikah semua!” protes Resti selaku adik tertua mas Abdul dan usianya hanya dua tahun lebih muda dari mas Abdul.
Mas Abdul yang baru duduk di tempat duduk paling ujung, berangsur menghela napas dalam. “Kok malah jadi gini, sih?” batinnya. Namun ketika ia tak sengaja menoleh ke tempat cuci, di sana Dewi dengan damainya mencuci gerabah tanpa beban.
Akan tetapi tanpa mas Abdul sadari, sang mama memergoki perhatiannya kepada Dewi. “Jangan-jangan malah si Abdul yang naksir Dewi,” pikir ibu Safangah jadi stres sendiri. Dadanya mendadak sesak dan ia memilih duduk di sebelah mas Abdul. Ibu Safangah sengaja menghalangi pandangan mas Abdul kepada Dewi. Ia bahkan tak segan melirik tajam mas Abdul dan baginya sudah cukup sebagai peringatan keras darinya.
Mas Abdul menghela napas dalam. “Mama enggak tahu, aku ngefans banget ke dia! Seumur-umur yah Ma. Dia merupakan wanita paling tangguh yang aku kenal! Bayangkan andai yang mengalami wanita lain. Minimal, anak jadi pelam piasan. Digebu gin lah. Bahkan Mama pernah melakukannya kepada anak-anak mama saat kejadian papa sama nenek Retno. Namun dia, ... enggak Ma! Saking bingungnya tidak punya tempat tinggal, dia sengaja gendong dua anaknya sampai subuh agar anaknya tahu, mamanya sedang membawa mereka pulang. Padahal, dia sedang masa nifas dan memang enggak punya tujuan! Darah nifasnya sampai ke mana-mana, tapi dia sama sekali enggak rasa!” Mas Abdul berbisik-bisik dan memang menjadi sangat cerewet.
Ibu Safangah yang merasa tertam par dengan ucapan mas Abdul, jadi makin stres. Ibu Safangah memilih pergi dan memang jadi tidak selera makan. “Wi, besok pagi belanja sayur sama segala macam ya. Nanti saya catat,” ucapnya ketika lewat di belakang Dewi.
“Oh, iya, Bu.” Dewi kembali menyikapi dengan santun dan memang selalu begitu.
Di luar sana, pak Mahmud juga tak kalah stres dari ibu Safangah. Apalagi sang istri yang telanjur sakit, tak kunjung mau diboyong ke rumah sakit. Karena jangankan ke rumah sakit, sekadar minun obat dan makan dengan semestinya saja, ibu Aminah menolak. Lain dengan yang lain, di kontrakan Prasetyo malah menjadi ajang perke lahian antara ibu Retno dan keluarga Prasetyo. Terlebih kini, keluarga Prasetyo tahu bahwa ibu Retno sudah tidak kaya.
“Oalah Pras ... Pras. Bisa-bisanya kamu dapat istri nenek-nenek, spek malaikat pencabut nyawa. Tiap saat kerjaannya ngamu.k tanpa jeda,” isak ibu Surmi meraung-raung dan memang babak belur. Rsmbutnya saja acak-acakan dan itu efek dijamb.ak ibu Retno dan sebelumnya sempat menjadi menantu idaman.
“Kalau begini caranya, mending kamu balik sama Dewi saja. Seumur-umur, Dewi enggak berani mu.kul!” ucap Warti yang biasanya paling bengis kepada Dewi dan anak-anaknya.
Tak beda dengan ibu Surmi, Warti juga babak belur oleh ibu Retno. Karena selain bogem maupun tendangan, ibu Retno juga tak segan memukul.i mereka menggunakan gagang sapu ijuk layaknya apa yang selama ini mereka lakukan kepada Dewi dan anak-anaknya.
“Makanya, kalau mau hidup, kerja! Dikiranya Prasetyo panti sosial apa, suruh hidupin kalian? Berani kalian ke aku, keluar kalian dari kontrakan ini! Pokoknya, jika selama dua minggu kalian tetap tidak bekerja termasuk tidak pindah dari kontrakan ini, ... aku tahu bagaimana caranya bikin orang seperti kalian hanya tinggal nama!” tegas ibu Retno.
Di luar, bersama adik laki-laki termasuk ipar laki-lakinya, Prasetyo sedang bekerja membuat batu bata. Pekerjaan yang sudah sangat lama tidak Prasetyo lakukan. Juga, hal yang sebelumnya tidak pernah saudara Prasetyo lakukan mengingat biasanya, mereka tinggal menuntut makan. Dengan kata lain, meski Prasetyo jadi harus mengerjakan pekerjaan tak lebih baik dari sebelumnya. Selain saudara Prasetyo yang akhirnya bekerja meski memang terpaksa, hadirnya ibu Retno dalam keluarga mereka memang telah memutus sifat benalu mereka.
Selalu ada hikmah di setiap kisah. Baik itu bahagia, luka, bahkan duka. Tampaknya itu yang tengah mereka rasa. Termasuk juga bagi Dewi yang bisa tersenyum ceria ketika malam tiba dan itu menjadi waktunya istirahat bersama kedua anaknya.
Alif yang belum tidur, asyik menghabiskan pisang goreng pemberian mas Abdul. Segelas besar berisi teh manis juga menjadi temannya. Namun sampai sekarang, Dewi tidak curiga jika seorang mas Abdul mengaguminya.
“Mas, besok Mama diminta ke pasar. Pagi-pagi, jadi Mas jagain dek Utari ya. Mumpung Dek Utari belum bisa apa-apa, cukup dijagain saja, diajak ngobrol, jangan ditinggal sendirian,” ucap Dewi sambil melipat pakaian mereka.
“Iya, Ma ... heum!” ucap Alif dengan mulut penuh pisang goreng.
“Besok Mama belikan mainan deh. Sekalian buat Dek Utari!” lanjut Dewi makin bersemangat dan langsung menular kepada Alif.
Dewi tengah menyusun lipatan pakaiannya ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar. Dengan cekatan, Alif yang baru beres meminum teh manisnya, segera membuka pintu. Ternyata itu mas Abdul, dan memang langsung melongok ke dalam. Di waktu yang sama, Dewi yang tak memakai penutup kepala juga refleks menoleh. Hingga yang ada, tatapan Dewi dan mas Abdul bertemu. Akan tetapi, ketika mas Abdul langsung terpesona karena memang Dewi menggerai rambut panjang lurusnya, tidak dengan Dewi yang buru-buru memunggungi tatapan mas Abdul. Dewi merasa malu dan memang tak percaya diri.
“Takut dianggap enggak sopan,” batin Dewi sambil terus menyusun lipatan pakaiannya dengan jauh lebih cepat.
“O—om?” tegur Alif sampai mengulangnya lantaran mas Abdul malah termangu mengawasi mamanya.
“Eh ... Mas Alif belum tidur?” ucap mas Abdul yang tentu saja hanya basa-basi. “Kok jadi deg-degan, gugup gini, ya?” batinnya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi kepadanya?
Dewi yang paham mas Abdul akan berbicara dengannya, sengaja mengambil satu lipatan kain jarit. Ia yang sampai detik ini masih jongkok, menggunakan kain jarit tersebut sebagai penutup kepala.
“Bagaimana, Mas? Ada apa?” tanya Dewi sambil tetap menahan kain jarit untuk menutupi kepala maupun tubuh bagian depannya.
Bukannya menjawab, mas Abdul malah salah tingkah.
“Apa Mas ada perlu dengan Alif?” tanya Dewi lantaran mas Abdul masih senyum-senyum canggung.
Mas Abdul menggeleng. “Enggak juga, sih. Sebenarnya ini saya perlunya sama Mbak. Yang besok belanja. Soalnya kalau pagi-pagi sekali, saya enggak bisa antar karena saya mau ke kabupaten,” ucapnya.
“Oh ... tapi kata mamanya Mas, besok subuh yang antar saya ke pasar memang sopir Mas. Salah satu sopir travel keluarga Mas, katanya,” balas Dewi.
“Loh, ... kok Mama sampai segitunya ngatur-ngatur Dewi. Jangan-jangan, ini Mama sengaja nyomblangin Dewi sama salah satu sopir travel,” pikir mas Abdul yang jadi makin tidak nyaman dengan cara mamanya ikut campur secara diam-diam memasuki kehidupan pribadi Dewi.
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......